Share

Bab 5 : Ibu Nurmala

“Mau belanja apa mau cerita? Kalau mau cerita, bukan disini tempatnya.”

Suara ketus Sinta mengagetkan dua wanita itu. Eti seakan minta maaf dengan pandangannya ke arah Ibu Nurmala.

“Iya nak. Ibu mau beli. Tapi ibu bilang anak ibu dulu ya.”

Ibu Nurmala berkata pelan. Dia sendiri nampak tidak enak dengan Eti. Bukannya langsung memilih yang dia mau, malah asyik bercerita kepada orang yang baru dia temui. Sinta hanya mendengus kesal.

“Huh, bilang aja gak ada duit.”

“Astagfirlullah, Sinta. Gak boleh gitu,” Eti tidak terima kenalan barunya itu sampai disindir tidak punya uang. “Maaf sekali lagi ya, bu.”

“Gapapa, nak Eti. Ibu yang salah. Ibu panggil anak ibu dulu, ya.”

Sekali lagi Eti mengucapkan maaf dan melihat kepergian Ibu Nurmala dengan iba. Eti sebenarnya sangat marah pada Sinta. Dia boleh melakukan itu pada Eti, tapi tidak pada Ibu Nurmala. Beliau adalah orang tua. Beli ataupun tidak, beliau masih harus dihormati.

“Lain kali bikin orang beli, jangan malah dengerin cerita.”

Sekali lagi perkataan Sinta membuat kuping Eti panas. Ingin rasanya dia menyumpal mulutnya yang tidak tahu rasa hormat itu.

Untung saja dia masih mencoba sabar. Percuma dia mengamuk disini, yang ada malah jadi tontonan tetangga toko dan pembeli. Tidak hanya dia yang nanti malu. Nama toko juga bisa ikutan jelek.

Setelah Risma kembali, Eti segera mengambil mukena buat Sholat Dzuhur. Dia ingin sekalian meredakan emosinya yang belum reda juga.

'Apa aku minta pindah aja ya sama Bu Maryam?' Pikir Eti sambil berjalan ke arah Mushola. Dia merasa kali ini Sinta sudah keterlaluan.

Sekitar 15 menit kemudian, Eti baru kembali. Di toko sudah berdiri seorang anak muda jangkung dengan kemeja polos warna krem dan celana jeans hitam. Di sebelahnya duduk ibu Nurmala. Pemuda jangkung itu mungkin anak yang dimaksud, si bungsu yang akan menikah bulan depan.

Keduanya sedang melihat baju sambil di layani oleh Risma dan Wisnu. Sinta terlihat masam di pojokan entah kenapa. Eti hanya berdiri dibelakang mereka tanpa menginterupsi.

“Eh, teh Eti. Ini ada yang nyariin,” ucap Risma begitu melihat Eti hanya berdiri diam.

Ibu Nurmala dan pemuda itu menengok kebelakang. Senyum mengembang dari bibir orang tua itu.

“Sini nak. Kata temen kamu tadi sedang sholat, iya?” tanya Ibu Nurmala dengan riang.

“Iya, bu. Lagi milih-milih baju? Terusin aja atuh, bu.” Kata Eti setelah mendekat.

“Iya, masih lihat-lihat sambil nunggu nak Eti. Ini kenalin anak ibu yang mau nikah, namanya Zikri. Iki, ini nak Eti yang ibu ceritain.”

Keduanya saling berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing. Pemuda jangkung itu cukup tampan. Matanya tajam, hidungnya bangir dan bibir sedikit merah. Dia tersenyum manis ke arah Eti.

“Makasih ya kak Eti sudah jagain Mamah tadi. Katanya tadi Mamah nemu baju batik yang bagus, pelayannya juga ramah. Makanya saya diajak kesini. Jarang-jarang Mamah muji orang yang baru kenal.”

Eti sedikit bengong dipanggil kak. Apa dia setua itu ya? Tapi dipikir-pikir, Zikri ini terlihat lebih muda darinya. Risma dan Wisnu hanya diam melihat keakraban tiga orang itu.

“Ibu Nurmala bisa aja. Sudah tugas saya kan memang melayani setiap orang mau belanja.”

Ketiganya sama-sama tersenyum. Ibu Nurmala lalu menanyakan soal jumlah orang yang akan diberikan baju saat acara nanti. Zikri, yang dipanggil Iki oleh ibunya, melihat catatan yang ada di hape-nya.

“Hm, yang biasa ada 35 orang. Buat penerima tamu sama seksi acara 20 orang. Sisanya buat keluarga ada 15 orang. Totalnya ada 70, Mah.”

Jangankan Eti yang mendengarnya langsung, Risma dan Wisnu pun terkejut. Jumlah 70 orang berarti acaranya lumayan besar. Jika bukan orang kaya, mana mungkin bisa mengadakan acara dengan begitu banyak orang.

Wajah Sinta makin terlihat suram. Dia juga mendengar omongan Zikri. Padahal tadi dia meremehkan Ibu Nurmala kalau tidak punya uang.

“Apa tidak kurang, Ki?” tanya Bu Nurmala.

