Tiba-tiba Bang Hafiz melangkah ke arah pintu. Ah... Dia meninggalkanku begitu saja. Rasanya lebih menyakitkan. Bagiku, lebih baik dia berteriak marah atau mencaci-maki sekalian, daripada meninggalkan ku dalam diam.
Namun dugaan ini salah. Ia malah mengunci pintu dan kembali menghampiri ku.Jantung ini semakin berdebar. Apa yang akan dilakukannya?"Aku akan meminumnya.""Nggak! Maysa sumpah Bang, Maysa liat Ummi sama Nabila bisik-bisik di dapur membahas teh ini. Bahkan, Maysa dengar Ummi nyuruh Nabila cepat-cepat ngasih teh ini biar cepat ngefek!" sanggahku bersikeras.Bang Hafiz kembali terdiam. Tapi aku masih tak mengerti apa yang dipikirkan laki-laki berekspresi datar dan dingin ini."Aku akan minum setengah untuk membuktikan. Setengahnya harus kamu yang minum.""Lah, kok Maysa harus ikutan?" protesku."Karena aku tak mau mati sendirian.""Lho, kan Maysa nggak bilang ini racun. Maysa curiganya ini obat tidur atau ... obat perangsang..." jawabku, sedikit jengah menyebut obat yang berkhasiat membangkitkan nafsu itu."Lantas kenapa harus dibuang kalau ini bukan racun?""Ka-karna ini nggak bener. Abang kan nggak tau kalo teh ini udah dicampur sesuatu. Abang juga belum tentu rela meminumnya.""Hm..." Kaki Bang Hafiz melangkah semakin dekat. Hingga jarak kami tinggal satu langkah kecil lagi. "Sekarang aku sudah rela meminumnya. Jadi kamu harus memberikan teh itu."Tangannya terulur untuk meraih cangkir teh dari tanganku. Lalu meminumnya hingga setengah cangkir. Matanya menatap dalam-dalam. Membuat wajah ini terasa panas.Ya Allah... Aku sungguh bersyukur Engkau berikan jodoh setampan ini. Tapi kenapa mata ini tak pernah sanggup menatapnya lama?Aku hanya bisa menelan saliva sembari menunduk."Sekarang giliranmu," ujarnya, menyodorkan cangkir itu padaku."A-aku...""Cepat minumlah!" tegasnya.CEKLEK...Suara gagang pintu ditekan dari luar. Kami menoleh serentak.Karena tak bisa dibuka, gagang pintu itu terlihat digoyang berkali-kali. Itu pasti Nabila. Aku segera beranjak untuk membukanya."Jangan dibuka!" Titah Bang Hafiz membuat gerakan ini terhenti. "Cepat minum teh ini."Nafasku seketika tertahan. Apa yang harus aku lakukan? Jika teh ini adalah obat tidur, maka aku akan tertidur di kamar ini bersama Bang Hafiz. Bagaimana kalau Ummi menemukan kami? Bagaimana juga dengan Nina yang sendirian di kamar?Dan kalau ini obat perangsang, sudah pasti lebih bahaya lagi. Aku tak mungkin bisa menahan hasrat. Sudah lama tak bersama lelaki yang masih berstatus suamiku ini, jelas aku merindukannya sebagai wanita. Dan jika itu sampai terjadi, ia pasti akan semakin ilfill padaku."Ma-Maysa nggak bisa, Bang. Gimana sama Nina kalo Maysa tertidur di sini?""Nina sudah ku titipkan pada Bibi Halimah. Aku baru saja dari sana. Bibi Halimah yang mengatakan kalau kamu sedang mengurus sesuatu. Lalu aku menemukanmu di sini."Aku kembali menelan saliva dengan susah payah. Mencoba mencari alasan lain."Maysa tetap nggak bisa, Bang... Ummi akan marah kalo tau malah Maysa yang tidur di sini.""Memangnya kenapa? Bukankah tak ada yang salah kalau kita tidur di kamar yang sama?" Rautnya tampak berubah merah. Matanya menatapku marah. "Apa kau lebih senang berada satu ruangan dengan orang lain?" Nada suaranya terdengar naik beberapa oktaf."Bu-bukan... Ma-Maysa cuma nggak mau Ummi nuduh Maysa jahatin Nabila dan ngerebut waktu bermalamnya dengan Abang.""Kapan kau akan berhenti berfikir bodoh?!" sentaknya. Matanya terlihat mulai sayu dan memerah. Entah obat apa yang diminumnya ini. Ia tampak seperti orang yang sedang mabuk."Bang, minuman