"Oh! Begini ternyata kelakuan menantu pertama keluarga Haji Marzuki? Kau mencoreng nama baik keluarga kami!" teriak Ummi Rahma dengan mata melotot.
Aku tersentak. Apa maksudnya? Apa yang aku lakukan hingga bisa dituduh mencoreng nama baik keluarga?"Sedang diberi teguran begini masih bisa kau melakukan maksiat?!" tambah wanita itu semakin menggebu-gebu."Ummi!" sentak Abi.Namun seperti biasa, suara Abi tak pernah masuk ke telinga istrinya.Kepala Bang Bara terangkat. Pria itu cepat-cepat duduk tegak begitu menyadari kehadiran keluarga majikannya."Lihat itu, Hafiz! Sudah Ummi bilang, istrimu ini ada main dengan Bara!""Astaghfirullah Ummi," lirihku. Tak menyangka, fitnah seperti itu keluar dari mulut wanita yang pernah ku hormati sebagai mertua dan istri dari seorang pendiri pondok besar.Bang Bara yang duduk tegak di kursinya jelas jadi bingung. Baru saja membuka mata telah ditodong yang tidak-tidak."I-ini ada apa, ya?""Tidak ada apa-apa. Ini hanya salah faham," jawab Abi cepat."Salah faham apanya?! Kita sudah melihat dengan mata sendiri, tangan Maysa di kepalanya Bara. Mengelusnya dengan mesra.""Cukup sudah, Ummi!" sentak Abi sekali lagi. Namun kali ini, wajah Abi tampak memerah. Belum pernah laki-laki bijaksana itu terlihat begitu marah, apalagi terhadap Ummi.Ummi terdiam, mulutnya terkatup rapat, persis seperti saat Bang Hafiz membantah perintah nya kemarin.Matanya menatapku tajam, serasa mampu menusuk sampai ke hati. Kebenciannya padaku pasti semakin bertambah. Dua kali sudah orang-orang yang tunduk padanya membantah karena aku."Cepat Hafiz, bawa ibumu pulang. Biar Abi dan Bara yang menunggui Maysarah."Mata ini melirik laki-laki yang aku harapkan menemani dan menjaga saat ini. Wajahnya terlihat dingin. Tanpa sepatah kata ia berbalik dan pergi.Aku menghela nafas. Lagi-lagi menyesakkan dan perih. Kenapa kisah ku dengannya begitu menyedihkan?**Keadaan ku sudah membaik. Segera ku minta pulang agar bisa melihat Nina. Takut akan kehilangan satu-satunya harapan hidupku saat ini. Jangan sampai putri kecilku diracuni pikirannya untuk membenci ibunya sendiri. Bukannya berburuk sangka. Tak menutup kemungkinan hal itu akan dilakukan Ummi Rahma.Sementara hasil pemeriksaanku masih belum diberikan Dokter. Aku tak mau menunggu. Hasil itu masih bisa diambil esok atau lusa.Seperti yang ku duga, Nina sedang bermain dengan Nabila dan Ummi di ruang tengah.Aku segera mendekat."Nina... Mama udah pulang, Sayang..." panggilku seraya merentangkan tangan.Alhamdulillah putriku langsung berlari ke dalam dekapan begitu melihat ibunya. Terlihat kerinduan sekaligus tanda tanya di matanya, kemana hilangnya aku sejak semalam. Inilah manfaatnya aku tak pernah mau memberikan Nina di asuh orang lain. Keterikatan kami sangatlah kuat."Mama kemana aja dali cemalam?" tanya malaikat kecilku yang imut dengan bahasa cadel nya. Mulut mungilnya dibuat runcing untuk menunjukkan protes."Mama masuk Rumah Sakit Sayang... Emang nggak ada yang ngasih tau Nina kalo Mama lagi sakit?" tanyaku. Sengaja sembari melirik kedua wanita yang duduk di sofa. Sontak Ummi Rahma membuang muka. Sementara Nabila tampak menunduk."Nggak... Kata Nenek Mama udah pelgi ninggalin Nina."Nah! Prasangka ku tak meleset bukan?Aku meneguk saliva dengan dada yang berdenyut. "Nina harus tau, Mama nggak akan pernah ninggalin Nina sampai kapanpun. Nina harus ingat itu, oke?""Iya Ma... Nina akan ingat!" sambut buah hatiku dengan senyumannya. Senyuman yang selalu membuatku kuat."Hafiz..." Suara Ummi Rahma memanggil, membuat kepalaku seketika terangkat. Aku merindukannya."Malam ini, kamu tidur di kamar Nabila. Tadi malam kamu sudah tidur di kamar Maysarah untuk menemani Nina." Ummi Rahma seolah sengaja memperdengarkan padaku.Bang Hafiz menatapku lekat sembari menjawab."Baik Ummi, Hafiz akan bermalam bersama Nabila."Ucapannya seperti ditujukan padaku.Mata ini segera membetik ke arah lain. Tak kuasa membalas tatapannya, tatapan yang mengandung amarah.Kali ini, apa yang dirasakan hatinya tentangku?**Malam hari tiba. Aku beranjak ke dapur untuk membuatkan Nina susu.Namun belum sempat kaki ini melangkah ke sana, terdengar suara orang berbincang dengan nada pelan.Tentu saja menarik perhatian. Dan memancing penasaran. Kenapa harus bicara sepelan itu?Kaki ini mengendap pelan ke balik tembok pembatas dapur. Kemudian kepalaku melongok ke dalam. Melihat siapa yang berbincang.Ternyata itu Nabila dengan Ummi Rahma.Ini benar-benar ada sesuatu. Aku harus mendengar apa yang mereka bicarakan."Kau harus berhasil! Atau Ummi akan memulangkanmu ke kampung, mengerti?!""Iya Ummi, Bila nggak akan mengecewakan Ummi, teh ini pasti akan diminum Bang Hafiz," suara lembut Nabila menjawab yakin.Aku segera mengintip. Teh apa yang dimaksudkan? Pasti tehnya tak beres.Nabila mengangkat cangkir berwarna putih dan mengaduk isinya sekali lagi."Ya sudah, cepat berikan sekarang! Ini sudah malam. Jangan sampai reaksinya lama."Ternyata benar. Mereka merencanakan sesuatu terhadap Bang Hafiz. Aku segera menyingkir dari sana, masuk kembali ke dalam kamar dengan botol susu Nina yang masih kosong.Nina masih asik dengan mainannya. Aku akan kembali ke dapur setelah Ummi pergi. Tapi apa sebenarnya yang mereka rencanakan?Mungkinkah itu obat tidur? Atau obat perangsang? Seperti yang telah ku buktikan sendiri, Nabila belum di sentuh oleh Bang Hafiz. Sedangkan Ummi Rahma sangat ingin memiliki cucu laki-laki.Aku menghela napas panjang sambil menatap buah hatiku. Ah, kenapa harus ku pikirkan? Cepat atau lambat, Nabila dan Bang Hafiz pasti akan menjadi suami istri seutuhnya. Tak ada lain yang harus aku pikirkan sekarang ini selain Nina.Di dapur, kini ada Bibi Halimah. Wanita itu langsung menghampiri ku."Non Maysa, tadi Ummi Rahma sama Non Nabila ngapain ya di sini? Bikin teh buat Den Hafiz kok sampai bisik-bisik gitu? Gelagatnya mencurigakan," bisiknya."Maysa juga nggak tau Bi..." jawabku apa adanya sembari melanjutkan membuat susu."Bibi cuma takut Den Hafiz kenapa-kenapa. Ya walaupun nggak mungkin diapa-apain, tapi yang namanya diam-diam itu kan nggak baik."Yang dikatakan Bibi Halimah mengusik kecemasanku. Yang diam-diam memang tak baik. Mereka sama saja dengan menipu Bang Hafiz.Lagipula ini perang. Aku tak akan membiarkan mereka berperang dengan cara yang curang."Bi, boleh nggak Maysa minta tolong Bibi buat ngasih susu ini ke Nina? Maysa harus meriksa sesuatu."Bibi Halimah langsung mengangguk."Iya Non, biar Bibi yang ngasih susunya. Non lakukan saja apa yang perlu dilakukan," jawabnya. Sepertinya ia tau kemana tujuanku saat ini.Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Bang Hafiz pasti sudah masuk ke kamar Nabila dan sedang membaca Alquran. Karena sebelum tidur, lelaki itu terbiasa membaca surat Al-mulk terlebih dulu.Rencananya, aku akan menguping atau mengintip dari lobang kunci. Sampai Nabila menyerahkan teh itu, barulah aku menerobos masuk dan membongkar kebusukannya.Dengan dada yang berdebar, aku menuju ke posisi kamar Nabila yang berada di dekat ruang tengah.Kaki ini berusaha berjalan tanpa suara. Mengendap-endap dengan kepala celingukan. Mengantisipasi kalau-kalau Ummi Rahma keluar dari kamarnya.Lima langkah sebelum mencapai pintu, dadaku semakin berdebar.CEKLEK!Pintu kamar terbuka. Refleks, kaki ini berhenti melangkah. Tampak Nabila yang keluar dari kamarnya. Ah, harusnya aku terus berjalan. Dengan berhenti di sini, tentu akan mengundang curiga.Aku hanya bisa berdiri tanpa bergerak sedikitpun. Berharap Nabila tak melihat ke arahku.Syukurlah gadis itu keluar ke arah yang berlawanan.Ini kesempatanku!Aku harus masuk dan melenyapkan teh itu. Bang Hafiz pasti sedang khusyuk tadarusan, besar kemungkinan