Share

Chapter 5

Seperti biasa, Anisa terbangun disaat Adzan subuh berkumandang. Dengan cepat ia segera menuju kamar mandi. Ia sedikit heran, karena sejak bangun tadi, tidak dilihatnya Fahmi ada di kamar.

Berarti Fahmi sudah lebih dulu berangkat ke masjid. Wajarlah, dia kan marbot Masjid, batin Anisa kembali tidak peduli.

Tapi yang aneh adalah, suara muadzin bukanlah suara Fahmi seperti biasanya.

"Ah ...sebodoh amat sih, kok aku jadi mikirin Alien itu,"batin Anisa sambil terus menggosok gigi.

Selesai dengan acara bersih-bersih dan juga berwudlu, ia segera mengganti pakaian dan mengenakan mukena, lalu segera keluar kamar untuk berangkat ke Masjid.

Keluar dari kamar, tampak Ibu yang juga hendak ke Masjid.

"Loh, dek Mutia mana ?" Tanya Anisa yang tidak melihat Mutia turut serta.

"Biasa, tamu bulanannya datang, jadi libur dulu," jawab Ibu membuat Anisa mengangguk paham.

"Fahmi sama Abah sudah duluan ke Masjid," ucap Ibu tanpa ditanya oleh Anisa.

"Emang Anisa tanya ya ? si Fahmi itu mau kemana juga, Nisa enggak peduli," jawab Anisa sambil menggandeng tangan Ibunya yang hanya bisa geleng-geleng kepala seperti biasa. 

Mereka lalu berjalan dengan cepat menuju Masjid, karena iqomah sudah terdengar.

Selesai shalat subuh, Anisa yang malas jika harus berjalan pulang bersama Fahmi, segera mempercepat langkahnya tanpa menunggu Ibunya yang masih asyik ngobrol bersama Ibu RT dan juga beberapa Ibu-ibu lainnya.

"Aduh ....!" pekik Anisa Pelan, karena saking terburu-buru, kakinya terserimpet bawahan mukena yang belum betul ditariknya naik, menyebabkan ia jatuh terjerembab. Tangannya sangat perih, demikian juga kakinya. Sepertinya ia memegang pecahan beling. Karena Anisa berlari melalui jalan potong. Niat hati menghindari suami jadi-jadiannya,malah berakhir dengan cengiran kesakitan.

"Ya Allah ...Nisa ...!" pekik Fahmi pelan  melihat istrinya itu terduduk sambil mengaduh kesakitan.

Abah juga segera menghampiri bersama beberapa orang bapak-bapak yang lain. Anisa sangat malu sekali saat ini.

"Kamu kenapa ?" tanya Fahmi dengan raut khawatir sambil jongkok, menyamakan dengan posisi Anisa.

Anisa enggan menjawab pertanyaan Fahmi, walau saat ini tangannya terasa sangat perih, demikian juga kakinya.

Fahmi mengangkat kepala, melihat ke arah Abah.

"Abah pulang duluan saja, biar saya yang bantu Nisa untuk berjalan pulang," pinta Fahmi pada Abah yang segera mengangguk dan mengajak para bapak-bapak untuk pergi. Walau khawatir, tapi Abah mempercayakan Fahmi untuk menjaga Anisa.

Begitu Abah pergi, Anisa dengan cepat menepis tangan Fahmi yang saat ini memegang kakinya. Hati Anisa sedih, karena Abah tidak peduli padanya, dan malah menuruti keinginan Fahmi.

"Jangan pegang-pegang, aku tidak sudi bersentuhan denganmu !" ucap Anisa sedikit keras, sambil menatap tajam ke arah Fahmi.

"Kamu kenapa bisa sampai jatuh begini ?" Tanya Fahmi tidak peduli pada kemarahan Anisa.

"Semua gara-gara kamu ! aku celaka gini gara-gara kamu !" sentak Anisa masih tetap menatap tajam ke arah Fahmi.

"Hmmm ...kalau mau marah-marah, dilanjut di rumah saja. Kamu bisa marah-marah di dalam kamar sambil aku obati lukanya. Kalau disini, enggak enak jika dilihat orang. Itu Ibu-ibu pada kemari," ucap Fahmi sambil menunjuk ke arah Ibu-ibu yang tampak makin dekat.

Karena tidak ingin malu untuk kedua kalinya, Anisa dengan cepat berdiri sambil memegang tangan Fahmi. Karena ia tidak bisa berdiri sendiri. Kakinya masih sangat sakit sekali.

"Idih ... kamu jalan duluan sana, biar aku jalan di belakangmu !" ucap Anisa ketus sambil melepaskan pegangan tangannya pada lengan Fahmi yang tadi dibuatnya tumpuan untuk berdiri.

"Biar aku bantu, kamu akan kesulitan berjalan. Kali ini dengarkan aku, atau aku akan menggendongmu dengan paksa !" ancam Fahmi yang membuat Anisa terdiam. Dia tidak punya pilihan selain menuruti kemauan Fahmi, karena Ibu terlihat menatap ke arahnya. Tidak ingin dicecar pertanyaan, Anisa segera menarik tangan Fahmi dan mengajaknya pulang sambil berjalan terpincang-pincang.

Anisa memegang erat lengan Fahmi yang menjajari langkahnya. Ia dapat mencium wangi menyenangkan yang menguar dari tubuh Fahmi. Sangat nyaman sekali, andai wajahnya juga semanis ini, batin Nisa sambil manyun mengingat wajah jelek Fahmi yang tidak disukainya.

