Share

Dicaci

Satu tas besar sepertinya tak muat untuk membawa pakaianku dan Faza, butuh tas kecil lagi. Aku pikir dulu aku memiliki tas kecil yang sempat di pinjam Sinta adik iparku. Bergegas aku menuju kamarnya. 

Kuketuk pintu kamar Shinta yang tertutup rapat. 

"Shin...!" panggilku. Dari dalam belum ada juga sahutan. Mungkin dia sedang tidur. 

Lima menit kemudian pintu di buka setelah beberapa kali aku mengetuk. 

"Ada apa si, Mbak? Brisik banget!" ucapnya sambil menguap. 

"Aku mau ngambil tas kecil yang dulu kamu pinjam," jawabku. 

"Udah ngga tahu kemana, Mbak. Aku lupa!" Dengan entengnya dia menjawab. 

"Bisa dicari kan, Shin. Mbak butuh nih!" 

"Aduh, Mbak! Aku ngga tahu dan males kalau harus nyari."

"Ya udah mbak cari sendiri ya?" 

Dia hanya berdengus kesal dan membiarkan aku masuk. Terlihat barang-barang berserekan, pakaian bergelantungan dan juga ada di bawah sana bahkan di kolong tempat tidur. 

Aku terus mencari-cari setiap sudut ruangan tapi belum juga ketemu. Tas kecil yang kubeli ketika aku belum menikah dengan Mas Akbar. Tas yang berhasil kubeli dari gajiku bekerja dulu. Tas merk Sh*pie m@rtin yang terkenal itu adalah tas satu-satunya yang kupunya. 

Kucari-cari disela-sela lemari, tapi yang kutemukan hanya beberapa celana dalam dan BH yang entah itu bersih atau kotor. Aku saja mengambilnya dengan ujung jari saja. Benar-benar adik iparku super jorok. Sudah beranjak dewasa tapi masih seperti anak kecil yang bersekolah di SD. Padahal sebentar lagi dia lulus sekolah dan masuk ke Universitas. 

"Kalau ngga ketemu ya udah, Mbak. Berarti udah ilang, atau aku lupa di pinjam teman!" katanya begitu enteng. 

Enak bener pikirnya, tas itu harganya di atas satu juta tapi dengan mudah dia bilang.... 

"Dipinjam teman? Aduh Shin... Itu tas harganya lumayan loh," sergahku. 

"Ya udah tinggal beli lagi!"

Aku menghela nafas dalam. 

"Sekarang mah mana bisa beli tas seperti itu lagi, kebutuhan makin banyak terlebih gaji Mas Akbar yang tak seberapa. Masih harus dipotong untuk ini dan itu," jelasku sambil terus mencari-cari. 

"Oh... Jadi, Mbak mau bilang kalau gaji Mas Akbar tuh habis untuk membiayai sekolahku dan Rara!" tiba-tiba Shinta beranjak berdiri dari tidurnya. 

Aku terperanjat kaget medengar itu, bukankah tadi aku tak menyebutkan tentang masalah biaya sekolah Shinta dan adiknya? 

"Loh kok jadi kesitu?!" nadaku sudah mulai kesal. 

"Udahlah, Mbak. Ngga usah ngeles. Aku tahu kok." Shinta mulai nangis sesengukan. Aku makin bingung dibuatnya. 

Akhirnya aku milih keluar dari pada harus ribut lagi. Aku mengambil sebuah kardus bekas magicom untuk mengemas pakaian yang memang belum ada tempatnya. Faza bangun dari tidurnya membuat aku segera beranjak dan bermain-main kecil dengannya. Sekedar untuk menghilangkan jenuh sambil menunggu Mas Akbar pulang. 

Kudengar Ibu sudah pulang dan sedang membereskan perabotannya. Biasanya aku yang mencuci bekas nampan jualannya tapi kali ini aku malas untuk melakukannya. Biarkan saja! Toh sebentar lagi aku akan pergi dari rumah ini. 

Krumpyang... Kratakkk... Kratak.... 

Kudengar dari belakang ibu mertua tengah beberes dengan sesumbar. Meletakan sesuatu dengan di banting-banting. Faza ketakutan dan menangis, aku memilih menyusuinya hingga ia kembali tenang. Tak terasa aku juga terlelap entah sudah berapa lama. 

Jeklek.... 

Pintu kamar dibuka, aku terperanjat kaget. 

"Mas Akbar sudah pulang?" tanyaku yang segera berdiri dan menyalaminya. 

Tak ada jawaban seperti biasanya, tatapannya hanya melihat pada sebuah tas dan kardus yang aku persiapkan untuk pulang kerumah orang tuaku. 

"Itu tas apa dan mau ke mana?" selidik Mas Akbar. 

Mataku mulai berkaca-kaca mengingat peristiwa tadi di jalan dan sekata demi sekata aku ceritakan. Aku tergugu sambil bercerita dan mengutarakan keinginanku untuk pulang saja. 

"Jadi kamu ingin pulang kerumah ibumu?" tanya Mas Akbar dengan keras. 

"I-Iya, Mas, kita kerumah orang tuaku saja ya. Aku benar-benar sudah tak kuat." Aku memohon pada Mas Akbar. 

Mas Akbar berjalan menjauh dariku, "Aku kasih kamu dua pilihan! Bersabar dirumah ini atau pulang kerumah ibumu dan kita berCERAI." Mas Akbar menekan kata terakhirnya. 

Bagai tersambar petir! Bagaimana bisa hanya karena aku ingin pulang kerumah ibu, Mas Akbar memilih menceraikanku. 

Air mata mengalir bak sungai yang meluap, sakit perih hati ini terluka. Salahkah aku meminta ketenangan dalam rumah tangga. 

Mas Akbar masih bergeming dengan membelakangiku yang tengah menangis sesengukan. Seolah apa yang baru di sampaikan itu adalah keputusan mutlak dan aku harus memilih salah satunya. 

~~~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status