Share

Tidak Peduli

Jean kembali ke rumahnya dengan perasaan yang belum membaik, meski sudah banyak menghabiskan air mata dengan curhat pada Mia, tetapi dirinya belum juga merasa tenang.

Pikirannya kacau karena perbuatan Samuel yang begitu tega menuduhnya, padahal Jean tidak akan sampai hati melakukannya.

Mata yang sembab serta mood yang berantakan membuatnya tidak berniat keluar kamar sejak pagi, dia juga tidak berniat untuk ke kantor dan memilih bersembunyi dari keluarganya.

"Nona Jean?" panggil seseorang dari luar disertai suara ketukan pintu. Jean yang tengah termenung langsung tersadar, mengucek matanya lalu membuka pintu.

"Ada apa, Bi?" Jean bertanya dengan suara yang hampir habis, membuat Bi Sari bertambah khawatir.

Perempuan yang sudah hampir 30 tahun bekerja di rumah keluarga Arkan itu pun berucap, "Nona belum makan sejak pagi, apa Nona sakit?"

"Tidak, Bi. Aku ingin tidur saja hari ini." Lalu Jean tersenyum tipis.

Bi Sari menggeleng kecil sembari berkata, “Nona makan dulu, ya?”

Jean yang melihat raut muka Bi Sari yang penuh rasa khawatir pun memilih mengangguk, membuka lebar pintu kamarnya kemudian berjalan beriringin dengan Bi Sari menuju dapur.

“Tidak ada yang di rumah, kan?” tanya Jean memastikan.

Bi Sari menggeleng. “Nyonya tengah pergi ke butik dan tuan sudah pergi ke kantor sejak pagi.”

“Baguslah.”

***

Tak jauh berbeda dari keadaan Jean, Samuel pun sama berantakannya. Kalau kemarin dia masih bisa masuk kantor meski banyak melamun, tetapi sekarang dia tidak bisa kemana pun karena mengalami demam tinggi.

Ibunya yang tinggal lumayan jauh dari apartemen Samuel memilih menjenguk putranya yang tadi pagi menelpon dan memberi kabar mengejutkan tersebut, membuat sang ibu sampai buru-buru dan tak sempat menyiapkan bubur.

“Samuel, kenapa kamu bisa demam begini?” perempuan paruh baya itu meletakkan telapak tangannya pada pipi Samuel dan bertambah sedih karena suhu tubuh anaknya tak kunjung menurun.

Sang anak hanya tersenyum, mengelus tangan ibunya lalu berucap, “Aku tidak apa-apa, Bu. Aku hanya terlalu lelah bekerja.”

 “Jangan bohong, kemarin Rio bilang padaku kalau kamu terlihat banyak pikiran sejak beberapa hari yang lalu. Kamu juga jarang ikut makan di kantor dan banyak melamun. Hanya kamu yang Ibu punya, Nak. Ibu tidak mau terjadi apa pun padamu.” Perempuan itu menampakkan ekspresi wajah yang paling membuat Samuel tidak bisa berkutik, membuat lelaki 26 tahun itu menghela napasnya panjang.

Samuel akhirnya berucap, “Aku benar-benar hanya terlalu lelah bekerja, Bu. Bulan lalu ada proyek besar dengan perusahaan dari Jepang dan itu sangat menguras tenagaku.”

“Serius?” tanya sang ibu memastikan. Dan saat Samuel mengangguk, ibunya pun tidak meminta penjelasan lagi. Dia tahu bagaimana karakter Samuel, anaknya itu akan tetap diam memendam perasaannya dan tidak mau melibatkan siapa pun.

“Baiklah kalau begitu, tetapi ingat, kapan pun kamu butuh tempat bersandar kamu bisa selalu mencari Ibu. Ada kalanya kamu tidak perlu menanggung semuanya sendiri, kamu bisa berbagi agar perasaanmu menjadi lebih baik.”

Samuel tersenyum lagi, mendudukkan dirinya lalu memeluk ibunya dengan erat. “Iya, Ibu. Terima kasih sudah bersabar dan tidak pernah meninggalkan aku.”

 ***

Dua hari berlalu sejak pertemuan Samuel dan Jean. Perempuan itu kini sudah lebih baik setelah beristirahat di rumahnya, justru sekarang dia merasa kesal karena masih saja kacau karena tingkah Samuel. Perasaan yang sudah berusaha dibuang jauh-jauh seakan percuma, sebab hanya dengan melihat wajah Samuel sudah berhasil membuat jantung Jean berdegup tak karuan.

“Aku sangat benci pada diriku,” ucapnya kesal.

“Kenapa benci pada dirimu?” sahut seseorang dari belakangnya. “Kau cantik dan pintar, kau juga berasal dari keluarga kaya.”

Jean memutar bola matanya malas. “Kau kenapa ada disini, Adrian?”

