Share

Chapter 7

Berdiri disana seorang pria tampan, yang tersenyum tipis padanya. Tapi suaranya hampir mirip dengan suara Fahmi.

"Ahh ... Para pria "kan emang suaranya hampir mirip-mirip begitu. apa akunya saja yang lebay," batin Anisa masih meneliti pria di depannya. Berharap, andai wajah Fahmi setampan pria itu.

"Mbak ...," Panggil si pria yang segera menyadarkan Anisa dari lamunannya.

"Oh ... Itu ... tidak usah, biar nanti saja, saya kembali lagi kemari," tolak Anisa dengan halus sambil keluar dari barisan pengantri.

"Mbak, sekalian saja sama punya mbak yang ini ya," ucap si pria pada kasir tanpa mempedulikan penolakan Anisa.

Kasir dengan cekatan menghitung total belanjaan lalu memberikannya pada si pria yang segera membayarnya.

"Maaf, bisa saya minta nomor rekening, nanti setelah tiba di rumah, saya langsung transfer uangnya," ucap Anisa sambil menerima buku dari tangan si pria tampan tersebut sesaat setelah mereka keluar dari toko buku.

"Tidak usah," jawab si pria, lalu segera berlalu meninggalkan Anisa yang hanya melongo sesaat.

"Eh .... Mas, eh Kak, maaf, tapi saya enggak biasa begini. Bisa minta nomor rekeningnya ?" Anisa masih kekeh mengejar si penolong.

Tapi langkahnya berhenti, karena tampak seorang wanita yang menghampiri si pria dan tersenyum manis padanya.

"Sudah selesai ?" tanya si wanita yang dibalas anggukan si pria.

"Maaf, lama menunggu," balas si pria sambil tersenyum.

Anisa kembali mendekat, karena masih memiliki hutang budi.

"Eh Mas, atau Kak ?" Panggil Anisa yang membuat si pria dan wanita kompak menoleh pada Anisa.

"Kamu kenal dia ?" tanya si wanita yang dibalas anggukan si pria.

"Iya, baru kenal di dalam toko buku. Mbak ini lupa bawa dompet," jawab si pria pada wanita yang mungkin kekasihnya.

Si wanita tampak menatap Anisa, menyelidik tepatnya.

"Ada apa lagi ?" tanya si pria ramah.

"Itu, saya minta nomor rekening, sekalian saya mau minta tolong, sekali lagi ?" ucap Anisa pelan karena merasa tidak enak. Apalagi terlihat si wanita yang menatap tidak suka pada Anisa.

"Untuk rekening tidak usah, karena saya ikhlas. Lalu, mau minta tolong apa ?" jawab si pria sambil menatap ke arah Anisa.

"Boleh pinjam ponselnya ? ponsel dan juga dompet saya ketinggalan, sehingga tadi tidak bisa membayar dan juga saya enggak bisa pulang," pinta Anisa berharap si pria akan menolongnya lagi.

Tampak si pria mengangguk lalu mengangsurkan ponsel pada Anisa yang dengan cepat menghubungi Ibu. Tapi sepertinya ia sedang dipermainkan Alam. Ibu tidak kunjung mengangkat teleponnya.

Anisa merutuki kebodohannya, karena ia tidak hafal nomor Abah dan juga nomor kakaknya, apalagi nomor Mutia. Yang ia hafal hanya nomornya sendiri dan juga nomor Ibu. Padahal Ibu jarang sekali memegang ponsel,kalau tidak ada kepentingan.

Anisa mengangsurkan kembali ponsel si pria dengan wajah sedih.

"Tidak diangkat ?" Tanya si pemuda yang dibalas anggukan Anisa.

"Atau, mau saya antar pulang ?" Tanya si pemuda menawarkan bantuan yang dibalas gelengan Anisa, karena melihat raut tidak suka yang ditunjukkan wanita yang berada di samping pria tersebut.

"Tolong pesankan grabcar saja, saya akan membayarnya jika sudah sampai di rumah," pinta Anisa lagi pada si pria yang baru dikenalnya tersebut.

Dengan cepat si pria menuruti keinginan Anisa tanpa banyak bertanya.

Akhirnya Anisa bisa pulang ke rumah dengan selamat, berkat bantuan pria baik tadi.

Air putih satu gelas, tandas dibuatnya saat tiba di rumah.

