Share

2 - Kamu adalah Iblis

“Alice! Kamu sudah bangun!?”

Suara seorang pria yang menerobos pintu kamar tiba-tiba mengejutkanku.

Dante, dengan wajah dinginnya, membawa nampan berisikan roti dengan selai strawberry serta susu yang merupakan menu favoritku tiap pagi.

Apalagi yang akan dia lakukan?

Dante berjalan ke arahku dan menyodorkan piring berisikan roti ke hadapanku. Entah mengapa, sikap baiknya seperti ini justru membuatku khawatir. Pria itu sama sekali tak pernah berbuat baik kepadaku.

Merasa kesal karena tidak bisa menebak apapun di kepalaku, aku menghempaskan piring yang disodorkan Dante hingga piringnya pecah berserakan di lantai.

“Aku tidak butuh makan,” ucapku membuang muka.

Namun, tak lama setelah suara piring yang kuhempas, bunyi pecahan kembali terdengar di telingaku.

Prang!

Suara vas bunga yang pecahannya sudah tergeletak di lantai membuat pundakku bergetar. Siapa lagi kalau bukan Dante pelakunya?

Matanya memerah dan menatap tajam ke arahku. Dia sangat marah sekarang. Namun aku benar-benar tak peduli dan tidak lagi takut dengan tatapannya. Aku hanya membuang muka ketika Dante menatapku.

TIba-tiba, sebuah tangan berada di kerah gaunku, dan menariknya dengan kuat. Aku menutup mataku, bersiap diri jika Dante mencekikku.

“Jika kamu ingin mencekikku, silakan, Dante. Aku ikhlas, lebih baik aku mati daripada berhubungan dengan suami kontrak yang arogan dan gila seperti kamu!” pekikku, memberanikan diri untuk menatap manik gelap Dante.

Tak kusangka, cengkeraman Dante di kerah gaunku justru melemah. Tiba-tiba, Dante jsutru memindahkan kedua tangannya dari leherku ke wajahku. Pandangannya mulai berubah. Dia menatapku dengan sayu.

Kemana perginya tatapan tajam tadi?

Ini terlihat lebih menyeramkan dibandingkan tatapan tajamnya.

Tanpa diduga Dante menarik wajahku mendekat pada wajahnya dan menciumku secara paksa. Dia menggigit bibirku akan tetapi aku tetap menutup mulutku rapat-rapat.

“Hmph–”

Aku mendorong tubuh Dante agar menjauh dariku namun kekuatannya jauh lebih kuat dan aku tidak bisa membuatnya menghentikan ciuman.

Tangan Dante beralih ke pinggangku dan dia mencubit pinggangku hingga tanpa kusadari aku membuka mulutku dan Dante menciumku dengan rakusnya tanpa henti.

Sekarang dia benar-benar menjadikan aku boneka mainannya.

Aku kehabisan nafas karena Dante tak memberiku jeda untuk bernafas. Dengan sekuat tenaga aku menggigit bibirnya dan Dante menghentikan ciuman rakusnya.

Nafasku tersengal-sengal dan aku terbatuk-batuk. Dante benar-benar sangat gila.

“Hahaha,” tawa Dante terdengar menyeramkan.

Aku bergidik ngeri mendengarnya.

Dante menoleh dan refleks aku menjauh darinya. Aku bisa melihat, ujung bibir Dante yang mengeluarkan darah segar karena gigitanku.

Tersadar aku yang terus menatapnya, Dante mengusap bibirnya dengan ujung jempolnya. Bukannya meringis kesakitan, pria gila itu justru menampilkan seringai di wajah tampannya.

Tak hanya itu, dia juga mendekat, menatap diriku tajam dengan maniknya yang segelap malam, membuatku refleks menghindar.

“Apa yang kamu inginkan?” tanyaku, berusaha tak menunjukkan rasa takutku. Tak peduli aku berusaha meyakinkan diri bahwa aku mampu melawan pria di hadapanku, tubuhku jelas berkata sebaliknya.

“Aku ingin kamu makan, agar kamu tak sakit, sayang.” Dante memberi perintah dengan nada yang pelan, namun entah mengapa, tatapan matanya seolah memberikan isyarat bahwa pria itu bisa menerkamku kapan saja.

Aku menatap roti yang berserakan di lantai.

“Tunggu apa lagi? Cepat makan, atau tidak, kamu tak akan pernah melihat ayahmu lagi, Alice.”

Ucapan Dante seketika membuat panik memenuhi sekujur tubuhku. Apa maksudnya?

“Apa– maksudmu, Dante? Apa kau–”

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, wajah tak berekspresi dari Dante membuat firasat buruk yang sedari tadi bergelimang di pikiranku semakin meyakinkanku bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.

“Ayahmu sudah meninggal, jadi makan roti itu sekarang juga lalu aku akan berbaik hati untuk membawamu melihat ayahmu untuk terakhir kalinya,” tutur Dante dengan entengnya.

Nada bicara Dante yang terlalu santai membuat tubuhku menegang. Aku tahu, sejak beberapa bulan yang lalu, aku memang sudah menyiapkan diri untuk kabar yang terburuk. Tapi, bisa-bisanya Dante mengucapkan hal berat itu bagaikan menyampaikan kabar bahagia.

Aku merasakan tubuhku mulai bergetar. Dengan kekuatan yang tersisa, aku kembali menatap Dante dengan nyalang, “Kamu membunuhnya?”

Dante tidak menjawab.

“Makan atau aku akan melakukan sesuatu yang membuatmu memohon untuk mati saja dibandingkan hidup,” balas Dante dengan wajah datarnya.

Dengan terpaksa aku mengambil roti yang berserakan di tanah dan memasukkannya ke mulutku.

Aku tetap harus bertemu Ayah walau untuk terakhir kalinya.

Dadaku terasa ngilu dan mataku memanas mendapatkan perlakuan seperti ini. Rasa selai strawberry ini tadinya memberiku ingatan yang menyenangkan tapi kali ini tidak.

Aku akan kesulitan makan roti dengan selai strawberry lagi karena mengingat momen menyedihkan ini.

Sejak itu, aku bertekad bahwa aku harus membalaskan dendam ini kepada Dante. Keluargaku tidak pantas diperlakukan seperti ini. Aku harus membalaskan dendam kepada dunia yang telah memperlakukanku dengan kejam tanpa keberuntungan sedikitpun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status