Share

Chapter 3

Anisa terbangun saat adzan subuh berkumandang. Ia masih mengenakan gamis dan juga jilbab akad tadi malam.

Menatap sekeliling ruangan, berharap jika tadi malam hanyalah mimpi buruk. Apalagi suara Adzan yang didengar adalah suara dari marbot masjid yang baru. Siapa lagi kalau bukan Fahmi. Jadi Fahmi masih tinggal di Masjid dan bukan sekamar dengannya, khayalan Anisa menenangkan diri.

Anisa segera bangun dari posisi tidurnya. Mengerjapkan kedua netranya. Menatap sekeliling kamar,  Sepertinya ia tidak sedang bermimpi, karena pakaian yang dikenakan Fahmi tadi malam, terlihat tergantung di dekat pintu. Ia menghela nafas kasar.

Tok ...tok !

"Nisa ... ayo ke masjid sama Ibu dan Mutia." Suara Ibu terdengar dari luar kamar. 

 Tumben ibu mengetuk, biasanya juga langsung masuk, batin Anisa lalu segera beranjak dari atas ranjang untuk membuka pintu.

Cklek!

Anisa melihat senyum Ibu dan Mutia begitu pintu terbuka. Entah apa yang membuat mereka tersenyum demikian merekah.

"Ke masjid enggak ? kalau masih capek, shalat di rumah saja ?" Bukannya mengajak, ibu malah memberikan pilihan pada Anisa.

"Anis shalat di rumah saja ya bu," jawab Anisa dengan rasa malas. Sedangkan Ibu hanya mengangguk dan segera berlalu bersama Mutia,  karena sebentar lagi iqomat akan segera terdengar.

Setelah Ibu dan Mutia pergi, Anisa segera masuk kembali ke kamar dan cepat menuju kamar mandi. 

Mandi subuh agar hati dan pikirannya kembali tenang. Memikirkan jika ia sudah menjadi Istri Fahmi, membuat otaknya benar-benar panas. Sehingga dinginnya air di waktu subuh, akan membuatnya ikut dingin juga.

Selesai mandi dan berganti pakaian, ia segera memakai Mukena dan melaksanakan shalat subuh.

Saat sedang asyik merenung di atas sajadah, terdengar pintu di buka dari luar.

Cklek !

Menyembul kepala makhluk yang sama sekali tidak ingin dilihat Anisa. Makhluk yang bergelar Suami, yang saat ini harus dihormatinya. Tapi Anisa tidak akau mau melakukannya, karena ia menikah atas paksaan Abah, bukan keinginan hatinya.

Anisa kembali menekuri sajadah, dan enggan menyapa Fahmi yang saat ini mendekatinya, dan duduk di sampingnya.

"Assalamualaikum, Dek Nisa," sapa Fahmi membuat telinga Anisa gatal.

Ia segera berbalik menatap Fahmi yang tetap saja jelek dan tidak sedap dipandang. 

"Jangan pangil-panggil namaku. Saat di kamar, anggap saja kita ini bagai dua orang asing yang tidak saling mengenal. Saat di luar kamar, sapa jika ada perlu saja ! itu juga point yang akan aku tulis dalam surat perjanjian !" Ucap Anisa ketus sambil menatap tidak suka pada Fahmi yang malah tersenyum. Bukannya senang melihat senyum Fahmi, ia rasanya ingin pergi saja. 

Kenapa tuhan harus ciptakan Fahmi menjadi pasangannya ? Anisa berharap jika pernikahannya ini tidak akan lama, dan bisa segera berpisah dari Fahmi. Salah satunya cara adalah membuat Fahmi muak pada tingkah lakunya.

"Baiklah, sudah aku katakan, tulis saja hal yang membuat Dek Nisa senang. Aku akan ikuti semua yang ditulis dalam surat perjanjian," ucap Fahmi berhenti sejenak, menatap dalam wajah gadis yang kini telah menjadi Istrinya itu.

"Tapi aku juga punya dua permintaan," ucap Fahmi sambil menatap Anisa.

"Cepat katakan !" balas Anisa, karena ia ingin Fahmi segera pergi.

"Yang pertama, saat di luar kamar, perlakukan aku layaknya Suamimu, jangan berkata ketus padaku dan jangan menolak untuk menghidangkan makan padaku. Itu semua, agar Abah dan Ibu merasa senang. Kau boleh berkata ketus dan kasar saat hanya ada kita berdua saja. Yang kedua,  jika suatu saat aku bisa membuatmu menyukaiku, maka aku akan meminta satu permintaan. Apa itu permintaannya akan aku katakan itu nanti, ketika saatnya tiba," pinta Fahmi yang membuat Anisa tertawa mengejek.

"Baiklah, aku sanggupi yang pertama. Lalu yang kedua, sampai kapanpun aku tidak akan mungkin menyukai atau jatuh cinta padamu ! jadi buang mimpimu itu jauh-jauh. Yang harus kau pikirkan adalah, bagaimana caranya kita cepat berpisah. Aku tidak bisa terus hidup dengan pria sepertimu !" Ucap Anisa begitu ketus pada Fahmi yang terlihat menanggapi dengan senyum, seperti biasa.

