Share

Pertunangan

Langit masih begitu cerah saat Jean tiba di rumah yang menjadi saksi ia tumbuh dewasa. Kebetulan ada Julian dan Johan juga, kedua orang itu memang sudah jarang pulang ke rumah utama karena Johan yang sudah menikah dan Julian yang memilih tinggal di apartemen beberapa bulan terakhir. Lalu Jean yang merupakan anak bungsu jelas tak punya pilihan selain tetap berada di rumah agar kedua orang tuanya tidak kesepian.

Satu dari ketiga anak itu berdiri dari posisi duduknya, berjalan menuju sofa di seberang agar bisa duduk di dekat si yang paling bungsu. Johan tatap lekat wajah cantik adiknya yang selalu tersenyum manis, membuat orang-orang terkadang sulit menebak apa Jean sedang baik-baik saja atau tidak.

“Jean, dalam beberapa hari kamu akan resmi bertunangan dengan Adrian. Apa kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusanmu?” Johan bertanya dengan lembut. Sebagai anak tertua, ia merasa punya tanggung jawab yang hampir sama dengan orang tuanya dalam hal masa depan adik-adiknya. Terutama karena Jean adalah anak perempuan satu-satunya dan juga bungsu.

Jean terdiam, perasaan campur aduk yang dirasakan selama beberapa hari terakhir semakin besar. Adrian memang intens mengajaknya berkencan, tetapi perasaan suka pun belum juga muncul.

“Aku bingung,” ucap Jean setelah diam beberapa saat. “Namun, aku akan berusaha agar perjodohan ini berjalan lancar.”

Johan yang mendengar balasan adiknya segera mengelus rambut Jean. “Dik, tidak akan ada yang berani memaksamu kalau memang kamu belum siap. Jangan merasa terbebani karena ayah, aku yang akan bicara padanya kalau kamu mau membatalkannya.”

Julian mengangguk. “Benar kata Kak Johan, sebelum kalian bertunangan lebih baik kamu pikirkan sekali lagi karena

akan sulit ketika kalian sudah terikat secara resmi. Utamakan kebahagiaanmu, Jean.”

“Terima kasih sudah sangat perhatian padaku, Kak. Aku akan mempertimbangkannya baik-baik sebelum hari pertunanganku datang.”

***

Jean yang kini merebahkan dirinya di kasur hanya bisa diam menatap layar ponselnya yang kini menyala karena panggilan masuk dari Adrian. Lelaki yang sebentar lagi menjadi tunangaannya itu mengabari perihal pertemuannya dengan Samuel yang kurang menyenangkan, membuat Jean semakin bingung dengan sikap Samuel yang tiba-tiba berubah.

Dulu, mau bagaimanapun Jean berusaha membuktikan rasa cintanya pada Samuel, tetap saja laki-laki itu tidak pernah meliriknya. Kenapa sekarang Samuel bertingkah seakan dia punya hak untuk mengatur perjodohan Adrian dan Jean.

Jean sudah tidak menganggunya lagi, bukankah seharusnya dia bersyukur dengan perjodohan ini?

Kalaupun dia bertindak sebagai teman Adrian, Samuel tidak sepantasnya seniat itu mempertanyakan keseriusan Adrian dan alasan sebenarnya mereka untuk bersama.

“Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Sam. Kamu bilang aku adalah parasit, dan sekarang aku sudah pergi dari hidupmu, lalu kenapa kamu malah mempersulitku begini?”

***

Tak terasa hari di mana Adrian dan Jean akan bertunangan pun tiba, semua persiapan sudah selesai sehari sebelumnya sehingga kedua belah pihak tidak lagi merasa terburu-buru.

Dan di sini lah Jean sekarang, dengan gaun cantik berwarna emerald tengah berdiri dengan Adrian yang menggandeng tangannya.

Berita pertunangan mereka memang belum tersebar luas sebelumnya, tetapi setelah tersebarnya undangan untuk peresmian hubungan mereka, semakin banyak orang yang membicarakannya.

Jean tak banyak menunjukkan ekspresinya, dia lebih banyak tersenyum meski hanya sebagai hiasan saja. Tak ada rasa bahagia yang terpancar di sana, dan hal itu dapat dengan jelas ditangkap oleh seseorang yang kini berdiri dengan jarak tak kurang dari lima belas meter darinya.

Samuel Jonathan sebenarnya sangat malas menghadiri acara pertunangan ini, tetapi mengingat Adrian adalah teman sekaligus rekan bisnisnya, rasanya tidak pantas bagi dia untuk menunjukkan sifat kekanakan seperti itu.

