“Mas, kamu mau ke mana?” tanya Mawar.
Mawar terjaga saat mendengar suara gaduh di kamar. Ia melihat Emran sibuk membuka lemari dan kini tampak mengenakan jaket.
“Aku keluar sebentar. Aku mau cari Widuri.”
Seketika Mawar terkejut dan bangun dari tidurnya. Wanita cantik berambut panjang itu gegas menggelung rambutnya asal sambil bangkit menghampiri Emran.
“Memangnya Widuri ke mana?” Mawar penasaran. Emran terdiam, menghentikan aktivitasnya dan melihat Mawar dengan sendu.
“Dia gak ada di kamarnya, Mawar. Semua baju dan barang-barangnya tidak ada. Termasuk juga motor maticnya.”
Mawar tercengang, bola matanya yang indah sudah menunjukkan keterkejutan. Ia melihat ke arah Emran dengan cemas, kemudian pelan bibirnya terbuka.
“Apa ... apa gara-gara aku, Mas? Apa gara-gara aku Widuri pergi?”
Emran berdecak dan menggelengkan kepala. Kemudian helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang tipis.
“Bukan. Bukan karena kamu, tapi karena aku. Aku yang salah, Mawar.”
Mawar mengerjapkan matanya dan melihat ke arah Emran dengan penuh tanya. Emran menarik napas panjang sambil melihat ke arah Mawar. Sepertinya dia memang harus jujur menceritakan apa yang terjadi antara dia dan Widuri di malam sebelumnya.
“Malam itu ... Widuri mendengar pembicaraan kita di telepon. Lalu aku malah berkata sinis padanya dan dia mengusirku dari kamarnya.”
Mawar kembali terkejut, bibirnya sudah terbuka dan sontak ditutup oleh kedua tangannya.
“Maafkan aku, Sayang. Aku tidak mencintainya. Bagaimana mungkin aku bisa berinteraksi intim seperti saat denganmu. Aku tidak bisa.”
Mawar hanya diam dan menundukkan kepala. Semua yang telah mereka lakukan memang salah. Harusnya sejak awal, Emran menolak perjodohan itu dan tidak membiarkan Widuri terjebak dalam pernikahan poligami yang tidak dia inginkan. Mawar juga salah mengiyakan permintaan Emran untuk menjadi istri keduanya. Kalau tahu, Emran tidak bisa berlaku adil tentu Mawar tidak akan menerima permintaannya kala itu.
“Lalu kamu akan mencarinya ke mana? Ini sudah malam, Mas. Apa kamu akan ke rumah orang tua Widuri?”
Emran menggeleng dengan cepat. Tidak mungkin Widuri pulang ke sana. Mereka merahasiakan pernikahan kedua Emran ini. Kalau Widuri pulang ke sana pasti banyak pertanyaan yang harus Widuri siapkan jawabannya. Kemudian kedua orang tua Emran juga pasti tahu lebih dulu daripada dirinya.
“Aku rasa dia tidak akan ke sana. Entahlah ... aku juga tidak tahu harus mencari di mana. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Bisa jadi dia mengganti nomor ponselnya. Dia sengaja melakukan semua ini, Mawar.”
Mawar terdiam lagi dan tampak menghela napas panjang sambil menunduk.
“Aku yang salah, Mas. Harusnya aku tidak berada di antara kalian. Harusnya aku yang pergi, bukan Widuri.”
Seketika Emran menoleh dan melihat ke arah Mawar. Ia berjalan mendekat kemudian merengkuh tubuh Mawar masuk dalam pelukannya.
“Bukan kamu, Sayang. Bukan kamu yang salah. Kamu itu belahan jiwaku, aku tidak akan bisa hidup tanpamu. Memang seharusnya tidak ada Widuri di antara kita, mungkin dia menyadarinya dan memilih pergi dengan sendirinya.”
Sontak Mawar mengangkat kepala dan menatap Emran dengan tatapan kesal. Bahkan wanita cantik di depannya ini terlihat marah saat Emran malah menyalahkan Widuri.
“Mas ... kok kamu malah ngomong begitu? Kamu senang dengan kepergiannya?”
Emran diam, hanya jakunnya yang naik turun. Kalau mau jujur, dia sedikit lega. Namun, ada satu hal yang dia takutkan dan belum siap untuk ia hadapi secepat ini.
“Enggak, Sayang. Aku hanya mengandaikan diriku menjadi Widuri. Aku juga tidak ingin dia pergi. Apalagi tadi Ibu menelepon dan bilang akhir pekan ini akan ke sini. Bagaimana jadinya kalau Ibu dan Ayah tidak bertemu Widuri di sini?”
Mawar kini yang membisu dan melihat Emran dengan sudut matanya. Emran memang tidak pernah memberitahu mengenai pernikahannya dengan Mawar. Wajar jika suaminya ketakutan saat mendapat telepon seperti itu.