ia tak memperdulikan siapa yang masuk.CEKLEKPintu ku buka perlahan. Lalu kepala ini sedikit demi sedikit melongok ke dalam. Kamarnya kosong. Apa Bang Hafiz sebenarnya belum masuk ke kamar ini?Mataku kembali mengitari ruangan. Teh itu terletak di atas meja baca.Kepala ku memeriksa ke belakang. Suasana sepi. Kakiku buru-buru masuk, lalu menghampiri meja.Ku angkat cangkir itu perlahan. Tehnya tak terlihat berbeda. Baunya pun tak ada yang aneh, pikirku, setelah menghidu aromanya.Tapi aku yakin, teh ini sudah diapa-apakan."Sedang apa?"Astaghfirullah!!Jantung ku serasa melompat saking terkejutnya. Suara itu datang dari belakangku. Suara Bang Hafiz.Perlahan tubuh ini berbalik.Sosok yang menghipnotis itu berdiri menjulang tepat di hadapanku."Se-sedang mengambil teh..." jawabku terbata. Mataku sungguh tak berani menatap netra coklat terangnya."Teh? Teh siapa?"Tenggorokan terasa tercekat. Tapi aku harus menjawabnya. Tak boleh menjadi lemah dan harus memberitahunya."I-ini teh dari Nabila. Maysa curiga kalau teh ini udah dicampur sesuatu."Bang Hafiz terdiam sesaat. Aku tak tau bagaimana reaksinya saat ini. Marah? Atau lebih ekstrim, ia jijik melihatku? Pasti aku terlihat seperti pecundang yang sedang berusaha memfitnah saingan.Tiba-tiba Bang Hafiz melangkah ke arah pintu. Ah... Ia meninggalkanku begitu saja. Rasanya lebih menyakitkan. Bagiku, lebih baik ia berteriak marah atau mencaci-maki sekalian, daripada meninggalkan ku dalam diam.Namun dugaan ini salah. Ia malah mengunci pintu dan kembali menghampiri ku.Jantung ini semakin berdebar. Apa yang akan ia lakukan?Bersambung....Amanda mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak ada siapa-siapa. "Ssshh..." Suara mendesis kemudian menyusul. Desis kesakitan.Gadis itu mempertajam pendengarannya, suara itu dari arah teras samping Bu Lidia. Dari tempatnya berdiri sekarang, teras kecil itu tak terlihat keseluruhannya karena tertutup dinding. Kaki Amanda melangkah maju perlahan-lahan. Begitu ia berdiri tepat berhadapan dengan teras, matanya menangkap seseorang sedang meringkuk di sudut teras. Orang itu kembali melenguh sakit sembari memegangi pipinya."Bian?" sebut Amanda tak percaya. Sosok itu langsung mendongak kaget."Manda?"mata Bian mengerjap sesaat. Lalu tampak terpana dan tak mengedip sama sekali. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang selama satu pekan ini telah mengisi pikiran dan hatinya. Dan saat ini, yang berdiri di hadapannya adalah Amanda versi khayalannya. Ternyata memang secantik bidadari. Rambutnya yang selama ini tersembunyi bagaikan mahkota berharga yang dilindungi, kini tergerai pan
Tuk! Tembakan kerikil itu kembali menyerang. Melesat ke arah dinding dan nyaris mengenai cermin. Amanda kaget setengah mati. Namun hal itu sama sekali tak mengendurkan nyalinya.Ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu perlahan bangkit dengan tubuh merapat di dinding. Dalam hitungan ketiga, tangan kirinya bergerak cepat untuk membuka kunci jendela. Sementara tangan kanannya menghidupkan senter dan mengarahkannya keluar. BLESS!Cahaya senter menyorot terang, tepat di di wajah pelaku yang sebenarnya."Kakek?!" seru Amanda tak percaya.Ternyata yang menerornya selama ini adalah kakeknya Bian?Tangannya yang bersiap meraih sapu dan menyerang terhenti seketika. "Matikan senternya, mata Kakek silau!" Perintah laki-laki sepuh itu sembari menghalangi cahaya senter dengan tangannya.Amanda mematikan senternya dengan raut bingung. "Kakek? Jadi yang nembakin batu ke kamar Manda selama ini Kakek? Kenapa?""Ya, biar kamu bangun..." jawab si Kakek yang berdiri bungkuk dengan tongkatnya."Maksud Kakek