ini sepertinya nggak baik. Maysa buang aja ya?" Tanganku meraih cangkir dari tangannya.Namun dengan cepat ia menepis. Dan malah meminum tehnya sampai tandas.Oh tidak! Aku harus keluar dari kamar ini. Bang Hafiz tampak semakin aneh."Abang... Abang Hafiz ada di dalam? Ini Nabila, Bang. Tolong dibuka pintunya." Suara lembut Nabila terdengar dari balik pintu.Bang Hafiz tak peduli. Wajahnya semakin memerah. Ia malah merapat padaku. Kaki ini refleks melangkah mundur. Aku yakin obat perangsang lah yang dicampur ke dalam teh itu.Berapa banyak dosis yang dibubuhi Nabila sampai wajah Bang Hafiz terlihat mengerikan seperti ini?Kaki yang melangkah mundur, tiba-tiba menabrak kaki meja. Aku terperangkap. Diantara meja dan Bang Hafiz.**Ummi Rahma menatapku tajam. Sorot matanya tampak penuh amarah."Kenapa sampai kau yang bermalam di kamar Nabila?!" sentaknya setelah menyuruhku duduk di hadapan nya dan gadis lembut yang menjadi menantu idamannya saat ini."Maysa nggak bermalam di sana kok, Ummi. Maysa tidur di kamar sendiri.""Tapi Nabila harus menunggu di luar sampai jam 2 malam. Kau mengunci pintu kamarnya dari dalam agar bisa berdua dengan Hafiz?!""Bukan Maysa yang menguncinya, tapi Bang Hafiz.""Kau pikir Ummi percaya? Hafiz bukan orang yang tak mengerti agama. Dia paham untuk berbuat adil!"Adil? Bukankah ia sedang membimbing putranya untuk melupakanku dan tak adil terhadapku?Ku remas ujung tunik ini erat. Kepala ini terasa pusing dan berdenyut. Semalam suntuk aku menangis. Hingga mata ini bengkak.Ku tarik nafas dalam-dalam. Kata-kata sang ibu mertua seperti batu yang menghimpit dadaku yang sedang terluka. Tanpa menjawab apapun lagi, aku beranjak pergi.Sempat ku dengar ia memanggil dengan nada keras. Lalu merutuki ku sebagai menantu yang durhaka. Aku tak peduli. Kepala ini serasa mau pecah. Kejadian tadi malam benar-benar membuatku terpuruk. Sekarang, aku tak lagi punya harapan.Aku masih bisa merasakan nafas Bang Hafiz.. Masih terbayang pula tatapannya.Di balik pintu, masih ada Nabila yang terus mengetuk. Sambil memanggil Bang Hafiz dengan nada panik. Hingga sesaat kemudian ketukan nya berhenti. Hanya nafas memburu Bang Hafiz yang terdengar dan menghipnotis akal sehatku.Aku tak lagi memikirkan apa yang terjadi nantinya. Telah lama aku mendamba sentuhannya. Walau semalam ia sedang terpengaruh obat.Entah berapa lama sudah berlalu waktu. Aku tak tahu. Hingga kemudian sayup kudengar suara Ummi memanggil. Dan mengetuk pintu berulangkali.Aku terlena....Aku terbuai....Namun, ternyata akhir malam tadi tak seindah yang aku harapkan. Bang Hafiz meninggalkan luka yang mendalam di hatiku.Bersambung...."Kamu kenapa?" suara renyah mengagetkan aku yang sedang menjemur ikan kering kesukaan Abi. Ummi selalu menyetok ikan kering yang banyak dan memberiku tugas menjemurnya seminggu sekali. Aku tak keberatan, karena ini untuk Abi."Kenapa apanya?" tanyaku tanpa perlu melihat siapa yang mengajak bicara."Kenapa sedih?""Oo... Ada yang mati, tapi nggak ada yang mau nguburin.""Oh ya? Kok bisa? Siapa? Orang kampung ini bukan?""Bukan. Di kampung kita nggak ada laut. Mereka pendatang.""Oalah! Kamu ngerjain Abang, ya..." Bang Bara menyeringai. "Maksudnya ikan-ikan ini? Kalau mau dikuburkan ya harus dikafani dulu. Bayangin tuh, kalo ikan teri yang dikafani satu-satu, haha..." Bang Bara terbahak. Membuat bibir ini mengulas senyum."Serius nih, kamu sebenarnya kenapa?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya."Maysa nggak kenapa-kenapa kok, Bang..." Bang Bara melangkah ke seberang terpal tempat ikan-ikan itu tergeletak tak berdaya. Lalu berjongkok dan ikut menjejerkan ikan yang masih bertumpuk."Ma
