Share

Bab 9

Author: Rara Arrazaq
last update Last Updated: 2024-02-07 18:17:23

"Kamu kenapa?" suara renyah mengagetkan aku yang sedang menjemur ikan kering kesukaan Abi. Ummi selalu menyetok ikan kering yang banyak dan memberiku tugas menjemurnya seminggu sekali. Aku tak keberatan, karena ini untuk Abi.

"Kenapa apanya?" tanyaku tanpa perlu melihat siapa yang mengajak bicara.

"Kenapa sedih?"

"Oo... Ada yang mati, tapi nggak ada yang mau nguburin."

"Oh ya? Kok bisa? Siapa? Orang kampung ini bukan?"

"Bukan. Di kampung kita nggak ada laut. Mereka pendatang."

"Oalah! Kamu ngerjain Abang, ya..." Bang Bara menyeringai. "Maksudnya ikan-ikan ini? Kalau mau dikuburkan ya harus dikafani dulu. Bayangin tuh, kalo ikan teri yang dikafani satu-satu, haha..." Bang Bara terbahak. Membuat bibir ini mengulas senyum.

"Serius nih, kamu sebenarnya kenapa?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya.

"Maysa nggak kenapa-kenapa kok, Bang..."

Bang Bara melangkah ke seberang terpal tempat ikan-ikan itu tergeletak tak berdaya. Lalu berjongkok dan ikut menjejerkan ikan yang masih bertumpuk.

"Maysa, Abang mau ngegibah, nih... Kamu dengerin ya," ujarnya dengan nada pelan.

"Nggak ah, Abang yang mau berbuat dosa, kok Maysa yang harus nampung?"

"Abang cius nih..." Pria itu melempar salah satu ikan teri yang tak berdaya itu ke arahku.

"Iya, deh..." jawabku sambil menyengir.

"Kamu tau nggak, ternyata Nabila itu anak yatim-piatu."

"Maysa tau..."

"Tapi kalo masalah hutang orang tuanya kamu nggak tau, kan?" sambungnya tak mau kalah.

"Lah, mending nggak usah tau, ntar diminta bantu bayar lagi..." jawabku masih asal.

"Serius dong, Sa!" Kali ini ikan bawal yang berubah jadi ikan terbang dibuatnya.

"Iya iya... Mungkin karena Ummi Rahma mau bantu anak yatim-piatu yang terlilit hutang."

"Yakin kamu Ummi Rahma beneran mau bantu? Bukannya kamu udah pengalaman?"

Gerakan tanganku langsung terhenti. Benar juga yang di bilang Bang Bara. Aku sudah pernah mengalaminya.

Aku adalah putri semata wayang dari sebuah keluarga yang tak berkecukupan. Dulu Bapak yang sering mengikuti pengajian di pesantren ini, terpaksa berhutang pada Ummi Rahma untuk pengobatan Ibu.

Tak lama kemudian, Ummi Rahma melamarku untuk Bang Hafiz. Kami sampai berpikir kalau semua hutang akan di ikhlaskan dengan terhubungnya dua keluarga.

Tapi ternyata Ummi Rahma masih menagihnya. Untunglah Bang Hafiz sering memberiku uang pegangan selain jatah belanja. Jadi dengan mudah aku meminta izinnya untuk membantu Bapak dan Ibu membayar hutang.

Dengan terikatnya hutang itu, Ummi Rahma dengan mudah menyetir ku. Aku tak bisa menolak semua peraturannya. Bahkan saat ia melarangku pulang kampung di hari lebaran. Aku hanya bisa menelan air mata menahan rindu terhadap orangtua, saat Bang Hafiz menyampaikan titah ibunya.

Apa ini memang tujuan Ummi Rahma? Ia sengaja mencari menantu yang tak bisa berkutik?

"Apa kamu juga mikirin apa yang Abang pikirkan?"

"Ya... Kayaknya memang gitu. Tapi ya udah lah... Toh Maysa juga nggak akan lama lagi jadi menantunya." jawabku.

Bang Bara langsung mengangkat wajahnya.

"Maksud kamu?"

