Share

Curiga

Samuel banyak diam belakangan ini, membuat teman-temannya semakin yakin kalau lelaki itu menyimpan masalah seorang diri. Samuel memang jarang membicarakan masalah pribadinya, bahkan Rio dan Chris tidak pernah tahu bagaimana cerita di balik kepergian ayah Samuel, padahal pertemanan mereka sudah terjalin sejak jaman sekolah.

Tak banyak yang tahu kalau Samuel adalah tipe orang yang suka memendam perasaannya, bersembunyi dengan senyum dan sikap ramah yang membuat siapa pun mengira ia adalah sosok yang terbuka. Sampai Rio dan Chris harus menunggu sampai Samuel bertingkah tak biasa dan lebih banyak diam baru mereka tahu kalau Samuel sedang tak baik-baik saja.

Seperti saat ini, Rio yang kini masuk ke ruangan Samuel hanya bisa heran melihat lelaki itu. Komputer di depannya yang biasa menyala sejak pagi masih berwarna hitam, pun dengan tatapan Samuel yang kosong bagai tak berada di tempatnya.

“Sam, kau kelihatan kurang sehat. Apa tidak pulang saja?”

Samuel yang baru menyadari eksistensi Rio segera menoleh, menggelengkan kepalanya kemudian tersenyum kecil. “Aku sehat, Ri. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu yang tidak penting.”

“Saat kau butuh teman cerita, kau bisa datang padaku atau Chris. Kita berteman bukan hanya untuk senang-senang saja, tetapi juga untuk saling mendukung saat sedang susah.”

Samuel terkekeh, berjalan menghampiri Rio lalu menendang pelan kaki kirinya. “Kau kenapa lebay sekali?” tanya Samuel diiringi tawa.

Dan meski benar telinga Rio mendengar jelas suara tawa khas Samuel, tetapi entah kenapa ada rasa hambar yang membuat Samuel tak terdengar tulus. Bentuk mata Samuel yang biasanya akan menjadi sabit bila tertawa juga tak muncul, justru bagian bawah matanya memerah dan terlihat menyedihkan.

“Aku akan kembali ke ruanganku, kalau kau butuh sesuatu segera hubungi aku.” Rio pun keluar dari ruangan Samuel, sebab ia tahu sahabatnya itu lebih suka menyendiri saat sedang ada masalah.

***

Bohong kalau Samuel bilang dia baik-baik saja. Hatinya kini tengah sangat terluka sementara kepalanya seperti mau pecah bila sekali saja mendengar seseorang menyebut nama Jean.

Iya, perempuan bernama Jean itu menjadi masalah besar yang membuat seorang Samuel Jonathan tidak bisa tidur. Bahkan lelaki berusia 26 tahun itu tak bisa makan dengan lahap dan selalu melamun.

“Jean … .” Samuel bergumam, wajahnya yang terlihat lelah semakin kentara.

Tangannya meraih ponsel yang ada di atas meja, mengetikkan beberapa huruf hingga nama kontak seseorang muncul di layarnya.

Satu helaan napas panjang terdengar, lalu saat layar ponselnya menunjungkan hitungan detik yang terus berjalan, ia pun terdiam sejenak.

“Halo,” ucap Samuel pada detik ke 37. “Apa kita bisa bertemu sebentar?”

***

Jean kini hanya terdiam dengan ponsel yang berada di tangan kirinya, sementara tatapannya tertuju pada komputer yang tak disentuhnya sejak beberapa menit lalu. Matanya penuh dengan kristal bening yang siap meleleh kapan saja ia terpejam.

Jeanne Felicia berhasil dibuat bingung sendiri dengan apa yang terjadi, mengingat Samuel mengajaknya untuk bertemu secara langsung.

Usaha kerasnya selama beberapa minggu untuk menghindari Samuel rasanya sia-sia saat hanya dengan mendengar suara lelaki itu berhasil membuat pertahanannya hancur. Menyebalkan baginya karena Samuel sangat mudah membuatnya goyah, padahal Samuel hanya menelponnya saja.

***

“Maaf membuatmu menunggu,” ucap seseorang yang berada di belakang Jean. Perempuan itu menoleh dan menemukan pujaan hatinya berdiri dengan gagah meski wajahnya tetap terlihat tak bersahabat.

“Tidak masalah,” balas Jean seadanya, kemudian segera duduk kembali di kursinya. “Ada yang ingin kau bicarakan?”

Samuel menatapnya tepat di mata, membuat tubuh Jean rasanya kaku dan tak bisa bergerak. Sial, pengaruh Samuel terhadapnya memang masih sama mau bagaimanapun Jean berusaha menyangkalnya.

