Share

Bab 7

"Oh! Begini ternyata kelakuan menantu pertama keluarga Haji Marzuki? Kau mencoreng nama baik keluarga kami!" teriak Ummi Rahma dengan mata melotot.

Aku tersentak. Apa maksudnya? Apa yang aku lakukan hingga bisa dituduh mencoreng nama baik keluarga?

"Sedang diberi teguran begini masih bisa kau melakukan maksiat?!" tambah wanita itu semakin menggebu-gebu.

"Ummi!" sentak Abi.

Namun seperti biasa, suara Abi tak pernah masuk ke telinga istrinya.

Kepala Bang Bara terangkat. Pria itu cepat-cepat duduk tegak begitu menyadari kehadiran keluarga majikannya.

"Lihat itu, Hafiz! Sudah Ummi bilang, istrimu ini ada main dengan Bara!"

"Astaghfirullah Ummi," lirihku. Tak menyangka, fitnah seperti itu keluar dari mulut wanita yang pernah ku hormati sebagai mertua dan istri dari seorang pendiri pondok besar.

Bang Bara yang duduk tegak di kursinya jelas jadi bingung. Baru saja membuka mata telah ditodong yang tidak-tidak.

"I-ini ada apa, ya?"

"Tidak ada apa-apa. Ini hanya salah faham," jawab Abi cepat.

"Salah faham apanya?! Kita sudah melihat dengan mata sendiri, tangan Maysa di kepalanya Bara. Mengelusnya dengan mesra."

"Cukup sudah, Ummi!" sentak Abi sekali lagi. Namun kali ini, wajah Abi tampak memerah. Belum pernah laki-laki bijaksana itu terlihat begitu marah, apalagi terhadap Ummi.

Ummi terdiam, mulutnya terkatup rapat, persis seperti saat Bang Hafiz membantah perintah nya kemarin.

Matanya menatapku tajam, serasa mampu menusuk sampai ke hati. Kebenciannya padaku pasti semakin bertambah. Dua kali sudah orang-orang yang tunduk padanya membantah karena aku.

"Cepat Hafiz, bawa ibumu pulang. Biar Abi dan Bara yang menunggui Maysarah."

Mata ini melirik laki-laki yang aku harapkan menemani dan menjaga saat ini. Wajahnya terlihat dingin. Tanpa sepatah kata ia berbalik dan pergi.

Aku menghela nafas. Lagi-lagi menyesakkan dan perih. Kenapa kisah ku dengannya begitu menyedihkan?

**

Keadaan ku sudah membaik. Segera ku minta pulang agar bisa melihat Nina. Takut akan kehilangan satu-satunya harapan hidupku saat ini. Jangan sampai putri kecilku diracuni pikirannya untuk membenci ibunya sendiri. Bukannya berburuk sangka. Tak menutup kemungkinan hal itu akan dilakukan Ummi Rahma.

Sementara hasil pemeriksaanku masih belum diberikan Dokter. Aku tak mau menunggu. Hasil itu masih bisa diambil esok atau lusa.

Seperti yang ku duga, Nina sedang bermain dengan Nabila dan Ummi di ruang tengah.

Aku segera mendekat.

"Nina... Mama udah pulang, Sayang..." panggilku seraya merentangkan tangan.

Alhamdulillah putriku langsung berlari ke dalam dekapan begitu melihat ibunya. Terlihat kerinduan sekaligus tanda tanya di matanya, kemana hilangnya aku sejak semalam. Inilah manfaatnya aku tak pernah mau memberikan Nina di asuh orang lain. Keterikatan kami sangatlah kuat.

"Mama kemana aja dali cemalam?" tanya malaikat kecilku yang imut dengan bahasa cadel nya. Mulut mungilnya dibuat runcing untuk menunjukkan protes.

"Mama masuk Rumah Sakit Sayang... Emang nggak ada yang ngasih tau Nina kalo Mama lagi sakit?" tanyaku. Sengaja sembari melirik kedua wanita yang duduk di sofa. Sontak Ummi Rahma membuang muka. Sementara Nabila tampak menunduk.