“Aku harus pergi dulu. Kamu tidur saja, tidak perlu menunggu aku.” Emran bersiap keluar, tapi tangan Mawar sudah menahan lengannya membuat Emran menghentikan langkah.
“Mungkin lebih baik kamu mencarinya besok pagi saja, Mas. Kamu tunggu di kantornya. Aku yakin Widuri pasti masuk kerja. Tidak mungkin dia meninggalkan pekerjaannya begitu saja.”
Emran terdiam, keningnya berkerut-kerut sambil menggerakkan kepala mengiyakan ucapan Mawar. Emran sendiri bingung harus mencari Widuri ke mana malam ini. Mungkin sebaiknya dia tunda pencariannya besok pagi saja.
Emran melihat ke arah Mawar sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala lagi.
“Iya, kamu benar. Mungkin sebaiknya aku mencari dia besok pagi saja. Aku akan tunggu di kantornya. Kalau sekarang juga aku tidak tahu harus ke mana.”
Mawar ikut tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Ya sudah. Kita tidur saja sekarang, kamu pasti juga lelah.” Emran tersenyum kemudian sudah menurut ajakan Mawar. Tak lama mereka sudah terlelap masuk dalam buaian mimpi indah masing-masing.
Pukul enam pagi, Emran sudah bangun dan bersiap. Bahkan dia sengaja mengantar Mawar ke rumah orang tuanya dulu. Emran tidak mau mengambil resiko mendapat amukan kedua orang tuanya saat tahu ada wanita lain di rumahnya. Apalagi tanpa ada Widuri di sana.
“Kamu sementara di sini dulu, ya? Nanti kalau Ayah dan Ibu sudah pulang, aku akan menjemputmu lagi,” ujar Emran.
Mawar hanya mengangguk. Meski dia juga sedikit tidak terima dengan perlakuan Emran kali ini, tapi sekali lagi dia sudah memutuskan menjadi istri kedua dan harus mengambil semua resikonya.
“Iya, Mas. Jangan lupa beritahu aku kalau Widuri sudah ketemu.”
Emran mengangguk kemudian mengecup kening Mawar dan berpamitan undur diri. Ia gegas menjalankan mobilnya menuju kantor Widuri. Emran berharap bisa menemui Widuri sebelum jam masuk kantor. Namun, sayangnya dia terjebak macet dan tiba di sana saat jam masuk kantor.
Maunya Emran masuk dan menemui Widuri di dalam kantor, tapi ponselnya tiba-tiba berdering. Ada seorang klien yang menginginkan bertemu. Terpaksa Emran meninggalkan kantor Widuri dan menunda kesempatannya bertemu Widuri.
Sementara di kantor, Widuri tampak sibuk mengerjakan tugasnya. Hampir seminggu dia tidak mendengar kabar Emran dan Mawar. Dia juga tidak melihat tampang suaminya dengan istri keduanya itu. Widuri benar-benar menikmati hidup dan merasa sangat bebas. Meskipun kadang dia merindukan tampang jutek suaminya. Namun, Widuri menepisnya berulang. Ternyata keputusannya untuk keluar dan pergi dari kehidupan suaminya memang tepat. Mungkin bulan depan, Widuri akan melayangkan surat gugatan cerai ke Emran. Dengan begitu hidupnya akan semakin tenang setelah ini.
Pukul lima sore, saat jam pulang kantor. Namun, sayangnya Widuri belum pulang.
“Kamu lembur lagi hari ini, Duri?” tanya Rani.
“Iya, kamu pulang duluan saja. Habis ini selesai, kok.” Rani mengangguk kemudian sudah berpamitan untuk berlalu lebih dulu.
Widuri melanjutkan pekerjaannya, baru pukul enam petang dia keluar kantor. Widuri berjalan riang sambil berdendang menuju parkiran. Dia tidak tahu kalau ada sosok yang menunggunya di dalam mobil sedari tadi. Begitu tahu Widuri keluar kantor, sosok itu yang tak lain Emran langsung keluar dari mobil dan berjalan menghampiri.
“WIDURI!!!”
Widuri menghentikan langkahnya, ia mengangkat kepala dan langsung terkejut. Ia melihat sosok tampan berbalut jas lengkap dengan dasinya sedang berdiri menatapnya. Mata indahnya yang laksana mata elang sedang melihat ke arahnya dengan penuh binar di sana. Widuri terdiam, tertegun menatap sosok dengan visual indah yang selalu menghipnotisnya itu berjalan mendekat.
Tanpa disangka dada Widuri berdebar hebat saat sosok itu sudah berdiri sejajar di depannya. Ternyata pria satu ini memang selalu membuatnya tak karuan. Widuri bergeming di tempatnya dan menengadahkan kepala menatap pria di depannya.
Sebuah lengkungan indah terukir sempurna dari bibir tipisnya yang mempesona membuat Widuri seketika terpana melihatnya. Lalu lirih dari bibir tipis itu terucap sebuah kalimat nan memukau.
“Ayo, kita pulang!!”
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil