Share

Tuduhan

"Ke-kenapa, Mas. Kamu lebih memilih bercerai jika kita tinggal dirumah ibuku yang tak seberapa jauh?" Tanyaku dengan sesengukan. 

"Apa terlalu berat persyaratanku hingga kamu memilih bercerai. Tak iba kah kamu padaku di perlakukan seperti ini!"

"Cukup! Mengertilah... Aku hanya minta kamu bersabar atas sikap ibu dan adik-adikku! Aku sangat tahu perasaanmu, tapi tahukah kamu kalau aku anak lelaki satu-satunya. Penganti Bapak yang telah tiada!"

"Ta-tapi, Mas. Bukankah aku tak menghalangi kamu untuk tetap bertangung jawab pada keluarga ini! Aku hanya ingin keluarga kita terselamatkan, kalau saja ibumu dan adik-adikmu bisa sedikit saja menghargaiku mungkin aku-" kuhentikan kata-kataku berharap Mas Akbar mengerti.

"Apa jika kamu tinggal dirumah ibumu juga keluarga kita terselamatkan, justru akan ada bahaya yang lebih parah dari sekedar apa yang ibuku lakukan padamu!"

Aku menyempitkan mata, mencerna setiap ucapan Mas Akbar. Apa maksudnya? Aku masih memikirkan apa yang baru saja di sampaikan oleh dia. 

"Maksud kamu apa, Mas?" Rasa penasaranku tak dapat lagi kubendung. 

"Se-se-sebenarnya...." Mas Akbar akan berucap tapi seolah tertahan. Entah apa yang sebenarnya terjadi. 

"Apa, Mas!" aku mendekat dan menguncang tubuhnya yang bergeming dengan menatap jauh bukan kearahku. 

"Dian... Dian alasanya!" Akhirnya Mas Akbar bersuara juga. 

Menumbuhkan tanda tanya. Ada apa dengan adikku yang satu ini? Dia memang bersahabat dekat dengan Shinta karena bersekolah satu sekolahan. Bahkan satu kelas. 

"Sudahlah, tolong kalau memang kamu ingin keluarga kita baik-baik saja! Tetaplah di sini. Masalah ibu biar aku yang bicarakan." Mas Akbar bersuara lebih lembut. Seolah dia tengah menenangkanku setelah ucapannya yang membuat aku penasaran. 

"Ada apa dengan Dian?" tanyaku menatap tajam pada Mas Akbar. 

"Sudahlah, aku cuma tak enak dengan Dian, bagaimana kalau kita pindah ke sana karena kamu pergi dari rumah ini dengan kemarahan. Pasti akana berakibat tak baik antara Dian dan Shinta." Mas Akbar berkata yang menurutku sedikit tak masuk akal. 

"Mungkin ibu seperti itu karena belum benar-benar mengenalmu, juga masih beradaptasi. Maklumlah jika anak laki-lakinya sekarang lebih perhatian pada istrinya," bujuk Mas Akbar dengan mendudukanku di tepi ranjang. 

Akhirnya aku pun luluh dan memilih mengalah, mencoba bertahan sekali lagi menghadapi sikap mertua dan ipar, tapi kali ini aku berjanji pada diriku. Jika nanti peristiwa seperti itu terjadi lagi aku akan lebih memilih melawan dan meninggalkan rumah mertuaku ini walau perceraian yang akan aku hadapi. 

Aku kembali bersikap biasa, bahkan ibu mertua pun bersikap sedikit membaik, mungkin Mas Akbar sudah berbicara dengan ibunya. Membuat aku sedikit nyaman walau tentang mengurus Faza tetap menjadi bagianku. Ibu Mertua tak lagi mengomel ketika aku lebih sibuk mengurus anakku dari pada pekerjaan rumah. 

Semua itu hanya berjalan beberapa hari, setelahnya dia kembali berulah. Ketika aku tengah menjemur pakaian yang habis kucuci di jemuran belakang. Aku memang menjemur pakaian yang kucuci kemarin. Karena kemarin hujan membuat baju-baju itu tak kering. 

Gubrakkk... 

Satu ember cucian yang baru saja Shinta cuci disodorkan dengan kasar kepadaku. Aku pun berfikir mungkin dia menyuruhku untuk menjemurnya. 

Setelah selesai aku menjemur baju kemarin aku pun mulai menjemur satu ember yang tadu ibu mertua letakan tak ayal dari dalam rumah Ibu Mertua berteriak. 

"Hai... Siapa suruh kamu pegang baju itu!"

Aku kaget dan langsung menengok kebelakang pada suara ibu. 

"Shinta!" teriak ibu memangil adik iparku yang memang sedang libur sekolah. 

"Iya, Bu!" Shinta pun mendekat. 

"Angkat itu baju-baju kakakmu! Ini aku mau jemur baju kamu dan adikmu."

Aku terkaget melihat semua pakean yang baru kujemur di gulung habis. 

"Ini, Mba! Jemur di tempat lain!" Shinta menyerahkan bajuku dengan judes. 

Aku hanya menghela nafas kasar dan memilih menjemur pakaian di depan rumah, di tanaman yang sudah di sulap menjadi pagar itu. Hatiku kembali sedih. Kenapa mereka memperlakukanku sedemikian rupa. 

Selesai aku menjemur aku kembali masuk dan pergi kekamar mandi untuk sekedar cuci tangan. 

"Salah Masmu itu! Kenapa pacaran sama adiknya malah menikahi kakaknya yang perawan tua!"

"Iya, harusnya sama Dian aja pasti seru teman jadi kakak ipar! Ngga kaya mbak Indah si perawan tua yang tak laku-laku!"

Klontang! 

Gayung terjatuh dari tanganku, kenyataan apa yang baru kudengar. Benarkah Mas Akbar dulu justru perpacaran dengan Dian? Ya Allah, rahasia apa yang belum aku ketahui. 

'Aku harus menanyakan kebenaran ini pada Mas Akbar!' gumamku sambil berlari masuk kedalam kamar. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status