"Nggak, bukan apa-apa," sanggahku cepat. Tak ingin menceritakan masalah rumah tangga terlalu jauh pada orang lain. Walau itu Bang Bara. "Abang sendiri gimana? Sampai kapan mau melajang?"

Bang Bara terdiam sesaat, dia tak langsung menjawab.

Apa ia tersinggung? Harusnya memang tak baik menanyakan pernikahan pada orang yang hampir menjadi bujang lapuk sepertinya.

Bujang lapuk? Ah jadi terkekeh sendiri dalam hati. Bang Bara pasti mengamuk kalau tau ku sebut bujang lapuk.

"Kamu ngetawain Abang?"

Lah? Bukannya tadi aku terkekeh dalam hati?

"Abang bukannya mau melajang. Cuma belum tiba waktunya untuk menikah." sanggahnya memberi alasan.

"Emang ada target waktunya, ya?"

"Tidak. Tak bisa Abang targetkan." Bang Bara menatapku lekat. "Karena semuanya belum jelas. Dia ... masih jauh dalam jangkauan. Abang cuma ingin selalu siap untuk menjadi tempatnya berteduh. Abang juga ingin tetap siaga jika suatu hari nanti dia butuh teman untuk berlari."

"Jadi calon Abang itu atlet lari?" Aku memasang tampang polos. Walau tau kata-kata Bang Bara barusan hanya perumpamaan.

"Itu kata-kata puitis, Soimah!" Ikan bawal lainnya kembali terbang ke arahku.

Aku terbahak sembari menutup mulut dengan lengan. Jangan sampai ikan bawalnya melesat ke mulut ini.

"Abang mau bawa lari anak orang?" tanyaku setelah puas tertawa.

"Ya, kalau bisa Abang ingin membawanya lari dan membahagiakannya. Abang cuma sedang menunggu waktu itu," jawabnya nelangsa.

**

Aku masuk ke dalam dengan pandangan yang gelap. Matahari yang terik di luar, membuat mataku tak bisa beradaptasi di tempat yang kurang cahaya.

BUK! Aku menabrak seseorang.

Mata ini berusaha melihat dengan jelas. Namun tak perlu lama, aku langsung bisa mengenali dari wangi tubuhnya. Bang Hafiz, berdiri tegak di hadapanku. Ia sama sekali tak bergeser setelah aku menabraknya.

"Maaf..." ucapku. Lalu berlalu melewatinya.

Aku masih tak ingin meladeni. Kisah kami tadi malam sungguh membuat harga diriku hancur.

Bukan, bukan karena ia memaksa akibat pengaruh obat perangsang itu. Toh aku langsung rela bersatu dengannya. Tapi masalahnya, aku dipermainkan! Aku dipermalukan.

Begitu hasratku menggebu, ia malah meninggalkanku. Ia pergi seolah menyentuhku adalah suatu dosa baginya. Laki-laki yang masih sah suamiku itu bahkan meminta maaf berkali-kali.

Aku menangis. Kucoba meyakinkannya bahwa aku juga menginginkan itu. Tapi ia malah berkata, "maaf ... aku tak bisa."

Hatiku bagai tersayat. Sampai sekarang masih terasa begitu sakit.

"Jadi, kamu tak bisa menyapa suami tapi bisa tertawa dengan laki-laki lain?" sinis Bang Hafiz.

Ucapan tajamnya membuat langkah ini terhenti. Ia masih bisa mengecam kesalahanku yang sekecil ini, tapi melupakan kejahatannya terhadapku semalam?

Aku menarik nafas dalam-dalam. Ya Allah... mata ini terlalu cepat mengembun. Tapi aku tak boleh menangis di depannya. Kaki pun kembali melangkah tanpa menjawab apa-apa. Setengah berlari menuju ke kamar.

BUK!

Kepala yang tertunduk dan mata yang berkabut membuatku lagi-lagi menabrak orang. Cepat-cepat ku sapu tetes kesedihan yang mengalir dari sudut mata.

