Kini, Alea dan Rafif telah berada di rumah sakit.
Alea menatap Kakek Hadi, kakek Rafif, yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan tatapan sayu. Terakhir Alea melihat Kakek Hadi adalah sehari sebelum keluarga Rafif pergi. Saat itu, Alea baru pulang sekolah dan bertemu dengan Kakek Hadi yang sedang duduk di halaman rumah.
“Kakek, ini Alea,” kata Alea lirih sambil memegang tangan Kakek Hadi yang tersambung dengan selang infus, juga beberapa alat medis yang menempel di dadanya.
Pada dasarnya, kondisi Kakek Hadi memang masih cukup stabil, masih bisa bicara meskipun kadang terdengar kurang jelas. Hanya saja, pergerakannya terbatas. Beberapa organ tubuhnya tidak bisa berfungsi dengan baik karena komplikasi yang dideritanya, dan juga faktor usia yang cukup mempengaruhi.
“Alea, cucuku,” kata Kakek Hadi samar sambil tersenyum seolah ingin menunjukkan bahwa dia masih baik-baik saja.
“Alea rindu kakek. Kenapa selama ini kakek gak pernah temui Alea lagi?” ucap Alea lirih, matanya mulai berkaca-kaca.
“Maafkan kakek ya, Alea,” jawab Kakek Hadi dengan sisa tenaganya.
Alea menggeleng pelan. “Kakek gak perlu minta maaf.”
Kakek Hadi terus menatap Alea dengan dalam, membalas genggaman tangan Alea dengan lemah. “Alea, menikah dengan Rafif, ya? Kakek ingin melihat kalian bersama.”
Alea terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia melirik Rafif sekilas yang tampak begitu tenang, lalu kembali fokus pada Kakek Hadi. “Tapi, Alea masih butuh berpikir, Kakek.”
“Kalian itu cocok. Kakek percaya, kalian pasti bisa menjadi keluarga yang bahagia,” kata Kakek Hadi dengan penuh harapan.
“Kakek, Alea takut gak bisa jadi istri yang baik. Alea juga masih ingin bebas menikmati masa muda,” sanggah Alea, dia sedikit menunduk, tidak ingin memperlihatkan wajahnya kepada Kakek Hadi.
Namun, Kakek Hadi justru tersenyum dan mengangguk pelan. “Kakek percaya kamu bisa.”
Setelah berbincang beberapa hal dengan cukup lama, akhirnya Alea pamit.
Setelah beberapa langkah meninggalkan ruangan, Alea menemukan taman kecil yang biasa digunakan para keluarga pasien untuk sekedar beristirahat atau menenangkan diri.
Melihat Alea pergi, Rafif membuntutinya dari belakang. Dengan mengumpulkan keberanian, Rafif mencoba mengajak Alea berbincang lagi. Dia ikut duduk di samping Alea.
“Begitulah kondisi kakek beberapa hari terakhir. Kami semua tidak tahu sampai kapan kakek akan bertahan,” kata Rafif yang terdengar lesu.
“Beberapa hari yang lalu, pengacara kakek menemui aku dan orang tuaku. Katanya, kakek sudah buat wasiat.” Rafif kembali bicara, tetapi kali ini nadanya terdengar lebih serius. “Salah satu permintaan terakhirnya adalah melihat aku menikahi kamu, Alea.”
Alea masih bungkam. Dia berusaha mencerna semua ini dengan baik di kepalanya. Ini semua benar-benar mendadak baginya.
“Aku sangat menyayangi kakek lebih dari diriku sendiri, sungguh aku berharap kakek bisa hidup lebih lama karena aku benar-benar tidak siap jika kakek pergi dalam waktu dekat,” ucap Rafif putus asa.
Mendengar ucapan Rafif, Alea masih terdiam, tidak tahu harus mengucapkan apa dalam situasi ini. “Aku harap kamu bisa segera memutuskan, Al.”
Alea sepenuhnya tahu bahwa saat ini bukan waktunya untuk bersikap egois. Namun, hati kecil Alea mengatakan bahwa dia juga belum siap jika harus menikah dengan Rafif. Selain karena Rafif orangnya, Alea juga masih ingin bebas melakukan hal yang hanya bisa dia lakukan saat masih sendiri.
Meskipun dulu Alea memang pernah memiliki perasaan lebih kepada Rafif, tetapi setelah laki-laki itu menghilang, perasaan suka Alea justru digantikan dengan perasaan kesal.