Ruangan itu adalah tempat khusus untuk hobinya Ummi Rahma, yaitu menenun kain,Jadi buat apa si ustadz menuju ke sana? Membuatku penasaran saja.Tanpa pikir panjang, kaki ini melangkah pelan untuk mengikutinya.Namun baru selangkah terangkat, aku langsung berhenti. Ini bukan urusanku. Aku tak suka mencampuri urusan orang lain. Perlahan aku berbalik, menuju ke dapur untuk membantu pekerjaan Bibi Halimah seperti biasanya. Tapi hati ini tak bisa dipaksa untuk tak peduli. Bagaimana kalau laki-laki itu berniat jahat? Bukankah kemungkaran harus di tegah? Gelagatnya tadi memang mencurigakan. Ia tampak panik saat menabrak ku. Aku kembali berbalik arah. Laki-laki itu telah masuk dan kemudian menutup pintunya. Nah lho! Kenapa harus tutup pintu segala? Apa tak ada Ummi di dalam? Setelah beberapa saat, aku menghampiri pintu itu dan mengintip melalui lubang kunci. Aku menahan nafas, saat teringat sudah dua kali mengendap-endap dan mengintip seperti ini. Rasanya sama sekali tak nyaman, karena
Sayup-sayup suara deburan ombak menyusup ke telingaku. Membuat otak ini aktif kembali untuk menganalisa suara kencang itu. Perlahan kelopak mata terbuka setelah lelap yang teramat nyenyak menenggelamkan kesadaran.Namun mata ini seketika menyipit kembali saat cahaya senja yang merah menerpa netra. Ini sudah sore?Aku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan mata dengan cahaya yang masuk melalui kaca depan mobil. Benar, ini sudah sore. Aku tertidur sampai sore begini? Bagaimana dengan berkas hasil pemeriksaan RS-nya?"Oh, sudah bangun?" Suara Bang Hafiz menyapa dari samping kananku. Kepala ini menoleh cepat. Mataku bertabrakan dengan netra coklat terangnya. Netra yang seindah cahaya senja itu menatap hangat."Ya," jawabku. "Kenapa Abang nggak bangunin Maysa? Kita kan mau ngambil hasil pemeriksaan medis di Rumah Sakit?""Karena kamu tidur terlalu nyenyak. Hasil pemeriksaan itu tidak penting, kamu kan sehat sekarang," jawabnya santai.Entah darimana munculnya emosi. Yang pasti, hat
Begitu masuk ke dalam kamar, aku langsung menuju jendela. Sehelai kerudung berwarna hijau pastel, sengaja ku lampirkan di celah jendela sebagai kode untuk Bang Bara beraksi.Sepuluh menit berlalu. Nina akhirnya tertidur. Aku mulai resah. Bagaimana kalau Bang Bara masih di kamar pribadinya Ummi?Ummi Rahma melirikku sekilas. "Nina sudah pulas. Selimuti dia dan keluar. Masih banyak pekerjaan dapur yang harus dikerjakan. Nabila saja yang baru beradaptasi sudah pintar berinisiatif membuatkan sambal untuk suaminya. Kamu sudah siang begini baru selesai mengurus anak, itupun harus Ummi bantu!" omelnya dengan wajah mengkerut.Aku cuma mengangguk. Ummi tak tau saja kalau sambal yang dibawa menantu kesayangannya itu hasil buatan menantu yang mau diusir.Namun saat ini aku tak berniat menjelaskan. Rasa panik karena takut Bang Bara akan ketahuan benar-benar membuatku tegang.Ayo berfikir Maysa! Pokoknya harus bisa memastikan dulu kalau Bang Bara tak lagi di sana sebelum Ummi kembali ke kamarnya