"Maaf... Saya tidak lihat jalan," ucap seorang laki-laki berjubah coklat, yang ku kenal sebagai salah satu ustadz di pesantren ini, yang juga merupakan orang kepercayaan Ummi Rahma.

Ada apa laki-laki itu masuk ke sini? Tak biasanya santri laki-laki walau telah jadi ustadz sekalipun bebas keluar masuk rumah inti. Abi melarangnya. Karena rumah, menurut Abi tetap lah tempatnya melindungi istri, anak perempuan dan menantunya dari pandangan yang haram.

Aku mengangguk sekilas. Dan laki-laki itupun cepat-cepat berjalan ke ruangan pribadi Ummi. Ruang tempat ia menyimpan barang-barang koleksi, seperti piring antik dan tenunan-tenunan favoritnya.

Ruangan itu juga menjadi tempat khusus untuk Ummi menenun kain, hobinya di saat senggang.

Jadi buat apa si ustadz masuk ke ruangan itu?

Aku penasaran.

Tanpa pikir panjang, langsung saja aku mengikutinya.

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    Tamat

    Amanda mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak ada siapa-siapa. "Ssshh..." Suara mendesis kemudian menyusul. Desis kesakitan.Gadis itu mempertajam pendengarannya, suara itu dari arah teras samping Bu Lidia. Dari tempatnya berdiri sekarang, teras kecil itu tak terlihat keseluruhannya karena tertutup dinding. Kaki Amanda melangkah maju perlahan-lahan. Begitu ia berdiri tepat berhadapan dengan teras, matanya menangkap seseorang sedang meringkuk di sudut teras. Orang itu kembali melenguh sakit sembari memegangi pipinya."Bian?" sebut Amanda tak percaya. Sosok itu langsung mendongak kaget."Manda?"mata Bian mengerjap sesaat. Lalu tampak terpana dan tak mengedip sama sekali. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang selama satu pekan ini telah mengisi pikiran dan hatinya. Dan saat ini, yang berdiri di hadapannya adalah Amanda versi khayalannya. Ternyata memang secantik bidadari. Rambutnya yang selama ini tersembunyi bagaikan mahkota berharga yang dilindungi, kini tergerai pan

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    Episode Menjelang Akhir

    Tuk! Tembakan kerikil itu kembali menyerang. Melesat ke arah dinding dan nyaris mengenai cermin. Amanda kaget setengah mati. Namun hal itu sama sekali tak mengendurkan nyalinya.Ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu perlahan bangkit dengan tubuh merapat di dinding. Dalam hitungan ketiga, tangan kirinya bergerak cepat untuk membuka kunci jendela. Sementara tangan kanannya menghidupkan senter dan mengarahkannya keluar. BLESS!Cahaya senter menyorot terang, tepat di di wajah pelaku yang sebenarnya."Kakek?!" seru Amanda tak percaya.Ternyata yang menerornya selama ini adalah kakeknya Bian?Tangannya yang bersiap meraih sapu dan menyerang terhenti seketika. "Matikan senternya, mata Kakek silau!" Perintah laki-laki sepuh itu sembari menghalangi cahaya senter dengan tangannya.Amanda mematikan senternya dengan raut bingung. "Kakek? Jadi yang nembakin batu ke kamar Manda selama ini Kakek? Kenapa?""Ya, biar kamu bangun..." jawab si Kakek yang berdiri bungkuk dengan tongkatnya."Maksud Kakek

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    Menemukan Pelakunya

    Menjelang malam, suasana hati Amanda mulai resah. Tali untuk jebakan telah ia siapkan. Hanya ada tali plastik di gudang, semoga bisa menahan kaki pelaku teror itu dengan kuat.Tok Tok... Suara ketukan di jendela kamar membuat Amanda terkejut setengah mati. Siapa yang mengetuk lewat jendela? Jantungnya seketika berdetak kencang. Apa mungkin itu pelakunya? Kenapa mendatanginya sore-sore begini? Amanda berdiri membeku di tempatnya. Matanya menatap ke arah jendela dengan nafas yang tertahan. Takut jika sampai orang itu mengetahui posisinya. Perlahan ia menunduk, lalu merangkak ke balik ranjang. Tok TokSuara ketukan kembali terdengar di jendelanya. Dengan tubuh meringkuk setengah tiarap di lantai, Amanda memberanikan diri untuk bersuara. Bertanya dengan nada selantang-lantangnya, agar orang itu tak mengira dirinya sedang ketakutan."Siapa di luar sana?!"Tak terdengar jawaban apapun. Suasana senyap. Apa orang itu telah pergi? Amanda tetap meringkuk di balik ranjang. Ia tak berani