“Aku turut bersimpati atas apa yang sedang terjadi. Kita doakan kakek supaya bisa bertahan lebih lama. Tapi, soal pernikahan itu aku juga perlu berpikir. Ini bukan masalah sederhana,” ucap Alea.
Rafif paham jika Alea butuh waktu, tetapi saat ini rasanya tidak ada banyak waktu lagi. Namun, dalam pikiran Rafif, mereka berdua telah saling mengenal dengan baik, keluarga mereka juga memiliki hubungan yang baik.
“Terima kasih, Al. Aku paham dengan itu, tapi aku rasa kita gak bisa terlalu lama. Aku khawatirkan gak bisa memenuhi permintaan terakhir kakek,” kata Rafif lirih, lalu mengalihkan pandangannya kepada Alea.
“Tapi, aku belum siap, Kak,” sanggah Alea tak kalah putus asa. Kehidupan pernikahan itu lama, dia tidak ingin salah langkah dan gegabah. “Sudah malam, aku harus pulang. Kita bicarakan ini besok lagi saja.”
Alea bangkit dari duduknya dan mulai melangkah. Namun, tangannya terlebih dahulu diraih oleh Rafif hingga membuatnya berhenti dan kembali menoleh. “Aku antar ya.”
“Gak perlu, Kak. Aku bisa pesan taksi online,” jawab Alea, lalu berusaha melepas genggaman Rafif.
“Aku antar, Al,” paksa Rafif lagi. “Aku juga akan bicara dengan orang tuamu sekarang.”
“Good morning sayang,” bisik Rafif di telinga Alea.Perlahan Alea membuka matanya. Hal yang pertama kali dia lihat tentu saja suaminya, Rafif.Alea tersenyum teramat manis, membuat rasa cinta selalu mekar di hati Rafif setiap harinya, meskipun pernikahan mereka telah berlangsung bertahun-tahun.“Anak-anak dimana?” tanya Alea.“Di luar, ayo kesana!” ajak Rafif.Alea mengangguk kemudian bangkit dari tempat tidurnya.“Ternyata sudah siang ya?” tanya Alea melihat jendela kamarnya sudah terbuka dan cahaya matahari masuk menerobos melalui celah-celah gorden yang tertiup angin.Lalu, Alea berjalan mendekati jendela dan menyibak kain gorden yang menghalangi pandangannya.Di depan sana, terdapat hamparan pasir yang luas serta deburan ombak yang suaranya terdengar syahdu dari jendela kamar Alea.Pemandangan indah yang selalu Alea nikmati setiap pagi.Disinilah dia dan Rafif tinggal sekarang, sebuah mansion mewah yang terletak di sebuah pulau yang dikelilingi pepohonan rindang. Dan mansion mereka
Siang harinya, ayah sudah benar-benar pulang dari rumah sakit.Kejadian salah diagnosa yang sempat membuat terkejut kini hanya berlalu begitu saja. Sebab ketakutan mereka pada akhirnya tidak terjadi.Ayah hanya memerlukan pemeriksaan secara rutin dan mengkonsumsi obat yang disarankan agar kesehatannya bisa kembali seperti sedia kala.Hal ini tentu saja membuat bunda dan Rafif sangat lega. Ini artinya mereka bisa melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa.Siang itu, semua urusan di rumah sakit telah selesai dan ayah bisa langsung kembali ke rumah.Bersamaan dengan itu, Zayn bersama dengan mama dan papa ternyata tiba di rumah ayah setelah menempuh perjalanan dari Puncak.“Papa!” panggil Zayn senang melihat Rafif yang baru saja menutup pintu mobil.“Nak!” sahut Rafif, kemudian menangkap Zayn di pelukannya.“Tadi di perjalanan ada yang terus menangis loh!” ucap mama.“Oh ya? Kenapa dia terus menangis oma?” tanya Rafif.“Sstt oma!” sahut Zayn.Rafif sontak tertawa mendengar Zayn yang