“Aku pikir kita sudah tidak ada urusan lagi sekarang,” ucap Jean sebelum Samuel sempat membuka mulutnya. Menghela napas panjang sebelum tersenyum tipis pada lelaki di depannya. “Kamu mau apa lagi, Samuel?”

“Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” respon Samuel. “Jean, kau sungguh bertunangan dengan Adrian?”

Mendengar ucapan Samuel membuat Jean terdiam sejenak, ada berbagai macam pertanyaan yang kini muncul di kepalanya. Namun, ada setitik harapan kecil yang tak seharusnya ada, yang tiba-tiba terbesit dalam benaknya tentang kemungkinan Samuel bertanya karena ia merasa cemburu.

“Kenapa memangnya?” Jean bertanya ragu-ragu.

Samuel kembali menatap Jean dengan penuh selidik lalu berucap, “Kau tidak berpura-pura bertunangan dengan Adrian hanya untuk memancingku, kan?”

Kepala Jean menunduk dan hatinya mendadak sakit. Memang seharusnya dia tidak berharap apa pun pada seorang Samuel, sebab meski kini Jean tak mengganggunya lagi, tetapi lelaki itu tetap mampu menyakitinya.

“Aku rasa kamu terlalu curiga padaku, Sam.” Jean berbicara dengan kedua tangannya yang saling meremas di bawah meja.

“Aku mengenalmu sejak lama Jean, aku tahu kau bisa lakukan apa pun agar aku melihat kearahmu. Aku akan to the point, sebaiknya kau berhenti dengan sandiwaramu ini dan lepaskan Adrian dari rencana busukmu. Adrian tidak tahu apa-apa dan kau malah melibatkannya.”

Satu helaan napas yang panjang terdengar dari seberang kursi Samuel, disaat bersamaan Jean juga mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk dalam.

“Kita sudah sama-sama dewasa, Samuel. Aku sadar kelakuanku selama ini sudah keterlaluan, maka dari itu aku berharap kamu memaafkanku dan mau bersikap biasa saja denganku. Lalu soal Adrian, kamu tidak perlu khawatir karena kami memang dijodohkan oleh orang tua kami. Aku sama sekali tidak tahu kalau Adrian adalah temanmu, dan sekarang setelah aku tahu, aku akan lebih berhati-hati agar tidak muncul di hadapanmu. Jadi, kamu tidak perlu takut lagi karena aku tidak akan menganggu atau mengejarmu.”

 ***

Rumah Mia kini menjadi tempat bersembunyi Jean dari keluarganya, bukan karena mereka sedang ada masalah, tetapi Jean takut untuk pulang dan menangis di rumahnya. Jean tidak ingin keluarganya kembali sedih karena tahu Jean masih belum bisa lepas sepenuhnya dari Samuel.

Mia adalah sahabat dekat Jean, perempuan yang selama ini selalu menemaninya meski banyak orang mencaci Jean dan menyebarkan rumor buruk tentangnya. Mia adalah sosok yang selalu percaya bahwa Jean tidak pernah berbuat jahat pada para gadis yang ingin mendekati Samuel, dan dia juga yang berusaha meyakinkan orang-orang bahwa Jean bukan perempuan gila yang rela melakukan segala cara demi mendapatkan perhatian Samuel.

Mia sudah ratusan kali memaksa Jean untuk berhenti mengejar Samuel, sebab menurutnya, Samuel tidak pantas untuk perempuan seperti Jean. Jean bisa mendapat lelaki yang lebih baik, tetapi mata sahabatnya itu benar-benar hanya tertuju pada Samuel.

Dan saat Jean sudah yakin untuk tak berurusan lagi dengan Samuel, lelaki itu justru kembali menghancurkan hati Jean dengan tuduhan tak berdasar yang kekanakan.

“Aku tidak punya niat buruk pada Adrian, Mia. Aku tidak berusaha menjadikannya sebagai pelarian, aku benar-benar ingin serius dengan hubungan kami.”

Mia mengangguk, meraih tangan Jean lalu berkata, “Aku tahu dirimu, Jean. Kamu tidak mungkin bertindak sejauh itu hanya untuk membuat Samuel cemburu.”

Jean menangis tersedu-sedu, sementara Mia mengelus punggungnya agar perasaan sahabatnya bisa lebih tenang.

“Apa si bodoh itu pikir dia adalah pusat dunia?” oceh Mia kesal. “Dia seenaknya bicara padahal dia sendiri tidak tahu apa-apa.”

“Aku benci Samuel, Mia. Aku tidak mau melihat wajahnya lagi.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status