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    Berubah

    "Ehm..." Amanda berdeham sambil melirik Bian. Tapi laki-laki itu tetap fokus memeriksa gusi Sisi. "Kejadian tadi pagi, itu sama sekali tidak benar. Aku nggak pernah berfikir untuk merebut suami orang." Kata-kata itu meluncur begitu saja di bibirnya Amanda. Entah kenapa, ia merasa harus memberitahunya. Tangan Bian berhenti bergerak. Kemudian tubuh tegapnya berdiri tegak."Ya, saya percaya. Tapi kamu harus sedikit hati-hati kalau memang istrinya pernah melihat suaminya itu di teras rumah kalian. Kalian semua perempuan, tak ada laki-laki yang menjaga," jawab laki-laki itu. Hati Amanda benar-benar meleleh sekarang. Ternyata walau cuek, Bian tetap perhatian. Tapi memang benar yang dikatakan Bian, ia dan ibunya harus lebih berhati-hati, karena tak ada anggota keluarga laki-laki. Ah... Amanda jadi meng-halu sendiri. Seandainya Bian yang jadi anggota di rumahnya, ia pasti tak akan menolak. Tok Tok...Terdengar sebuah ketukan di pintu ruangan Bian yang terbuka. Kemudian seorang suster b

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    ROD Kejadian di Rumah Bu Wiwid

    Di depan jendela kamarnya, Amanda duduk termangu menatap keluar dengan tatapan kosong. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Buku diary yang bertuliskan nama Axel dan Pak Dahlan sebagai orang yang ia curigai telah dicoretnya. Setelah Bu Lidia menceritakan perihal rahasianya kemarin, gadis itu benar-benar bingung. Bukan Axel dan bukan Pak Dahlan. Lalu siapa? Dan kenapa ia sampai diteror begini? Rasanya ia tak pernah berbuat buruk terhadap orang lain. Bukannya sok baik, tapi ia memang jarang bertemu orang-orang, apalagi sampai berbincang dan bergaul. Hh... Kepalanya benar-benar pusing, karena tadi malam pun ia masih dikejutkan oleh tembakan kerikil itu. Hari ini ia harus mengatur rencana untuk menjebak pelakunya.Jika ditaburi beling di bawah jendela, bisa saja tak berpengaruh kalau pelakunya memakai sepatu berhak tebal, dan malah akan membuat orang itu semakin kalap. Begitu pun dengan jepitan tikus atau benda-benda tajam lainnya.Ah... Seandainya ia sejenius anak kecil dalam film Home

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    Rahasia Bu Linda

    Malam menjelang. Amanda mulai was-was. Matanya terus saja menoleh ke arah jendela. Memperhatikan dengan seksama, jika saja ada bayangan di baliknya.Laptop yang telah terbuka sejak tadi sama sekali tak disentuh keyboard-nya. Bagaimana ia bisa berfikir dalam keadaan tegang seperti ini? Kopi yang tadinya ia buat untuk menghilangkan kantuk pun tak tersentuh. Hingga dingin karena diabaikan pemiliknya. Akhirnya Amanda memilih untuk menonton Drakor saja untuk pengalihan rasa takut.Drama Korea yang berjudul cheese in The trap menjadi pilihan. Tapi karakter tokoh cowoknya yang aneh dan memiliki sisi gelap membuat bulu kuduk semakin meremang. Gadis itu cepat-cepat menghentikan film-nya dan memilih untuk mendengarkan musik saja.Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Mata Amanda mulai terasa berat. Tak ada kesibukan dan tak ada asupan kafein, ditambah merdunya alunan musik membuat gadis itu cepat mengantuk. Dan finally ... Amanda terlelap di atas meja kerjanya.TUK! Suara aneh kembali terden