“Yah nanti dilebihin aja, Mah.” Kata Iki, panggilan Bu Nurmala untuk anak bungsunya itu.

“Ya udah. Nak Eti bisa bantu ibu pilihkan baju yang bagus. Ibu mau 75 potong. Motifnya kalau bisa yang seragaman buat laki-laki sama perempuan. Buat anak juga ada kan?"

”Ada, Bu."

"Ya udah. Coba keluarin dulu yang biasa, ibu mau lihat."

“Iya bu,” ucap Eti.

Jadilah Eti, Risma dan Wisnu sibuk menyiapkan baju yang dipilih oleh Ibu Nurmala dan anaknya. Ada beberapa ukuran baju yang kosong dan harus diambil di toko lain.

Wisnu menawarkan diri mengambilnya dan membiarkan Eti tetap melayani Bu Nurmala. Dia bahkan harus berapa kali bolak-balik untuk mencari motif dan ukuran baju yang pas.

Jangan tanya Sinta bagaimana. Dia dalam posisi serba salah. Diam saja tak enak, mau membantu juga ingat dengan kata-katanya yang ketus tadi. Sinta pun bilang mau ke toilet.

Setelah hampir satu jam lebih akhirnya Bu Nurmala dan Zikri selesai memilih. Baju yang mereka pilih sudah tersusun rapi di dua kantong jumbo. Total belanja mereka lebih dari 10 juta karena dipilih yang bagus-bagus.

“Mas bisa bantu bawakan ke mobil?” tanya Zikri pada Wisnu.

“Bisa kak,” jawab Wisnu semangat. Biasanya kalau membawakan barang pembeli seperti ini, Wisnu paling tidak dikasih 10 ribu sebagai ongkos panggul.

Zikri bilang pada ibunya untuk menunggu agar tidak capek bolak-balik. Masih ada beberapa barang lagi yang harus Zikri beli.

Ibu Nurmala dan Eti kembali ngobrol. Tidak seperti pertama kali, Sinta tidak berani menginterupsi. Dia seperti ditonjok oleh kata-katanya sendiri dan pura-pura sibuk menghitung nota penjualan.

“Oh, Nak Eti sudah nikah? Sudah punya anak?” tanya Ibu Nurmala suatu waktu.

“Ada satu, bu. Dia di kampung sama neneknya.”

“Kenapa gak bawa kesini, nak?”

Eti tersenyum. “Gak ada yang jaga kalau dibawa kesini.”

“Terus ayahnya kemana?”

“Udah enggak, bu.” Ada senyum getir terlihat oleh Bu Nurmala saat Eti mengatakan itu. Dia mengerti kalau Eti dan suaminya mungkin sudah cerai.

“Maafkan ibu ya, nak,” ujarnya Iba. “Ibu enggak tahu.”

“Buat apa minta maaf, bu. Ibu kan gak salah apa-apa.”

Kata-kata Eti terdengar lebih ceria. Dia tidak mau dikasihani karena statusnya yang janda anak satu. Dia masih bisa kuat kok membesarkan Eren sendirian.

"Berapa umurnya?"

"Sebentar lagi mau 4 tahun."

"Pasti nanti besar jadi anak sholeh dan baik seperti ibunya, ya nak."

"Aamiin. Makasih do'anya ya, bu."

"Ibu jadi pengen ketemu anak Nak Eti. Siapa namanya?"

"Namanya Eren, Bu. Anaknya aktif banget, takutnya nanti malah ngerepotin kalau ketemu ibu."

"Tidak apa-apa. Ibu suka anak-anak, kok. Anak pertama ibu sudah punya anak dua. Tapi mereka tinggalnya jauh, jadi ibu tidak bisa sering-sering bermain dengan mereka."

Ibu Nurmala menunjukan wajah sedihnya. Semenjak ditinggal sang suami, jelas sekali dia begitu kesepian.

"Yang penting ibu harus sehat selalu dan semangat. Suatu saat nanti juga ketemu mereka lagi. Insyaallah."

"Nak Eti benar." keduanya sama-sama tersenyum. “Oh, iya. Ibu lupa ada satu keluarga lagi yang belum ibu belikan. Coba lihat lagi bajunya, nak.”

Satu baju batik pria, dua baju wanita lengan panjang dan satu baju anak dipilih ibu Nurmala. Keempat baju itu punya motif yang seragam.

Tidak lama kemudian Zikri sudah kembali bersama Wisnu. Pemuda itu tadinya mau membayar baju yang baru dipilih sebelum dilarang oleh ibunya.

Bu Nurmala hanya minta diantarkan ke ATM. Baju yang sudah dia pilih dibawa oleh anaknya. Eti diminta menemani dengan alasan dia tidak tahu tempatnya.

Sebelum pergi, Bu Nurmala minta kertas dan pulpen. Beliau menuliskan sesuatu di kertas itu. Eti tidak ingin melihatnya jadi dia pura-pura merapikan pajangan.

Counter ATM yang Ibu Nurmala datangi berada di dalam sebuah ruangan. Sepasang ibu dan anak masuk ke dalam sementara Eti menunggu di luar.

"Nak Eti, jangan marah ya."

**005**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status