"Abang kenapa bohong? Abang bilang pil KB itu milik anak Bu Dasmi, tetapi Bu Dasmi bilang anaknya masih SMP. Berarti Abang bohong! Terus, itu pil KB siapa, Bang? Katakan!" Lunar tidak sanggup lagi menahan kesal terhadap suaminya. Sudah menunggu lama sampai pukul dia dini hari, ditambah ada kenyataan lain perihal pil KB yang ia konfirmasi pada Bu Dasmi. Tentu saja ia tidak terima. Sepanjang perjalanan pulang dari klinik ia hanya diam sambil menumpuk amarah, begitu tiba di rumah, Lunar langsung meluapkan kekesalannya. "Abang sebenarnya yang meminumnya. Itu pun baru saja, karena Abang sering cemas. Kata teman Abang, coba minum pil KB wanita, biar bisa lebih tenang." Jawaban Bira membuat Lunar tertawa remeh. "Apa hal ini bisa saya percaya? Bukannya kita sedang dalam program memiliki momongan, kalau Abang minum pil KB, pasti saja saya tidak akan hamil. Apa yang sebenarnya Abang inginkan?" Lunar memegang kerah baju Bira dengan kesal. Namun, pria itu tetap bungkam. "Maafkan Abang, Lunar.
"Kamu salah paham, Bira. Ini gak seperti apa yang kamu pikirkan." Haris mencoba menjelaskan meski rasanya sia-sia. Wajah Bira merah padam menahan marah sambil menatap Haris dengan tajam. Lalu apa yang dilakukan oleh Lunar? Lunar hanya bisa menunduk merasa sangat bersalah pada suami dan juga iparnya. Karena ia selalu ceroboh saat berjalan, sehingga menimbulkan kesalahpahaman antara dua saudara ini. "Saya terpeleset dan hampir jatuh, Mas, untunglah ada Mas Haris, sehingga saya tidak jadi terjerembab di lantai," ujar Lunar dengan suara gemetar. "Entah saya harus percaya atau tidak. Kalian makan berdua tanpa saya saja sudah membuat saya kecewa, sekarang ditambah ada adegan semi pelukan di depan saya. Sebaiknya Mas Haris tidak di sini lagi, kecuali memang Mas Haris memang berminat pada Lunar." Haris dan Lunar menoleh serentak pada Bira.Ingin membantah juga percuma, karena posisinya pasti tetap menjadi orang yang disalahkan. Haris berdiri, lalu mengambil ransel yang sudah ia siapkan. Sia
"Pijat saja dulu, Bu. Tadi sudah minum dari rumah." Bira tersenyum. Ia menelan ludah dalam-dalam. Ruangan dingin yang saat ini mengelilinginya tidak lagi terasa di kulitnya. Gerakan perlahan pelanggan wanita yang super semok dan montok tengah membetulkan letak bantal dan guling di ranjang, mampu membuat gairahnya memuncak, padahal ia biasa melihat Lunar membereska kasur di rumah, tetapi beda dengan Elina yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Wanita bernama Elina itu berbaring telentang dengan pasrah. Bira menelan ludah, menahan hasratnya. Ini adalah bulan ketiga ia memijat Bu Elina dan tidak berani macam-macam karena wanita ini adalah istri orang super kaya di Jakarta. Mungkin saja termasuk orang terkaya di Indonesia. Mana berani ia macam-macam, bisa menghilang nyawanya nanti. Ia harus profesional saat ini. Jikalau gairahnya tersulut, maka pasien di klinik nanti tempat ia melampiaskannya. "Saya sudah gak pakai bra dan celana dalam loh, sesuai permintaan kamu," kata Bu Elin
Sepanjang dalam perjalanan pulang, Bira sama sekali tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak saja polisi tidur dengan kecepatan tinggi, hingga tubuhnya ikut terlonjak. Sungguh pertemuannya dengan Harus yang tidak disangka-sangka. Tadi pagi ia baru saja mengusir kakak sepupunya itu dengan kesalahan yang ia sendiri tahu, tidak benar. Sekarang, ia yang terperangkap sendiri atas kelalaiannya. Ditambah ibunya di kampung meminta hal yang aneh. Bira tidak pulang ke rumah, melainkan mampir di cafe yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Elina. Di sana ia duduk termenung sambil merokok serta memikirkan bagaimana ia memberitahu Haris tentang apa yang ia lakukan di rumah Elina. Ia tidak mungkin berkilah di depan kakaknya itu, karena tingkah berani memalukan yang ia lakukan pada Elina sudah pasti dilihat oleh Haris. Ting! Pesan berbunyi. Ada nama Bu Dasmi di sana yang mengatakan ada pasien wanita bernama Nela dan juga Aima yang datang. 'Hari ini saya sedang kurang sehat
"Kenapa, Ris?" tanya Pak Cipto saat melihat Haris tengah meringis sambil memijat kepala. "Tiba-tiba sakit kepala, Pak." Haris memicingkan matanya menahan sakit. "Oh, saya ada obat sakit kepal, sebentar saya ambilkan!" "Jangan, Pak, terima kasih. Ini bukan bisa disembuhkan dengan obat sakit kepala biasa, Pak Cipto. Saya salat Isya dulu ya." Haris berjalan cepat menuju ruangan ganti berukuran dua meter kali dua meter. Di sana tempat ia menyimpan tas dan juga melaksanakan salat Ashar serta magrib tadi. Pria itu berwudhu, lalu melaksanakan salat Isya dengan khusyuk. Selepas salat, Haris merasa kepalanya yang tadi sakit, sudah berangsur sembuh. Pria itu masih duduk berzikir untuk beberapa menit, sebelum kembali bertugas. Kenapa harus ada dirinya juga di rumah Elina, padahal ada juga Pak Cipto di sana? Hal itu dikarenakan Pak Cipto sudah tidak bisa bergadang menjaga rumah. Lalu Pak Cipto sudah beralih tugas menjadi sopir Elina. Sehingga Haris-lah yang bertugas menjadi penjaga rumah.