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    ROD Pengakuan Exel

    Perlahan tangan Amanda meraba ke sekeliling kasur, dan menemukan sebutir batu kerikil. Batu ini yang telah menembak kepalanya, dan sepertinya begitu juga dengan cermin. Siapa yang telah melakukan ini? Dan dari mana asalnya?Kepala Amanda cepat-cepat menoleh ke arah jendela kamarnya. Jendela kayu dengan model klasik itu memiliki rongga-rongga untuk ventilasi udara. Mungkinkah dari sana? "Akh!" Samar-samar terdengar suara orang yang mengaduh sakit. Sepertinya itu suara laki-laki. Dana asalnya dari teras samping rumah tetangga baru!**Amanda memijit kepalanya yang terasa berdenyut dan mencengkeram. Gara-gara kejadian aneh tadi malam, ia tak bisa memejamkan lagi matanya. Diambilnya buku catatan berkulit merah muda yang biasa dijadikannya buku catatan untuk ide-ide cerita yang tiba-tiba muncul. Namun kali ini ia bukan hendak mencatat ide cerita, tapi orang-orang yang patut dicurigai atas kejadian semalam. Yang pertama Axel. Bisa saja laki-laki itu sengaja menerornya agar tak membocork

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    ROD Malam Yang Mengejutkan

    Bab 4BRUK!!Kotaknya jebol dan menumpahkan semua isinya. Mata Axel seketika melotot, melihat barangnya berceceran. Tapi, lebih melotot lagi matanya Amanda. Karena ternyata isi kotak itu adalah VCD film biru."Astaghfirullah!" Aih! Amanda sampai menyentuh bibirnya sendiri. Tumben, bukan umpatan yang keluar dari mulutnya. Sementara Axel langsung bergegas mengumpulkan VCD yang tercecer. Tangannya sampai bergetar. Dan raut wajahnya terlihat panik luar biasa.Amanda masih terpaku, hingga kemudian dengan ragu-ragu ia berjongkok untuk membantu. "Nggak perlu!" sentak Axel, membuat gerakan Amanda seketika terhenti. Apalagi melihat wajah laki-laki itu yang menatapnya marah."Apa itu yang jatuh?" tanya Lidia dari dapur. Wajah Axel berubah pucat. Matanya kembali menatap Amanda tajam."Jangan ngomong apapun, oke? Jangan sampai ada yang tau!" ancamnya, sebelum kemudian buru-buru pergi dengan membawa kotaknya. Amanda mengernyit. Bukannya umurnya sudah 29 tahun? Kenapa sikap laki-laki itu seper

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    ROD VCD Film Blu

    Bab 3Amanda melihat ruang tamunya yang tak terlalu luas itu telah dipenuhi orang. Semua laki-laki. Kecuali ibu mereka tentunya. Beliau jadi seperti permaisuri yang dikelilingi pangeran. Atau, seperti desainer bersama para modelnya. Bukan tanpa alasan Amanda jadi membayangkan seperti itu, karena ketiga laki-laki yang kini sedang menatapnya itu tampan semua. Ah.... Hati Amanda jadi ketar-ketir!"Assalamualaikum... Maaf Papa telat," ucap seseorang dengan nada buru-buru dari arah pintu masuk rumahnya. Amanda menoleh. Dan matanya seketika terbelalak.Seorang laki-laki paruh baya berkepala setengah botak dan berkacamata berdiri di ambang pintu dengan nafas memburu.Bukankah... Laki-laki itu yang menyeberang sembarangan tadi pagi? Wajah dengan raut lembut itu masih jelas tercetak dalam ingatannya. "Nggak apa-apa, Pa. Kami juga baru datang bertamu," jawab ibu mereka seraya bangkit dan menyalami laki-laki itu. "Silahkan masuk, Pak! Oh, jadi ini suaminya Ibu Lidia?" sambut Mirna ramah. "I

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status