Share

Bab 9

"Kamu kenapa?" suara renyah mengagetkan aku yang sedang menjemur ikan kering kesukaan Abi. Ummi selalu menyetok ikan kering yang banyak dan memberiku tugas menjemurnya seminggu sekali. Aku tak keberatan, karena ini untuk Abi.

"Kenapa apanya?" tanyaku tanpa perlu melihat siapa yang mengajak bicara.

"Kenapa sedih?"

"Oo... Ada yang mati, tapi nggak ada yang mau nguburin."

"Oh ya? Kok bisa? Siapa? Orang kampung ini bukan?"

"Bukan. Di kampung kita nggak ada laut. Mereka pendatang."

"Oalah! Kamu ngerjain Abang, ya..." Bang Bara menyeringai. "Maksudnya ikan-ikan ini? Kalau mau dikuburkan ya harus dikafani dulu. Bayangin tuh, kalo ikan teri yang dikafani satu-satu, haha..." Bang Bara terbahak. Membuat bibir ini mengulas senyum.

"Serius nih, kamu sebenarnya kenapa?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya.

"Maysa nggak kenapa-kenapa kok, Bang..."

Bang Bara melangkah ke seberang terpal tempat ikan-ikan itu tergeletak tak berdaya. Lalu berjongkok dan ikut menjejerkan ikan yang masih bertumpuk.

"Maysa, Abang mau ngegibah, nih... Kamu dengerin ya," ujarnya dengan nada pelan.

"Nggak ah, Abang yang mau berbuat dosa, kok Maysa yang harus nampung?"

"Abang cius nih..." Pria itu melempar salah satu ikan teri yang tak berdaya itu ke arahku.

"Iya, deh..." jawabku sambil menyengir.

"Kamu tau nggak, ternyata Nabila itu anak yatim-piatu."

"Maysa tau..."

"Tapi kalo masalah hutang orang tuanya kamu nggak tau, kan?" sambungnya tak mau kalah.

"Lah, mending nggak usah tau, ntar diminta bantu bayar lagi..." jawabku masih asal.

"Serius dong, Sa!" Kali ini ikan bawal yang berubah jadi ikan terbang dibuatnya.

"Iya iya... Mungkin karena Ummi Rahma mau bantu anak yatim-piatu yang terlilit hutang."

"Yakin kamu Ummi Rahma beneran mau bantu? Bukannya kamu udah pengalaman?"

Gerakan tanganku langsung terhenti. Benar juga yang di bilang Bang Bara. Aku sudah pernah mengalaminya.

Aku adalah putri semata wayang dari sebuah keluarga yang tak berkecukupan. Dulu Bapak yang sering mengikuti pengajian di pesantren ini, terpaksa berhutang pada Ummi Rahma untuk pengobatan Ibu.

Tak lama kemudian, Ummi Rahma melamarku untuk Bang Hafiz. Kami sampai berpikir kalau semua hutang akan di ikhlaskan dengan terhubungnya dua keluarga.

Tapi ternyata Ummi Rahma masih menagihnya. Untunglah Bang Hafiz sering memberiku uang pegangan selain jatah belanja. Jadi dengan mudah aku meminta izinnya untuk membantu Bapak dan Ibu membayar hutang.

Dengan terikatnya hutang itu, Ummi Rahma dengan mudah menyetir ku. Aku tak bisa menolak semua peraturannya. Bahkan saat ia melarangku pulang kampung di hari lebaran. Aku hanya bisa menelan air mata menahan rindu terhadap orangtua, saat Bang Hafiz menyampaikan titah ibunya.

Apa ini memang tujuan Ummi Rahma? Ia sengaja mencari menantu yang tak bisa berkutik?

"Apa kamu juga mikirin apa yang Abang pikirkan?"

"Ya... Kayaknya memang gitu. Tapi ya udah lah... Toh Maysa juga nggak akan lama lagi jadi menantunya." jawabku.

Bang Bara langsung mengangkat wajahnya.

"Maksud kamu?"

"Nggak, bukan apa-apa," sanggahku cepat. Tak ingin menceritakan masalah rumah tangga terlalu jauh pada orang lain. Walau itu Bang Bara. "Abang sendiri gimana? Sampai kapan mau melajang?"

Bang Bara terdiam sesaat, dia tak langsung menjawab.

Apa ia tersinggung? Harusnya memang tak baik menanyakan pernikahan pada orang yang hampir menjadi bujang lapuk sepertinya.