Yang ditanya terkekeh pelan, mengambil tempat di sofa ruang kerja Jean lalu berucap, “Aku kesini karena sudah masuk jam makan siang, ayo makan bersama.”

“Aku sedang tak nafsu makan.”

Adrian berdiri, berjalan menuju meja yang di tempati Jean lalu menarik tangan perempuan itu pelan. “Kau sendiri yang bilang ingin mencoba bersamaku, kemana semangatmu yang dulu?”

“Sudah lenyap saat kau menjadikanku bahan lelucon untuk teman-temanmu.”

“Hey, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku serius ingin mengenalkanmu pada mereka.”

“Kamu pikir aku bodoh, ya?”

Sebenarnya Jean tak begitu peduli pada alasan Adrian melakukan itu, tetapi mendengar dari cerita Julian kalau Adrian suka sekali bersaing, pasti ada maksud lain dari tindakan gegabahnya yang kemarin.

Adrian pun hanya tertawa mendengar ucapan Jean, dan perempuan itu semakin yakin kalau Adrian memang hanya main-main dengan hubungan mereka. Wajar saja, dia juga tanpa sadar menggunakan perjodohan ini sebagai pelarian dari Samuel dan baru menyadarinya saat Samuel menuduhnya kemarin.

“Aku mengaku kalau aku memang sengaja melakukan itu, tetapi aku juga tertarik padamu sebagai laki-laki. Aku hanya bingung dengan tingkah bodoh Samuel, dan aku merasa tertantang untuk memancingnya.”

Jean berdecih dengan tatapan mata penuh intimidasi. “Aku tidak peduli dengan tujuanmu yang sebenarnya, Adrian. Aku melakukan ini agar ayahku merasa tenang.”

***

Adrian melangkahkan kakinya keluar dari kantor Jean setelah mengantar perempuan itu ke ruangannya, sebuah senyum terukir jelas ketika dirinya kembali mengingat wajah kesal Jean karena sangat keras menolak ajakan makan siang bersama dari Adrian, tetapi pada akhirnya Jean mereka tetap pergi.

Senyum yang tadi begitu lebar tiba-tiba melebur bersama angin saat sebuah pesan dari sahabatnya masuk, pesan dari seseorang yang dia jadikan hiburan.

“Hm?” Alis Adrian terangkat naik saat lelaki itu membaca pesan Samuel yang meminta untuk bertemu. “Apa dia sudah masuk ke permainanku?”

“Ada apa, Sam?” tanya Adrian sesaat setelah duduk di depan kursi Samuel.

Samuel menatap tepat pada kedua mata Adrian seakan penuh intimidasi, membuat Adrian tersenyum kecil dan berucap, “Kau ada masalah denganku?”

“Kau ingin bermain-main menggunakan Jean?”

Adrian terkekeh pelan ketika mendengar ucapan Samuel yang langsung pada inti, seakan tidak mau lama-lama berurusan dengannya. “Kalau benar memangnya kenapa?”

“Berhenti, Jean bukan perempuan bodoh yang bisa kau permainkan seenaknya.”

“Atas dasar apa kau bicara seperti itu padaku?” Adrian bertanya dengan nada yang datar. “Kau sudah menolak Jean dan kini ia mencampakkanmu, itu artinya kau sudah tidak ada urusan lagi dengannya. Bukankah itu tidak pantas untuk ikut campur dalam urusan percintaannya?”

Tatapan mata Samuel menjadi kelam penuh amarah, membuat Adrian yang kini melihatnya hanya tertawa kecil. Betapa serunya menyaksikan ekspresi tidak senang Samuel setiap kali Adrian mengucapkan fakta  bahwa Samuel tidak berhak lagi untuk mengurusi hidup Jean.

Waktu telah berlalu, kesempatan untuk Samuel sudah berakhir dan kini Adrian bisa dengan jelas merasakan kemenangan dalam hatinya. Jean mungkin belum mencintainya, tetapi perempuan itu sudah ada dalam genggamannya.

“Cinta bisa datang karena terbiasa. Aku dan Jean memang tak saling mencintai, tetapi aku merasa hubungan ini cukup menyenangkan untuk dijalani. Mana tahu suatu hari kami akan menemukan satu sama lain memiliki perasaan cinta, saat itu terjadi aku yakin aku bisa membuat Jean bahagia dan merasa dicintai.”

"Jean tidak semudah itu berpaling ke lain hati," ucap Samuel. "Aku mengatakan ini karena mengenalnya selama bertahun-tahun."

Adrian tersenyum, memainkan gelas kaca berisi wine di hadapannya lalu mengangguk. "Lalu kenapa? Jean itu perempuan yang menantang, Sam. Bukankah lebih asik mengejar perempuan yang masih terikat dengan cinta lamanya?"

"Kau sudah gila."

"I am," respon Adrian dengan seringai yang memesona.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status