Satu hembusan napas dihela, genggamannya pada gelas wine yang ada di tangan pun makin erat saat tak sengaja melihat bagaimana Adrian memeluk pinggang Jean dengan begitu mesra. Rasa-rasanya gelas itu hampir pecah kalau saja Chris tidak datang dan mengajaknya bicara.

“Kau melamun lagi,” tegur Chris dengan kepala yang menggeleng-geleng.

Samuel menoleh padanya sebentar lalu berdecak. “Aku tidak melamun, hanya saja acara ini sangat membosankan.”

“Kau berkata seperti itu, tetapi tatapanmu mengarah pada pasangan yang berbahagia pada hari ini. Bisa-bisa orang yang melihatmu mengira Adrian sudah merebut pacarmu.”

“Banyak omong kau, Chris.” Samuel pun memilih menjauh dari Chris karena sadar kalau temannya itu tidak akan berhenti mengejek sampai Samuel benar-benar emosi.

***

Seakan takdir tak membiarkan Samuel bernapas lega sedikit saja, kali ini dia yang memutuskan keluar sendirian dari gedung acara malah bertemu dengan Jean yang juga menampilkan ekspresi terkejut yang serupa dengannya.

Jean terdiam untuk beberapa saat sebelum membalikkan badannya dan hendak pergi dari hadapan Samuel, tetapi sebuah suara berat nan familiar menyapu pendengarannya.

“Jeanne,” panggil Samuel dengan tangan terkepal kuat. “Aku ingin bicara sebentar.”

Jean kembali menatap Samuel, tatapan yang membuat Samuel semakin menggertakkan gigi sebab hanya ada wajah tanpa ekspresi di sana. Tak ada lagi Jean yang menatapnya lembut dan berbicara seolah Samuel adalah seseorang yang hanya boleh melihat hal baik darinya.

“Apa?”

“Kamu bahagia?” Samuel memberanikan diri mengucapkan kalimat yang selama beberapa minggu ini menghantuinya. “Kamu serius dengan Adrian?”

“Ini bukan urusanmu, Sam. Aku sudah bilang kalau aku lelah, kan?” tanya Jean retoris. “Kamu bisa berhenti menanyakan hal yang tidak penting seperti ini padaku ataupun Adrian, hubungan kami tidak ada sangkut pautnya denganmu.”

Samuel menunduk, tahu betul kalau yang diucapkan Jean adalah kebenaran. Namun, sesuatu dalam dirinya ingin sekali menyangkal hal itu, dia benar-benar tak ingin percaya pada kenyataan.

“Kamu bilang kalau kamu hanya mencintaiku, tetapi ternyata itu hanya tipuan.”

“Berhenti bicara seolah kau yang paling tersakiti, Samuel. Aku berjuang untukmu selama lima belas tahun dan aku merasa itu sudah cukup membuktikan kalau aku pernah mencintaimu dengan tulus.”

Samuel terdiam, menggigit bibir bawahnya saat mendengar Jean berkata ‘pernah’ mencintainya.

“Jadi sekarang perasaanmu sudah hilang?”

Jean membalikkan badannya dan berjalan menjauh dari Samuel, tetapi sebelum itu dia berkata dengan lantang. “Iya.”

***

Adrian kini tengah kebingungan mencari keberadaan Jean sekarang, sejak tadi perempuan yang seharusnya berada di sampingnya itu menghilang entah ke mana. Padahal tadi Jean hanya izin ke toilet sebentar, tetapi sampai sekarang belum muncul juga.

Adrian pun memutuskan mencari Jean agar tidak menimbulkan kecurigaan dari kedua pihak keluarga, terutama orang tuanya.

Saat hendak keluar dari pintu utama, dia bertemu dengan Jean yang datang dengan mata berkaca-kaca. Di belakang perempuan itu ada Samuel yang berjarak sekitar dua puluh meter dari posisi mereka sekarang.

“Jean,” panggil Adrian. Entah kenapa perasaannya jadi tak nyaman saat ia tanpa sadar menduga kalau Jean dan Samuel baru saja bertemu berdua. Ada ras jengkel yang membuatnya segera mendekap erat tubuh Jean.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Adrian. Tangannya mengelus bahu Jean sementara tatapan tajamnya terus tertuju pada Samuel yang hanya bisa melihat mereka dengan pandangan tak suka.

Jean menggeleng, sadar kalau Samuel ada di sekitarnya, dia pun menyambut pelukan Adrian dengan mengalungkan tangannya di pinggang lelaki itu.

“Aku tidak apa-apa.”

Sebuah senyum tanpa sadar terbit dari bibir tebal Adrian, dan berubah menjadi seringai saat matanya dan Samuel saling menatap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status