"Ibu silakan ke rumah saya, tetapi tidak dengan wanita yang mau Ibu jodohkan dengan Bang Bira. Bang Bira tidak akan menikah dengan siapapun.""Terserah saya. Rumah itu rumah anak saya. Kalau kamu mau saya gak bawakan wanita lain ke rumah, segera hamil dari benih anak saya, kalau tidak bisa, jangan harap niatan Ibu bisa kamu gagalkan. Kalau kamu gak mau juga, silakan kamu yang keluar dari rumah anak saya. Ya ampun, minta jemput aja jadi susah gara-gara mulut istri yang comel."Percakapan itu terputus. Napas Lunar naik-turun karena kesal dengan mertuanya. Sejak awal kenal dengan Bira, mertuanya memang tidak pernah manis padanya, cenderung masa bodoh. Hal ini yang membuatnya tidak pernah dekat dengan beliau karena memang beliau yang menjaga jarak. Sementara itu, motor Bira sudah berada di jalanan setapak arah rumah tua Kek Sugi. Karena masih pagi, sinar matahari pagi juga begitu terang dan hangat, maka Bira sama sekali tidak merasakan aneh. Tidak takut atau merasakan bulu kuduknya merin
Lunar cepat-cepat menghapus air matanya, begitu ia mendengar langkah kaki suaminya mendekati kamar. Lekas ia bangun, lalu berlari naik ke tempat tidur. Berpura-pura tidur adalah hal yang paling tepat ia lakukan. Video suaminya dengan wanita dewasa sudah otomatis tersimpan di ponselnya, sedangkan riwayat chat-nya dengan Haris sudah ia hapus. Suara pintu terbuka. Lunar berbaring memunggungi arah pintu, sehingga Bira tidak akan bisa melihat kelopak matanya yang tidak benar-benar terpejam. "Lunar, ada tamu kenapa malah tidur, Sayang?" Lunar menahan mual di perutnya. Jika dahulu ia pasti sangat senang dengan panggilan sayang yang dilayangkan suaminya, tetapi kini tidak. Ia mual, enneg, apalagi mengingat bagaimana suaminya menyentuh dada pelanggan wanitanya dengan sangat menjijikkan. Lunar memilih tidak menjawab. Ia masih memejamkan mata sembari terus mengatur napas agar berembus sewajarnya. Terdengar suara Bira mendesah, lalu tidak lama suara langkah kaki menjauh, lalu pintu terbuka. Lu
"Mas Haris, saya sudah di bengkel yang Mas Haris share lock. Mas Haris di mana?" "Oh, iya udah, tunggu sebentar ya, Lunar. Kosan saya gak jauh dari situ. Jangan ke mana-mana. Biar saya jemput." Lunar pun mematikan ponselnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk membaca keadaan lingkungan sekitar yang baru kali ini ia datangi. "Lunar!" Teriakan Haris membuat wanita itu menoleh kembali ke kanan. Ia tersenyum, lalu buru-buru mematikan ponselnya. Jangan sampai suaminya mengetahui di mana posisi ia sekarang . Haris melangkah lebar agar segera sampai di dekat Lunar. "Udah lama?" tanya Haris. Lunar menggeleng. "Baru aja, Mas." Lunar menjawab tidak semangat. Rasa kecewa dan sakit hati cenderung lebih besar menguasai hatinya saat ini. "Sini, saya yang bawakan tasnya." Lunar mengangguk; memberikan tas belanja berukuran besar itu pada Haris. Pria sederhana itu memakai sandal jepit dan juga baju kaus yang amat sederhana. Celananya juga pun sama. Berbeda dengan suaminya yang selalu