Sesampainya di rumah, tampak Abah sudah menunggu dengan segudang pertanyaan. Tapi urung ditanyakan melihat Anisa yang meringis masih dengan memegang erat lengan Fahmi.

"Biar saya obati dulu ya Bah," ucap Fahmi sopan dan segera menuntun Anisa menuju kamar.

"Anisa kenapa, Bah ?" tanya Ibu yang baru masuk ke dalam rumah sembari mencium tangan Abah.

"Kayaknya jatuh, ada-ada saja dia," ucap Abah sambil geleng-geleng kepala akan tingkah bengal Anisa yang masih saja betah walau sudah menikah. Ibu yang melihat Abah geleng-geleng kepala, hanya tertawa kecil.

"Mirip Abah kan dia," ejek Ibu sambil tertawa yang membuat Abah juga ikut tertawa.

Sementara itu di dalam kamar, tampak Anisa bernafas lega, setidaknya ia bebas dari pertanyaan Abah mengapa bisa jatuh ? dan mengapa bisa pulang lewat jalan potong yang sempit dan sedikit gelap tersebut ?

Fahmi yang melihat Anisa diam saja,  hendak membantu untuk melepas mukena. Tapi dengan cepat Anisa menahannya.

"Mau ngapain ? aku enggak suka memperlihatkan rambutku padamu ! ingat baik-baik itu !" hardik Anisa dengan melotot pada Fahmi yang mengangguk paham.

"Iya, aku paham," jawab Fahmi kalem. Hampir saja ia kelepasan dan terlena pada gadis yang telah halal menjadi miliknya tersebut. Ia menarik nafas panjang. Menghadapi istri bengalnya ini, tidak boleh dengan emosi.

Fahmi segera mengambil air hangat dan juga obat untuk mengobati luka Anisa.

"Aduh ...pelan-pelan ! kamu ingin membuat lukaku makin bertambah parah ya !" Pekik Anisa pada Fahmi. Ia sengaja berkata begitu, padahal Fahmi melakukannya dengan sangat lembut. Ya ...Anisa sengaja ingin menyulut kemarahan Fahmi.

Tapi ia salah, Fahmi sama sekali tidak terpengaruh pada kemarahannya.

"Nah ....sudah selesai, jangan lupa ganti baju dan juga lepas mukenamu. Aku akan mengambilkan nasi sehingga kamu tidak perlu keluar kamar," ucap Fahmi setelah selesai mengobati luka Anisa.

"Jangan sok perhatian ! karena aku enggak suka dan juga enggak akan terpengaruh pada kebaikan pura-pura mu ! Aku membencimu !" Ucap Anisa sedikit keras seperti biasanya.

"Aku pernah baca, kalau jarak antara benci dan cinta itu tipis banget. Makanya jangan terlalu benci sama aku.  Takutnya nanti kemakan omongan sendiri dan malah jatuh cinta sama aku, bagaimana ?" bukannya marah, Fahmi malah melempar lelucon pada Anisa yang tetap saja jutek.

"Idih ...mimpi di pagi buta. Sampai lebaran unta juga, aku enggak bakalan jatuh cinta sama cowok dengan tampang kayak kamu !" ucap Anisa  berapi-api lalu hendak beranjak tapi ...

"Ahhh ...!" pekik Anisa pelan karena bukannya berdiri sempurna, ia malah kembali terduduk karena hilang keseimbangan,  dengan tangan yang menarik kerah baju Fahmi, hingga posisi Fahmi saat ini berada di atas Anisa.

Tatapan keduanya saling bertemu.  Wangi yang menguar dari tubuh Fahmi terasa sangat dekat sekali.

Rasanya sangat kikuk sekali, hingga akhirnya Anisa bisa menguasai keadaan.

"Eh .... jauh-jauh sana !" Ucap Anisa sambil mendorong Fahmi agar menjauhinya.

"Lah ... kamu yang narik, kamu juga yang marah," jawab Fahmi sambil tersenyum pada kemarahan Anisa, yang mulai akrab menemani harinya.

Anisa menatap Fahmi yang masih tersenyum padanya, walau ia selalu saja marah-marah. Senyum yang menampakkan gigi kelinci dan juga lesung pipi yang sebenarnya manis, kalau si empunya wajah itu juga manis, batin Anisa nelangsa akan wajah Fahmi yang jauh sekali dari kata manis. Karena ada tompel, serta kumis dan juga kacamata kegedean yang bertengger di hidungnya. Benar- benar sangat tidak sedap dipandang mata. Tapi tetap saja Fahmi dengan percaya diri mengatakan jika Anisa akan jatuh cinta padanya.

Tokk ....Tok...!

Suara pintu diketuk, membuat pertengkaran kecil antara Fahmi dan Anisa berhenti.

"Anisa .... ada yang nyariin kamu." Suara Ibu terdengar dari luar kamar.

Dengan tertatih, Anisa berjalan keluar kamar, tidak ingin dibantu oleh Suaminya.

Fahmi segera membereskan kotak P3k lalu segera berganti baju. Ia akan berolahraga pagi sebelum berangkat bekerja.

Saat keluar kamar, lamat-lamat didengarnya suara tawa Anisa dari ruang tengah. Belum pernah Fahmi mendengar tawa Anisa yang lepas seperti itu.

Diam-diam Fahmi mengintip, ingin tahu, siapa yang telah membuat Anisa bisa tertawa seriang itu.

Kira-kira siapa ya ?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status