Menjelang malam, suasana hati Amanda mulai resah. Tali untuk jebakan telah ia siapkan. Hanya ada tali plastik di gudang, semoga bisa menahan kaki pelaku teror itu dengan kuat.Tok Tok... Suara ketukan di jendela kamar membuat Amanda terkejut setengah mati. Siapa yang mengetuk lewat jendela? Jantungnya seketika berdetak kencang. Apa mungkin itu pelakunya? Kenapa mendatanginya sore-sore begini? Amanda berdiri membeku di tempatnya. Matanya menatap ke arah jendela dengan nafas yang tertahan. Takut jika sampai orang itu mengetahui posisinya. Perlahan ia menunduk, lalu merangkak ke balik ranjang. Tok TokSuara ketukan kembali terdengar di jendelanya. Dengan tubuh meringkuk setengah tiarap di lantai, Amanda memberanikan diri untuk bersuara. Bertanya dengan nada selantang-lantangnya, agar orang itu tak mengira dirinya sedang ketakutan."Siapa di luar sana?!"Tak terdengar jawaban apapun. Suasana senyap. Apa orang itu telah pergi? Amanda tetap meringkuk di balik ranjang. Ia tak berani
"Ehm..." Amanda berdeham sambil melirik Bian. Tapi laki-laki itu tetap fokus memeriksa gusi Sisi. "Kejadian tadi pagi, itu sama sekali tidak benar. Aku nggak pernah berfikir untuk merebut suami orang." Kata-kata itu meluncur begitu saja di bibirnya Amanda. Entah kenapa, ia merasa harus memberitahunya. Tangan Bian berhenti bergerak. Kemudian tubuh tegapnya berdiri tegak."Ya, saya percaya. Tapi kamu harus sedikit hati-hati kalau memang istrinya pernah melihat suaminya itu di teras rumah kalian. Kalian semua perempuan, tak ada laki-laki yang menjaga," jawab laki-laki itu. Hati Amanda benar-benar meleleh sekarang. Ternyata walau cuek, Bian tetap perhatian. Tapi memang benar yang dikatakan Bian, ia dan ibunya harus lebih berhati-hati, karena tak ada anggota keluarga laki-laki. Ah... Amanda jadi meng-halu sendiri. Seandainya Bian yang jadi anggota di rumahnya, ia pasti tak akan menolak. Tok Tok...Terdengar sebuah ketukan di pintu ruangan Bian yang terbuka. Kemudian seorang suster b
Di depan jendela kamarnya, Amanda duduk termangu menatap keluar dengan tatapan kosong. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Buku diary yang bertuliskan nama Axel dan Pak Dahlan sebagai orang yang ia curigai telah dicoretnya. Setelah Bu Lidia menceritakan perihal rahasianya kemarin, gadis itu benar-benar bingung. Bukan Axel dan bukan Pak Dahlan. Lalu siapa? Dan kenapa ia sampai diteror begini? Rasanya ia tak pernah berbuat buruk terhadap orang lain. Bukannya sok baik, tapi ia memang jarang bertemu orang-orang, apalagi sampai berbincang dan bergaul. Hh... Kepalanya benar-benar pusing, karena tadi malam pun ia masih dikejutkan oleh tembakan kerikil itu. Hari ini ia harus mengatur rencana untuk menjebak pelakunya.Jika ditaburi beling di bawah jendela, bisa saja tak berpengaruh kalau pelakunya memakai sepatu berhak tebal, dan malah akan membuat orang itu semakin kalap. Begitu pun dengan jepitan tikus atau benda-benda tajam lainnya.Ah... Seandainya ia sejenius anak kecil dalam film Home
Malam menjelang. Amanda mulai was-was. Matanya terus saja menoleh ke arah jendela. Memperhatikan dengan seksama, jika saja ada bayangan di baliknya.Laptop yang telah terbuka sejak tadi sama sekali tak disentuh keyboard-nya. Bagaimana ia bisa berfikir dalam keadaan tegang seperti ini? Kopi yang tadinya ia buat untuk menghilangkan kantuk pun tak tersentuh. Hingga dingin karena diabaikan pemiliknya. Akhirnya Amanda memilih untuk menonton Drakor saja untuk pengalihan rasa takut.Drama Korea yang berjudul cheese in The trap menjadi pilihan. Tapi karakter tokoh cowoknya yang aneh dan memiliki sisi gelap membuat bulu kuduk semakin meremang. Gadis itu cepat-cepat menghentikan film-nya dan memilih untuk mendengarkan musik saja.Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Mata Amanda mulai terasa berat. Tak ada kesibukan dan tak ada asupan kafein, ditambah merdunya alunan musik membuat gadis itu cepat mengantuk. Dan finally ... Amanda terlelap di atas meja kerjanya.TUK! Suara aneh kembali terden