Jadi Bang Hafiz tak tahu bahwa Ummi Rahma bukan ibu kandungnya? Aku benar-benar membatu. Masih syok mengetahui kebenaran yang mencengangkan ini."Tapi... Masak nggak ada yang tau selain Abi dan Ummi? Warga pasti tau, dong?" ujarku ragu."Kalo warga tau, masak Hafiz yang udah segede ini nggak tau kenyataan itu dari mereka? Mulut warga itu mana mungkin nggak ada yang usil?" bantah Bang Bara. Wah.... Ini semakin misterius! KRETEK! Suara ranting patah karena diinjak terdengar dari arah belakang kami. Aku langsung menoleh. Begitu pula dengan Bang Bara. Namun tak ada siapapun di sana. Hanya ada perdu rumput gajah yang ditanam bapaknya Bang Bara untuk pakan sapi Abi. Tingginya hampir se dada orang dewasa. Bisa saja ada yang bersembunyi di baliknya.Bang Bara segera memeriksa. Menyibak rumput yang tajam itu dengan kedua lengan berototnya. Namun tetap nihil. "Nggak ada siapa-siapa," ujarnya sembari berjalan kembali. Bibirnya tampak meringis melihat lengan yang tergores rumput."Abang ter
Klik.Terdengar suara pintu yang sedang dibuka dari arah belakangku. Seketika tubuh ini menegang kaku."Maysarah! Sedang apa kamu di sini?!" Suara yang sangat ku kenal itu seumpama petir yang menyambar di telingaku.Aku langsung berbalik. Ummi Rahma berdiri menjulang di ambang pintu. Menatapku tajam dengan mata yang menyipit.Habis lah aku hari ini!"Sedang apa kamu di kamar Ummi, Maysa?!" Ummi Rahma mengulangi pertanyaannya, penuh penekanan."Ma-Maysa..." jawabku terbata. Tenggorokan ini tercekat. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja dadaku seperti kehabisan oksigen, sesak.Ummi Rahma menatap ke sekeliling. Memeriksa keadaan kamarnya. Seolah takut salah satu barang berharganya menghilang. Untunglah lemarinya sudah tertutup. "Hafiz!" teriak Ummi sembari tetap mengawasi ku. Aku merasa seperti tikus yang terperangkap kucing di sudut ruangan, tak bisa kemana-mana. Berdiri dengan tubuh panas dingin. Berharap keajaiban datang ataupun kucingnya berubah pikiran."Hafiiiz!" teriak Ummi semakin k
Setelah kepergok kemarin, aku semakin dimusuhi Ummi Rahma. Dan Nabila semakin meninggi dagunya, dong? Yah, begitulah situasi hidup bersama madu. Mau tak mau tetap bersaing.Tapi aku lebih percaya diri. Pasalnya, setelah mencari informasi kesana-kemari, aku yakin kalau Bang Hafiz yang meminta Pak Hasan membantuku. Karena Bik Halimah pun katanya tidak menyuruh suaminya. Dan aku juga sudah memastikan kembali pada Pak Hasan, apa beliau memang tau sendiri kalau aku sedang disidang Ummi Rahma kemarin, atau karena permintaan orang lain?Beliau menjawab sembari tersenyum simpul, katanya tau dari orang lain. Dan orang itu adalah orang sangat peduli padaku. Siapa lagi kalau bukan Bang Hafiz? Tak mungkin Ijah, tak mungkin pula Nabila, dan lebih tak mungkin lagi si Ustad palsu. Idiih... Mengingat perannya yang bermuka dua saja sudah membuat ilfill.Eits, tak sengaja kepikiran, si Ustadz palsu muncul. Ada urusan apa lagi doi masuk ke rumah ini? Aku segera bersembunyi di balik lemari kitab Abi. L
Hari ini, aku tak lagi peduli. Kalaupun tak lagi menemukan ketenangan di dalam rumah, aku akan mencarinya di luar. Membawa Nina jalan-jalan, membeli makanan dan baju sesuka hati. "Bang, Maysa mau jalan-jalan sama Nina. Tapi nggak punya uang," ujarku dingin. Jangan salahkan aku jika tak ada lagi kehangatan di hati ini. Bang Hafiz yang sedang mencari sesuatu di dalam lemari kaca besar yang berjejer kitab-kitab dan map-map berisi berkas-berkas penting, melirikku sekilas.Sementara itu, si Nabila tanpa Syakieb menatapku tak senang. Jih, peduli amat! Orang minta duit sama suami sendiri kok!"Berapa?" tanya Bang Hafiz singkat.Aku melirik ke arah Nabila yang tampak was-was menanti jawabanku. Hingga timbul ide untuk membuatnya semakin kesal."500 ribu," pintaku tak tanggung-tanggung. Tapi kemudian muncul penyesalan, bagaimana kalau Bang Hafiz menolak? Auto tengsin dong ditertawakan perempuan ini?"Baiklah...." Jawaban irit Bang Hafiz sungguh membuat hati ini lega."Tapi Ummi bilang tadi,