Share

Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku
Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku
Author: Rara Arrazaq

Bab 1

"Maysa ... ini Nabila, gadis shaliha yang akan menjadi adik madumu, dan temanmu berbagi pengabdian terhadap Hafiz."

Ucapan Ummi Rahma bagaikan guntur di siang hari yang berdentum keras di telingaku.

Aku berdiri kaku, di tengah sorot mata keluarga besar Haji Marzuki Pratama, yang menanti ekspresiku.

"Bagaimana, Nak?" Wanita paruh baya berhijab syar'i putih, yang selama ini menjadi tempatku berbudi sebagai menantu, menuntut jawabanku dengan nada lembut.

Nafasku serasa tertahan, tenggorokan ini serasa tercekat. Bagaimana aku bisa memberinya jawaban? Bagaimana pula aku bisa memberinya penilaian, di saat otakku masih tersentak oleh kata-kata madu dan berbagi pengabdian?

"Maysarah masih bingung, Mi. Kan sudah Abi bilang, harusnya kita meminta persetujuan Maysarah sebelum lamaran minggu lalu. Ini sudah mau menikah baru ditanyakan. Bukan lagi bertanya itu namanya, tapi memberitahu." Di sampingnya, laki-laki berwajah bijak dengan janggut yang telah disisipi uban, Abi Marzuki, ayah mertuaku, menyela dengan nada kesal.

Aku masih menegang kaku. Jemari tangan dan kaki terasa dingin membeku.

"Bukan begitu, Abi. Ummi menunggu waktu yang tepat. Masalah ini bukan hal sepele, yang bisa dibicarakan sambil lalu."

Waktu yang tepat? Di saat aku tak lagi bisa menolak?

Mataku mencari Bang Hafiz. Suami yang telah meminang wanita lain tanpa sepengetahuanku. Laki-laki itu terpekur di antara kakak sulung dan adik perempuan bungsunya. Kepalanya tertunduk dengan tatapan mengarah ke ujung kaki.

"Kenapa Abang nggak ngasih tau Maysa?" tanyaku bergetar ditengah nafas yang terasa sesak. "Kenapa Abang ingin mendua?"

"Maysa, jangan terfokus pada kata mendua. Itu akan membuatmu berfikir kalau kasih sayang Hafiz akan terbagi. Itu tak akan terjadi, Nak. Cinta dan tanggung jawab Hafiz tak akan berkurang untukmu." Ummi Rahma kembali memperkuat alasan.

Tatapanku masih tak teralihkan. Aku masih menunggu jawaban dari Bang Hafiz. Namun laki-laki yang telah menjadi imamku selama delapan tahun itu sepertinya tak sanggup memberi jawaban.

"Apa karena sekarang Maysa belum bisa memberi Abang anak lagi?" lirihku serak. Sosok ayah bagi putri kecilku, Nina, kini mengabur dari mataku yang mengembun.

Ku lihat samar kepalanya semakin merunduk.

"Apa Nina tak cukup untuk menjadi pengikat hatimu?" cecarku dengan bulir kesedihan yang akhirnya meluncur di pipi.

Semua orang terdiam. Tak sanggup menjawab atau pun sekedar menatapku. Hanya Ummi Rahma yang tampak duduk tak tenang melihat ekspresiku yang pasti tak seperti harapannya.

"Maysa.Tenangkan dirimu dulu. Bukannya Nina tak cukup. Tapi tanggung jawab keluarga besar kita ini tak mudah. Pondok pesantren dan sekolah yang didirikan Abi tak mungkin diteruskan oleh Nina. Abi dan Ummi hanya memiliki satu anak laki-laki yang menjadi penerus. Dan kita butuh cucu laki-laki dari Hafiz untuk melanjutkannya kelak," jelas Ummi Rahma panjang lebar. Menjabarkan visi dan misinya yang sama sekali tak mempertimbangkan perasaanku.

"Tapi Maysa bukannya tak bisa melahirkan lagi, Ummi. Hanya belum di anugerahkan oleh Allah ...." sanggahku.

"Iya, Ummi tau. Tapi Ummi butuh kepastian sebelum Ummi menghadap Allah."

Ku telan saliva ini susah payah. Jawaban demi jawaban Ummi Rahma bagaikan beban yang terus menghimpit dadaku. Aku tak bisa menahannya. Ini hidupku. Aku tak mau orang lain yang memegang kendali dan menjadikanku boneka.

"Saya ... akan berusaha menjadi adik yang bisa membantu meringankan tugas Kakak, sekaligus teman untuk berbagi perasaan dan keluh kesah ...." Suara lembut dari sisi kanan sofa yang melingkar itu mengusik ketegangan ku.

Suara itu berasal dari seorang gadis muda nan segar berjilbab besar pink lembut. Posturnya mungil. Terlihat jelas ia daun muda yang baru berkembang dari tunasnya.

Oh ... ternyata ini wanita shaliha yang disebut Ummi sebagai calon maduku.

Memang cantik, tapi aku yakin kalau masalah ini mutlak datangnya dari Ummi Rahma. Dan Bang Hafiz terpaksa mengikutinya.

Ku tegakkan dagu dan memelototi gadis muda yang berdiri canggung dengan kepala tertunduk itu.

"Aku tak butuh adik dan teman untuk berbagi! Tak akan ada wanita lain yang bisa mencuri suamiku!" tegasku dengan tangan terkepal.

"Maysa!" Bentakan keras datang dari arah kiri. Dari suara yang sangat akrab di telinga.

Bang Hafiz?

Laki-laki itu berdiri tegak memelototiku. Matanya menyorot marah, seperti yang biasa ia tunjukkan saat aku melakukan sebuah kesalahan.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status