Share

Episode 02

"Istri," ucap Laura pelan.

"Iya, dia istri ku. Kamu istri kedua ku." jawab Devan dengan santainya tanpa beban sedikitpun apa yang terlontar dari mulutnya.

Sakit.

Hatinya sakit mendengar pengakuan suaminya ternyata sudah memiliki seorang istri. Bukan hanya dinikahi paksa, ia juga tak menyangka bahwa dirinya dijadikan kedua.

Laura ambruk di lantai setelah mendengar kenyataan ini.

"Jangan berlaga seperti orang tersakiti. Seharusnya kamu senang karena aku akan berikan apa maumu. Cukup menjadi istri yang baik dan menurut." ucap Devan.

"Kamu sudah kubeli 2 miliar untuk mengandung anak ku." lanjutnya lagi dengan tatapan dingin.

Laura menggeleng. "Aku gak menerima uang itu, seharusnya kamu gak bisa kaya gini!"

Devan tampak tak peduli dengan teriakan Laura. Dia malah memanggil pelayan untuk mengantarkan Laura ke dalam kamarnya.

Dua orang pelayan datang. Satu membawa koper Laura, dan satu lagi membantu Laura untuk berdiri dari lantai. Namun, Laura menolak dan memberontak.

"Lepas, aku gak mau di sini, aku mau pulang!" tolak Laura masih dengan keras kepalanya tak mau mengikuti pelayan tersebut.

Dia sudah cukup lelah karena pernikahan mendadak tadi, tapi alih-alih mendengar ucapan lembut dari suaminya, Laura malah kembali dihina. Ia marah, juga sakit hati.

"Bawa dia." Devan memerintahkan pelayan itu untuk menyeret Laura agar tak kabur dari rumah ini.

"Mari Nona saya tunjukkan kamar, Nona." ucap pelayan membungkukkan badannya. pelayan itu terpaksa menarik majikannya demi perintah Tuannya.

Belum satu hari menjadi seorang istri, ia dibuat terkejut dengan kenyataan pahit ini. Laura sudah lelah lahir dan batin. 

Akhirnya, dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar untuk  beristirahat. Ia ingin marah dan meluapkan kekesalannya tapi melihat tatapan suaminya itu begitu tajam.

Pelayan itu mengantar Laura sampai ke kamar barunya. Ia terlalu lelah untuk menangis di depan Devan, dan menurut saja saat pria itu menyuruh seorang pelayan mengantar Laura. Setelah masuk ke dalam kamar berukuran luas, ia edarkan pandangan melihat sekeliling kamar lumayan besar itu fasilitas lengkap.

Laura duduk di pinggiran ranjang berukuran besar. "Berarti aku orang ketiga di antara mereka," ucapnya lagi.

Laura menangis tersedu-sedu dengan kehidupan macam apa yang akan ia jalani dengan pria sudah memiliki seorang istri selain dirinya. Jika saja waktu bisa berputar, ia akan menolak keras pernikahan itu tak peduli dengan ancaman dan marahnya pamannya tersebut.

Satu jam sudah dirinya menangis dengan derai air matanya terus saja menetes. Laura mengusap wajahnya masih basah. Ia bangun untuk mengganti pakaiannya.

Dengan langkah tertatih, ia menghampiri kopernya tersebut untuk mengambil pakaian. Ia meremas kebaya pengantin yang ia pakai dengan kesal dan marah.

Kebaya putih yang harusnya menjadi impian para gadis, kini hanya menjadi selembar kain penuh luka untuk Laura. Rasanya, Laura ingin merobek-robek kebaya itu sampai hancur.

Tak ada janji pernikahan tulus, tak ada malam pertama, atau pun malam penuh cinta untuk dirinya sendiri sebagai seorang pengantin baru. Yang ia dapatkan hanya kenyataan sangat menyakitkan.

Laura melangkah menuju lemari ingin menyimpan pakaian ke dalam lemari tersebut. Lagi lagi dirinya dibuat tercengang melihat isi lemari baju tersebut.

"Ini baju siapa? Apa ini baju istrinya?" tebak Laura melihat baju sangat bagus tergantung di lemari pakaian.

"Tapi, pakaian ini masih baru " gumam Laura melihat label di belakang baju masih ada. Ia pun menutup lemari itu lalu membuka lemari sebelahnya yang kosong, ia meletakkan pakaiannya di tempat itu.

"Aku kangen... pengen pulang. Ini bukan tempat ku." lirih Laura.