"Nggak... Kata Nenek Mama udah pelgi ninggalin Nina."

Nah! Prasangka ku tak meleset bukan?

Aku meneguk saliva dengan dada yang berdenyut. "Nina harus tau, Mama nggak akan pernah ninggalin Nina sampai kapanpun. Nina harus ingat itu, oke?"

"Iya Ma... Nina akan ingat!" sambut buah hatiku dengan senyumannya. Senyuman yang selalu membuatku kuat.

"Hafiz..." Suara Ummi Rahma memanggil, membuat kepalaku seketika terangkat. Aku merindukannya.

"Malam ini, kamu tidur di kamar Nabila. Tadi malam kamu sudah tidur di kamar Maysarah untuk menemani Nina." Ummi Rahma seolah sengaja memperdengarkan padaku.

Bang Hafiz menatapku lekat sembari menjawab.

"Baik Ummi, Hafiz akan bermalam bersama Nabila."

Ucapannya seperti ditujukan padaku.

Mata ini segera membetik ke arah lain. Tak kuasa membalas tatapannya, tatapan yang mengandung amarah.

Kali ini, apa yang dirasakan hatinya tentangku?

**

Malam hari tiba. Aku beranjak ke dapur untuk membuatkan Nina susu.

Namun belum sempat kaki ini melangkah ke sana, terdengar suara orang berbincang dengan nada pelan.

Tentu saja menarik perhatian. Dan memancing penasaran. Kenapa harus bicara sepelan itu?

Kaki ini mengendap pelan ke balik tembok pembatas dapur. Kemudian kepalaku melongok ke dalam. Melihat siapa yang berbincang.

Ternyata itu Nabila dengan Ummi Rahma.

Ini benar-benar ada sesuatu. Aku harus mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Kau harus berhasil! Atau Ummi akan memulangkanmu ke kampung, mengerti?!"

"Iya Ummi, Bila nggak akan mengecewakan Ummi, teh ini pasti akan diminum Bang Hafiz," suara lembut Nabila menjawab yakin.

Aku segera mengintip. Teh apa yang dimaksudkan? Pasti tehnya tak beres.

Nabila mengangkat cangkir berwarna putih dan mengaduk isinya sekali lagi.

"Ya sudah, cepat berikan sekarang! Ini sudah malam. Jangan sampai reaksinya lama."

Ternyata benar. Mereka merencanakan sesuatu terhadap Bang Hafiz. Aku segera menyingkir dari sana, masuk kembali ke dalam kamar dengan botol susu Nina yang masih kosong.

Nina masih asik dengan mainannya. Aku akan kembali ke dapur setelah Ummi pergi. Tapi apa sebenarnya yang mereka rencanakan?

Mungkinkah itu obat tidur? Atau obat perangsang? Seperti yang telah ku buktikan sendiri, Nabila belum di sentuh oleh Bang Hafiz. Sedangkan Ummi Rahma sangat ingin memiliki cucu laki-laki.

Aku menghela napas panjang sambil menatap buah hatiku. Ah, kenapa harus ku pikirkan? Cepat atau lambat, Nabila dan Bang Hafiz pasti akan menjadi suami istri seutuhnya. Tak ada lain yang harus aku pikirkan sekarang ini selain Nina.

Di dapur, kini ada Bibi Halimah. Wanita itu langsung menghampiri ku.

"Non Maysa, tadi Ummi Rahma sama Non Nabila ngapain ya di sini? Bikin teh buat Den Hafiz kok sampai bisik-bisik gitu? Gelagatnya mencurigakan," bisiknya.

"Maysa juga nggak tau Bi..." jawabku apa adanya sembari melanjutkan membuat susu.

"Bibi cuma takut Den Hafiz kenapa-kenapa. Ya walaupun nggak mungkin diapa-apain, tapi yang namanya diam-diam itu kan nggak baik."

Yang dikatakan Bibi Halimah mengusik kecemasanku. Yang diam-diam memang tak baik. Mereka sama saja dengan menipu Bang Hafiz.