“Kondisi om Eddo saat ini cukup stabil dan sama sekali tidak berbahaya, juga jelas bukan karena penyakit jantung. Aku secara pribadi minta maaf karena diagnosa awal yang salah. Tapi, beliau tetap membutuhkan perawatan ekstra,” jelas Azfar pada bunda dan Rafif di ruangannya.“Memang apa yang sebenarnya terjadi?” tanya bunda.“Setelah melalui pemindaian CT Scan tadi aku menemukan sebuah gumpalan di pembuluh darah otak, ini yang menyebabkan om Eddo memejamkan matanya terus menerus.” Jawab Azfar.“Jadi, ayah tidak pingsan?” tanya Rafif.“Tidak, beliau hanya tertidur,” jawab Azfar.“Kondisi ini termasuk salah satu gejala stroke, beruntung beliau bisa langsung mendapatkan penanganan.” Jelas Azfar lagi.“Hhhh,” Rafif dan bunda bernapas dengan lega.“Lalu apa perawatan terbaik yang harus dilakukan?” tanya Rafif.“Besok kita lakukan test lab, setelah hasilnya keluar baru bisa diputuskan,” jawab Azfar.“Tapi apakah jantungnya benar-benar tidak masalah?” tanya bunda.“Sejauh ini, tidak ada tante
“Mas! Ayah..” ucap Alea yang terengah-engah karena berlari.“Ayah kenapa?” tanya Rafif berdiri kemudian menghampiri Alea dan memegang kedua pundaknya. Dia melihat dengan jelas kalau Alea berlari terburu-buru, sehingga dia tidak memakai alas kaki.“Tadi ayah mengeluh dadanya sakit, lalu tiba-tiba ayah pingsan,” jelas Alea.“Apa?” tanya Rafif.Dokter yang juga mendengarnya segera berlari menuju ke ruangan ayah, begitu juga bunda yang baru saja merasa lega mendengar kondisi ayah, tiba-tiba kembali merasakan ketakutan yang begitu nyata.Rafif langsung menoleh ke arah bunda yang masih duduk di kursi depan meja dokter.Bunda hanya terdiam, tidak menangis, terlihat tenang, namun Rafif tahu dibaliknya ada ketakutan yang sangat dahsyat.“Sayang, pakai sandalku! Kamu tolong temani bunda ya, aku mau lihat keadaan ayah,” ucap Rafif.“Baik mas,” ucap Alea, kemudian menerima sandal milik Rafif dan menghampiri bunda.Sementara itu Rafif berlari kencang menyusul dokter yang sedang menangani ayahnya.
Pasca merayakan ulang tahun Cindy, Alea dan Rafif yang baru saja memasuki kamar Villa untuk beristirahat, menerima sebuah telepon.Rafif yang baru saja merebahkan dirinya di tempat tidur mendengar ponselnya berdering, dia lalu bergegas melihat siapa penelepon tengah malam ini.Baru saja dia akan mengumpat karena merasa terganggu, dia urungkan saat melihat siapa yang menelepon.“Ada apa menelepon jam segini?” gumam Rafif.Perasaan yang semula tenang, mendadak menjadi penuh dengan kekhawatiran.“Halo bunda,” ujar Rafif.Alea yang berbaring disampingnya ikut berdiri sambil merasa heran karena ini hampir tengah malam.Hal yang pertama Rafif dengar adalah tangisan bunda, membuat ketakutan hinggap di sekujur tubuh Rafif.“Ada apa bunda?” tanya Rafif.“Ayahmu tidak sadarkan diri,” ucap bunda lirih.“Apa?” tanya Rafif terkejut.“Sekarang di rumah sakit,” jawab mama lemah.“Oke, aku kesana sekarang.” Jawab Rafif.Sebenarnya Rafif dipenuhi dengan keterkejutan, tetapi berusaha untuk tetap tenang
Cindy terbelalak sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.Bagaimana tidak terkejut? Kedatangannya disambut meriah oleh semua orang yang sangat dia kenal, seluruh keluarganya berkumpul termasuk ibu, bapak dan adik-adiknya dari Surabaya pun turut hadir.“Kalian juga disini? Kapan datang?” tanya Cindy pada keluarganya dan memeluknya satu persatu.“Tadi siang, Azfar juga yang jemput kita di bandara!” jawab bapak.“Jadi kamu bukan ke rumah sakit tadi siang?” tanya Cindy pada Azfar.“Untuk apa ke rumah sakit di akhir pekan?” Azfar balik bertanya.Sontak saja Cindy merasa jengkel karena merasa dikerjai.Jadi, siang tadi saat Azfar menerima telepon. Itu adalah telepon dari Bayu yang mengabari kalau dia dan keluarga sudah sampai di bandara.Azfar bergegas pergi menjemput mertua dna adik iparnya yang kemudian dia antarkan ke rumah mama untuk kemudian pergi ke puncak, tempat dimana mereka berada sekarang.Setelah Cindy menyapa keluarganya, dia juga menyapa mama, papa, Alea, Rafif lengkap den