Bujang lapuk? Ah jadi terkekeh sendiri dalam hati. Bang Bara pasti mengamuk kalau tau ku sebut bujang lapuk.

"Kamu ngetawain Abang?"

Lah? Bukannya tadi aku terkekeh dalam hati?

"Abang bukannya mau melajang. Cuma belum tiba waktunya untuk menikah." sanggahnya memberi alasan.

"Emang ada target waktunya, ya?"

"Tidak. Tak bisa Abang targetkan." Bang Bara menatapku lekat. "Karena semuanya belum jelas. Dia ... masih jauh dalam jangkauan. Abang cuma ingin selalu siap untuk menjadi tempatnya berteduh. Abang juga ingin tetap siaga jika suatu hari nanti dia butuh teman untuk berlari."

"Jadi calon Abang itu atlet lari?" Aku memasang tampang polos. Walau tau kata-kata Bang Bara barusan hanya perumpamaan.

"Itu kata-kata puitis, Soimah!" Ikan bawal lainnya kembali terbang ke arahku.

Aku terbahak sembari menutup mulut dengan lengan. Jangan sampai ikan bawalnya melesat ke mulut ini.

"Abang mau bawa lari anak orang?" tanyaku setelah puas tertawa.

"Ya, kalau bisa Abang ingin membawanya lari dan membahagiakannya. Abang cuma sedang menunggu waktu itu," jawabnya nelangsa.

**

Aku masuk ke dalam dengan pandangan yang gelap. Matahari yang terik di luar, membuat mataku tak bisa beradaptasi di tempat yang kurang cahaya.

BUK! Aku menabrak seseorang.

Mata ini berusaha melihat dengan jelas. Namun tak perlu lama, aku langsung bisa mengenali dari wangi tubuhnya. Bang Hafiz, berdiri tegak di hadapanku. Ia sama sekali tak bergeser setelah aku menabraknya.

"Maaf..." ucapku. Lalu berlalu melewatinya.

Aku masih tak ingin meladeni. Kisah kami tadi malam sungguh membuat harga diriku hancur.

Bukan, bukan karena ia memaksa akibat pengaruh obat perangsang itu. Toh aku langsung rela bersatu dengannya. Tapi masalahnya, aku dipermainkan! Aku dipermalukan.

Begitu hasratku menggebu, ia malah meninggalkanku. Ia pergi seolah menyentuhku adalah suatu dosa baginya. Laki-laki yang masih sah suamiku itu bahkan meminta maaf berkali-kali.

Aku menangis. Kucoba meyakinkannya bahwa aku juga menginginkan itu. Tapi ia malah berkata, "maaf ... aku tak bisa."

Hatiku bagai tersayat. Sampai sekarang masih terasa begitu sakit.

"Jadi, kamu tak bisa menyapa suami tapi bisa tertawa dengan laki-laki lain?" sinis Bang Hafiz.

Ucapan tajamnya membuat langkah ini terhenti. Ia masih bisa mengecam kesalahanku yang sekecil ini, tapi melupakan kejahatannya terhadapku semalam?

Aku menarik nafas dalam-dalam. Ya Allah... mata ini terlalu cepat mengembun. Tapi aku tak boleh menangis di depannya. Kaki pun kembali melangkah tanpa menjawab apa-apa. Setengah berlari menuju ke kamar.

BUK!

Kepala yang tertunduk dan mata yang berkabut membuatku lagi-lagi menabrak orang. Cepat-cepat ku sapu tetes kesedihan yang mengalir dari sudut mata.

"Maaf... Saya tidak lihat jalan," ucap seorang laki-laki berjubah coklat, yang ku kenal sebagai salah satu ustadz di pesantren ini, yang juga merupakan orang kepercayaan Ummi Rahma.

Ada apa laki-laki itu masuk ke sini? Tak biasanya santri laki-laki walau telah jadi ustadz sekalipun bebas keluar masuk rumah inti. Abi melarangnya. Karena rumah, menurut Abi tetap lah tempatnya melindungi istri, anak perempuan dan menantunya dari pandangan yang haram.

Aku mengangguk sekilas. Dan laki-laki itupun cepat-cepat berjalan ke ruangan pribadi Ummi. Ruang tempat ia menyimpan barang-barang koleksi, seperti piring antik dan tenunan-tenunan favoritnya.

Ruangan itu juga menjadi tempat khusus untuk Ummi menenun kain, hobinya di saat senggang.

Jadi buat apa si ustadz masuk ke ruangan itu?

Aku penasaran.

Tanpa pikir panjang, langsung saja aku mengikutinya.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status