Lagipula ini perang. Aku tak akan membiarkan mereka berperang dengan cara yang curang.

"Bi, boleh nggak Maysa minta tolong Bibi buat ngasih susu ini ke Nina? Maysa harus meriksa sesuatu."

Bibi Halimah langsung mengangguk.

"Iya Non, biar Bibi yang ngasih susunya. Non lakukan saja apa yang perlu dilakukan," jawabnya. Sepertinya ia tau kemana tujuanku saat ini.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Bang Hafiz pasti sudah masuk ke kamar Nabila dan sedang membaca Alquran. Karena sebelum tidur, lelaki itu terbiasa membaca surat Al-mulk terlebih dulu.

Rencananya, aku akan menguping atau mengintip dari lobang kunci. Sampai Nabila menyerahkan teh itu, barulah aku menerobos masuk dan membongkar kebusukannya.

Dengan dada yang berdebar, aku menuju ke posisi kamar Nabila yang berada di dekat ruang tengah.

Kaki ini berusaha berjalan tanpa suara. Mengendap-endap dengan kepala celingukan. Mengantisipasi kalau-kalau Ummi Rahma keluar dari kamarnya.

Lima langkah sebelum mencapai pintu, dadaku semakin berdebar.

CEKLEK!

Pintu kamar terbuka. Refleks, kaki ini berhenti melangkah. Tampak Nabila yang keluar dari kamarnya. Ah, harusnya aku terus berjalan. Dengan berhenti di sini, tentu akan mengundang curiga.

Aku hanya bisa berdiri tanpa bergerak sedikitpun. Berharap Nabila tak melihat ke arahku.

Syukurlah gadis itu keluar ke arah yang berlawanan.

Ini kesempatanku!

Aku harus masuk dan melenyapkan teh itu. Bang Hafiz pasti sedang khusyuk tadarusan, besar kemungkinan ia tak memperdulikan siapa yang masuk.

CEKLEK

Pintu ku buka perlahan. Lalu kepala ini sedikit demi sedikit melongok ke dalam. Kamarnya kosong. Apa Bang Hafiz sebenarnya belum masuk ke kamar ini?

Mataku kembali mengitari ruangan. Teh itu terletak di atas meja baca.

Kepala ku memeriksa ke belakang. Suasana sepi. Kakiku buru-buru masuk, lalu menghampiri meja.

Ku angkat cangkir itu perlahan. Tehnya tak terlihat berbeda. Baunya pun tak ada yang aneh, pikirku, setelah menghidu aromanya.

Tapi aku yakin, teh ini sudah diapa-apakan.

"Sedang apa?"

Astaghfirullah!!

Jantung ku serasa melompat saking terkejutnya. Suara itu datang dari belakangku. Suara Bang Hafiz.

Perlahan tubuh ini berbalik.

Sosok yang menghipnotis itu berdiri menjulang tepat di hadapanku.

"Se-sedang mengambil teh..." jawabku terbata. Mataku sungguh tak berani menatap netra coklat terangnya.

"Teh? Teh siapa?"

Tenggorokan terasa tercekat. Tapi aku harus menjawabnya. Tak boleh menjadi lemah dan harus memberitahunya.

"I-ini teh dari Nabila. Maysa curiga kalau teh ini udah dicampur sesuatu."

Bang Hafiz terdiam sesaat. Aku tak tau bagaimana reaksinya saat ini. Marah? Atau lebih ekstrim, ia jijik melihatku? Pasti aku terlihat seperti pecundang yang sedang berusaha memfitnah saingan.

Tiba-tiba Bang Hafiz melangkah ke arah pintu. Ah... Ia meninggalkanku begitu saja. Rasanya lebih menyakitkan. Bagiku, lebih baik ia berteriak marah atau mencaci-maki sekalian, daripada meninggalkan ku dalam diam.

Namun dugaan ini salah. Ia malah mengunci pintu dan kembali menghampiri ku.

Jantung ini semakin berdebar. Apa yang akan ia lakukan?

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status