"Baiklah, tapi berikan aku waktu lima bulan, agar bisa melaksanakan keinginanmu untuk berpisah. Kalau mendadak berpisah, itu akan sangat tidak baik. Untuk saat ini, buatlah hati kedua orang tuamu berbahagia dengan pernikahan kita," ucap Fahmi bijak yang membuat Anisa kembali membuang muka.

"Pergilah, jangan dekat-dekat denganku, aku muak jika berdekatan seperti ini," ucap Anisa masih saja ketus.

Fahmi hendak mengulurkan tangan untuk menyentuh kepala Anisa tapi urung dilakukannya. Ia akhirnya beranjak dari sisi Anisa dan segera masuk ke walk in closet, untuk berganti baju.

"Dasar tidak tahu diri !" umpat Anisa tidak suka pada Fahmi. Tapi yang Anisa herankan, walau memiliki wajah yang tidak tampan atau manis seperti cowok-cowok Korea, tapi saat dekat, aroma yang menguar dari tubuh Fahmi terasa lembut. Ada aroma vanilla lembut eksotis, dipadu harum woody yang maskulin dan disusul kesan wangi apel. Seperti wangi Hugo Boss Bottled, batin Anisa menerka. Karena ia adalah pecinta parfum.

"Aneh," monolog Anisa sambil geleng-geleng kepala.

Setelah selesai membaca ma'tsurat, Anisa segera melepas Mukena dan beranjak keluar kamar. Fahmi tidak tampak di dalam kamar sedari tadi, selepas mereka mengobrol. Di luar juga tidak ada. Baguslah jika tidak ada, akan lebih baik jika tidak usah pulang sekalian, batin Anisa berharap.

Ibu tersenyum melihat Anisa yang baru keluar kamar.

"Fahmi tadi pergi kerja bakti RT bersama Abah," ucap Ibu tanpa ditanya oleh Anisa.

"Anis enggak nanya, kenapa ibu cerita ? Emangnya Anis peduli kemana Marbot Masjid itu pergi !" Ucap Anisa tidak suka mendengar nama Fahmi disebut.

"Nisa ...! enggak boleh begitu nak, walau bagaimanapun, Nak Fahmi itu sudah sah jadi suami kamu," ucap Ibu menasehati Anisa, yang walau bengal tapi tidak pernah kasar atau ketus seperti saat ini. Tapi Ibu maklum, mungkin Putrinya masih shock pada pernikahan mendadak yang mengguncang perasaannya.

"Terserah ibulah, pokoknya Anis enggak suka sama Fahmi, titik !" ucap Anisa lalu segera berlalu setelah mencomot roti dengan selai dan juga segelas air putih hangat. Ibu Zainab hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah putri bungsunya tersebut.

Untuk sementara waktu, Fahmi dan Anisa akan tinggal bersama Abah dan Ibu. Semua itu atas permintaan Abah pada Fahmi, yang menyetujui selama itu membuat Anisa nyaman. 

Kakak Anisa yaitu Hilya, sudah memiliki rumah sendiri, yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah Abah. Karena hanya mempunyai dua orang putri, maka Abah menginginkan putri-putrinya tinggal dekat dengannya. Tapi Abah tidak lupa meminta izin pada menantu laki-lakinya terlebih dahulu, sebelum memutuskan anak perempuannya tinggal berdekatan dengan dirinya dan juga Istrinya.

Alhamdulillah, kedua menantunya orang yang santun dan pengertian. Fahmi yang baru menjadi Suami Anisa, sudah membuat Abah dan Ibu merasa senang. Menantu mereka itu bertutur lembut dan juga sangat sopan.

Abah dan Fahmi telah kembali dari kerja bakti. Tampak mereka bermandi keringat saat masuk ke dalam rumah.

Ibu menyambut Abah dengan segelas air putih, tapi tidak dengan Anisa yang malah asyik dengan ponsel di tangannya.

"Nisa ... suaminya diambilkan air to," ucap Abah, tapi tidak membuat Anisa bergeming. Itu adalah caranya untuk menyampaikan kemarahannya pada Abah. 

"Dia punya kaki dan tangan, bisa ambil sendiri !" ucap Anisa menatap tajam ke arah Fahmi. Kali ini Fahmi juga menatapnya tajam. Anisa segera sadar akan permintaan Fahmi saat di kamar. Ia lalu beranjak dengan malas untuk mengambilkan air dan memberikan pada Fahmi dengan kasar. Fahmi tersenyum menerimanya.

"Terimakasih," ucap Fahmi lembut, tapi itu sama sekali tidak menggetarkan hati Anisa.

Setelah sarapan pagi, Anisa hendak ke toko seperti biasa, tapi Abah melarang, karena Anisa dan Fahmi baru saja menikah. Tapi dasar Anis yang masih kesal pada Abah atas pernikahannya. Sehingga, tanpa sepengetahuan Abah, ia pergi diam-diam. Biarlah mandi dan ganti baju di toko saja.

Fahmi hanya geleng-geleng kepala melihat Anisa yang lompat dari jendela dan kabur.  Untung kamar mereka di lantai bawah, kalau di lantai atas, mungkin saja Anisa bakal nekat juga kali ya ? batin Fahmi terkekeh ringan.

"Sampai jumpa lagi nanti malam," ucap Fahmi, sambil berdiri di samping jendela. Yang dibalas pelototan Anisa sebelum benar-benar pergi.

Apakah Fahmi bisa sabar menghadapi tingkah menyebalkan si bengal Anisa ?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status