Setelah shalat dhuhur, Anisa memilih merebahkan tubuh penatnya. Eh bukan tubuh saja yang penat, tapi lebih pada hatinya yang kesal membara.

"Fahmi menyebalkan, semua gara-gara dia, hidupku jadi sial !" kesal Anisa menyalahkan Fahmi yang tidak tahu apa-apa.

Malam kembali menjelang.

Tampak Anisa yang tengah membaca novel yang baru dibelinya tadi.

Cklek !

Pintu kamar terbuka, menampilkan wajah yang amat sangat tidak disukai oleh Anisa.

Andai boleh meminta, dia ingin Fahmi tidak usah pulang saja.

"Sudah makan ?" tanya Fahmi setelah selesai membersihkan tubuh dan berganti baju.

Anisa memilih untuk tidak menjawab, karena masih kesal gara-gara tadi.

"Hmm ... lagi sariawan ya ?" canda Fahmi yang tidak juga membuat Anisa bergeming.

"Hehe ... apa aku terlalu jelek, sehingga membuat seorang wanita cantik seperti Anisa sampai hati tidak mau menjawab pertanyaanku," ucap Fahmi lagi, sembari duduk di sofa, menatap ke arah Anisa yang tetap saja dalam kebisuan dan tetap asyik dengan novel di depannya. Seolah-olah hanya dirinya sendiri yang berada di dalam kamar.

Fahmi tersenyum, mengeluarkan laptop dan berjalan ke arah meja yang mungkin sering digunakan oleh Anisa untuk belajar atau untuk mengetik. Karena di atas meja, juga terdapat laptop milik Anisa.

Setelah menyalakan laptop, Fahmi segera keluar kamar hendak menyeduh teh untuk dirinya. Tapi begitu kembali, ia malah membawa dua cangkir teh hangat. Yang tentunya untuk Anisa salah satunya.

"Ini, minumlah, aku tidak memasukkan garam kok," ucap Fahmi sembari meletakkan cangkit teh di atas nakas. Sedangkan Anisa masih saja diam malas bicara. Walau jelas-jelas Fahmi menyindirnya yang pernah memasukan garam ke dalam teh milik Fahmi.

Setelah itu, Fahmi mulai terlihat sibuk dengan laptop dan juga teblet di depannya, entah sedang mengerjakan apa.

Anisa sedikit melirik untuk melihat, tapi malas untuk menyapa. Teh yang dibuatkan Fahmi juga tidak disentuh sama sekali.

Karena bosan, ia memilih untuk keluar kamar. Sedangkan Fahmi, terlihat fokus pada laptopnya, sehingga tidak menyadari Anisa yang keluar kamar.

Diam-diam, Anisa keluar rumah. Mengambil motor di garasi, dan mendorongnya hingga agak sedikit jauh, sambil tertatih-tatih, barulah ia menaikinya.

Dasar Anisa nekat, padahal gerimis kecil sudah terasa.

Dia ingin sekali makan martabak, niat hati mengajak Mutia, tapi anak itu belum juga kembali. Mana ponsel dan juga dompet Anisa masih di dalam tas Mutia. Untung saja ia masih punya simpenan uang di dompet yang lain.

Anisa melajukan motor hingga tiba di tempat martabak langganannya.

Timingnya pas banget, saat tiba, hujan mulai turun deras. Akhirnya Anisa berteduh di warung nasi goreng, sembari menanti martabak pesanannya matang.

Hujan turun cukup lama juga, sehingga mau tidak mau Anisa menanti sejenak. Tapi hingga satu jam, hujan tidak juga berhenti. Mana di dalam jok motor, enggak ada jas hujan.

Akhirnya dengan segala kenekatannya, Anisa beranjak pulang walau sudah dilarang mamang penjual martabak.

Anisa melajukan motor dengan sangat pelan, sehingga tubuhnya kini benar-benar basah kuyup.

Tapi nasib lagi apes, saat di belokan rupanya ada lubang yang tidak tampak, sehingga Anisa hilang keseimbangan dan ...

Brak !

"Allah !" Pekik Anisa yang terjatuh dari motor. Tangan dan kakinya terasa sangat sakit sekali.

Apa ini balasan karena cuek pada Suami ?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
carsun18106
fahmi ini nyamar ya...pdhl aslinya oh sehun xixixi
goodnovel comment avatar
carsun18106
wakakaka terus aja gitu nis...nis...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status