Ia lebih baik hidup sederhana asalkan bahagia, dari pada hidup enak tapi hatinya merasakan sakit. Di awal pernikahannya pun entah akan seperti apa jadinya. Ia ingin pergi dari rumah ini tak ingin menjadi orang ketiga di rumah tangganya.

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Laura. Ia bangun bergegas membukakan pintu kamarnya.

Ceklek.

"Nona ditunggu oleh Tuan Muda sekarang juga di meja makan." titah pelayan itu sambil membungkuk.

"Bilang pada Tuan mu, aku ingin istirahat," tolak Laura, ia belum bisa berdamai dengan semua ini sudah terjadi padanya.

Laura menutup pintunya, lalu merebahkan tubuhnya lagi di atas ranjang tersebut. Hatinya masih sakit dengan semua ini.

Lagi-lagi, ketukan pintu tersebut mengalihkan lamunannya. Ia kesal benar-benar ingin menghajar orang tersebut.

Laura membuka pintu kamarnya menatap orang yang sama dengan yang tadi memanggilnya.

"Ada apa lagi?" tanya Laura merasa geram sekali.

"Tuan tak ingin ada bantahan. Nona sedang ditunggu sekarang." ucap pelayan itu dengan tertunduk.

"Iya, saya akan ke sana." cetus Laura masuk kedalam kamarnya lagi untuk bersiap turun menemui suaminya.

Laura tidak suka diperintah, apalagi dengan pria sombong seperti suaminya. Jadi, dia harus kabur dari sini. Bukannya dandan cantik untuk bertemu pria itu, Laura malah merapikan kopernya kembali, lalu menyeret kopernya ke luar kamar.

Pelayan yang memanggilnya tampak terkejut ketika Laura membawa koper besar itu. Tapi dia tidak bertanya banyak, dan hanya menunjukkan jalan menuju ruang makan.

Sampai di ruang makan yang ditunjukkan oleh pelayan tadi, Laura berdiri sedikit jauh dari suaminya yang sudah duduk di kursi meja makan. Laura masih memegang kopernya untuk pergi dari sini.

"Suruh siapa membawa koper itu?" ucap Devan melirik sekilas pada Laura.

"Aku ingin pergi dari rumah ini."

"Kamu tak akan bisa keluar dari rumah ini."

"Kenapa tidak bisa?" tanya Laura penasaran apa yang akan terlontar dari mulut suaminya itu.

"Karena siapa pun sudah masuk ke rumah ini, tak akan bisa keluar kecuali perintah ku."

Laura mengepalkan kedua tangannya mendengar kata-kata suaminya seakan dirinya ingin memukul wajah tersebut.

"Pelayan, ambil kopernya." titah Devan lagi.

Pelayan itu pun mengambil koper Laura dengan paksa tak ingin dibantah oleh tuannya itu.

Laura sempat memekik, tapi tak ada hasilnya. Akhirnya, dia hanya berdiri di ujung meja makan sambil menatap geram Devan.

"Kenapa berdiri di situ? Apa kamu tak lapar, hah?" sentak Devan tak suka dengan sikap istri barunya itu.

Laura tak menjawab. Akhirnya, Laura pun menurutinya keinginan suaminya itu untuk duduk di meja makan. Namun, baru dirinya akan menghempaskan bokongnya di kursi makan suaminya itu mencegahnya untuk duduk.

"Kamu itu seorang istri kenapa tak peka sama sekali, sih?!" kesal Devan.

"Saya harus apa?!" tanya Laura ketus.

"Apa kamu tak ada yang mengajarkan gimana menjadi istri yang baik? Apa kamu pura-pura bodoh?"

"Tidak ada, saya tinggal pun sendiri, Tuan. Kamu salah menjadikan ku sebagai istri yang baik menurutmu." balas Laura, mendongakkan wajahnya. Ia tak mungkin tertunduk terus tanpa perlawanan dari suaminya yang semena-mena.

"Sudah mulai berani ya ternyata," ucap Devan dengan tegasnya. Ia pun mengambil nasi beserta lauk pauk sendiri.

"Tuan salah menikah dengan saya, karena saya bukan wanita yang akan suruh sesuai mau Tuan." sindir Laura.

Laura mungkin tadi takut, tapi semakin lama sikap Devan semakin menyebalkan. Laura tidak akan takut lagi. Jika saja ia mendapatkan kemarahan dari suaminya itu malah bagus dan dirinya akan diceraikan sekarang juga.

Devan malah tak memperdulikan perkataan dari istri keduanya itu, ia mengambil makanannya sendiri tanpa harus menunggu untuk dilayani oleh Laura.

"Kalau Tuan tidak suka dengan sikap saya, silahkan ceraikan saya sekarang juga!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status