Share

Chapter 2

Fahmi namanya, lelaki yang sangat sederhana dengan  tompel di dekat pipi, ditambah kumis tipis,  serta kacamata yang bertengger di hidungnya. Apalagi pakaiannya yang bergaya Vintage, sangat jauh sekali dari tipe idaman Anisa.

Abah sudah meninggalkan Masjid dengan diantar Fahmi sampai di gerbang. Sedangkan kedua gadis itu masih bersembunyi hingga Abah benar-benar pergi.

Anisa segera menarik Mutia untuk keluar dari persembunyian dan menghampiri Fahmi. Bagaimanapun, ia harus membuat Fahmi menolak pernikahan yang sudah diatur oleh Abah.

"Hei, kamu !" Teriak Anisa bak pahlawan bertopeng.

Pemuda yang akan masuk ke dalam masjid itu segera menoleh dan mendapati dua orang perempuan yang menghampirinya.

"Abah bilang apa sama kamu ?" Tanya Anisa yang membuat kening Fahmi berkerut bingung.

"Jangan pura-pura bingung seperti itu, pasti Abah bahas tentang pernikahan kan sama kamu ?" Tanya Anisa dengan raut wajah kesal. Fahmi benar-benar sangat kolot sekali dengan penampilannya. Pasti selama ini tidak ada perempuan yang mau mendekatinya, batin Anisa menilai penampilan Fahmi.

"Oh ... Iya, Pak Usman memang membicarakan tentang pernikahan," jawab Fahmi dengan sangat tenang, tanpa beban sama sekali.

"Kamu, Anisa ?" Tanya Fahmi menerka.

"Kamu setuju ?" Tanya Anisa tanpa menjawab  pertanyaan Fahmi.

"Saya setuju, karena saya tidak mungkin menolak permintaan Pak Usman. Beliau sudah sangat baik sekali pada saya," jawab Fahmi masih dengan  begitu tenang. Tidak terusik sama sekali dengan wajah marah Anisa.

"Kamu dibayar berapa sama Abah ? aku bakal bayar dua kali lipat, asal kamu menolak keinginan Abah !" ucap Anisa memberikan penawaran pada Fahmi.

Fahmi tersenyum kecil. 

Mutia yang menjadi obat nyamuk, hanya bisa melihat dua orang berlainan jenis itu saling beradu pendapat. Tepatnya Anisa saja yang sedang beradu pendapat dan sangat ngotot. Sedangkan Fahmi, tampak sangat tenang sekali.

"Aku tidak dibayar oleh Pak Usman. Maaf, aku harus segera masuk ke dalam," ucap Fahmi lalu melangkah pergi, meninggalkan Anisa yang terlihat sangat kesal.

Akhirnya Anisa mengajak Mutia untuk pulang, tentu saja dengan perasaan gondok. Ia pikir akan mudah membujuk Fahmi. Ternyata Fahmi sama saja seperti Abah terlihat tenang dan juga tegas dalam tiap ucapan.

"Darimana kalian ?" Tanya Abah begitu melihat Anisa dan Mutia masuk ke dalam rumah.

"Oh ... itu, Dek Mutia ngajak beli kapas, tapi sayang kapasnya habis" jawab Anisa asal.

"Cepat masuk kamar, jangan lupa cuci kaki tangan dan ganti bajunya," ucap Abah dengan raut datar.

Bukannya masuk kamar, Anisa malah mendekati Ibu yang sedang asyik dengan sulaman di tangannya.

"Ibu ... Nisa enggak mau nikah sama Fahmi," ucap Anisa dengan wajah dibuat memelas mungkin. Mungkin dengan cara itu, Ibu bisa membujuk Abah untuk tidak meneruskan rencana pernikahannya.

"Tanya sama Abah, kalau Abah setuju ya dibatalkan," jawab Ibu yang tidak mungkin membatalkan tanpa persetujuan Suaminya.

Abah terlihat tengah membaca dengan raut wajah datar. Beliau masih kesal pada sikap Anisa yang tiba-tiba menolak dan membuatnya malu.

"Abah ...," Panggil Anisa lirih pada Abah yang masih saja fokus pada buku yang tengah dibacanya.

"Bah ...," Panggil Anisa lagi dengan suara pelan.

"Hmmm ... kalau mau bahas tentang pernikahan, sebaiknya tidak usah saja. Abah tidak akan merubah keputusan walau kamu menangis darah sekalipun." Jawaban tegas Abah membuat Anisa benar-benar terisak dengan isakan yang pilu. 

Ibu segera memeluk bungsunya tersebut. Tapi beliau juga tidak ingin merubah apa yang sudah menjadi keputusan Suaminya tersebut. Bu Zainab yakin, jika Suaminya sudah memikirkan secara matang sebelum memutuskan untuk menikahkan putri mereka dengan pemuda yang bernama Fahmi tersebut.

Anisa kembali ke kamar dengan mata bengkak. Walau ia kabur, itu akan sia-sia, malah akan menambah kemarahan Abah padanya saat Abah berhasil menemukannya.

********

Hari yang dinanti tiba, Anisa hanya memakai gamis dan juga Jilbab senanda yang tampak cantik berpadu dengan wajahnya yang memang cantik. Abah yang keturunan Arab dan Ibu yang berasal dari Jawa, membuat wajah Anisa adalah perpaduan sempurna keduanya.

Anisa menangis dalam pelukan Ibu dan juga kakak perempuannya.  Hatinya benar-benar sangat sedih sekali. 

Tidak ada pesta yan mewah, karena akad nikah dilaksanakan di masjid dan di saksikan oleh para jamaah. Mahar yang diberikan Fahmi adalah sebuah sajadah, yang mengisyaratkan jika Fahmi akan mengajari Anisa untuk selalu bersujud dan ingat pada Rabb Nya.

Anisa masih menangis sesenggukan. Otaknya benar-benar buntu, membayangkan masa depannya yang akan sangat suram sekali bersama pemuda pilihan Abahnya tersebut.

Tampak Abah mendekati Anisa sebelum acara sakral dimulai. 

Abah membelai sayang kepala putri bungsunya yang tertutup jilbab itu penuh rasa sayang.

Ia tidak menikahkan Anisa karena kemarahan. Tapi ia menikahkan Anisa dengan Fahmi karena sikap baik dan juga Abah yakin jika Fahmi bisa mendidik putri bungsunya ini dengan baik. 

"Inshaallah Fahmi adalah pemuda yang baik. Jangan pernah memandang fisik maupun pekerjaannya, tapi lihatlah dia yang bisa menafkahi mu dari rezeki halal yang didapat dari bekerja keras," pesan Abah di sela-sela tangisan Anisa  yang tidak bisa berhenti saat detik-detik acara sakral itu akan dilaksanakan.

"Abah tega ...."Tangis Anisa menyayat hati. Sedangkan Ibu dan juga kakak perempuannya,  hanya bisa menenangkan tanpa ingin merubah keputusan Abah.  Karena mereka tahu, Abah tidak akan seperti itu jika bukan karena sesuatu hal yang fatal.

"Awas kamu Fahmi, aku akan buat kamu menyesal karena menyetujui keinginan Abah," monolog Anisa, yang langsung mendapat pelototan dari Ibu.

"Ndak baik seperti itu, cah Ayu ... kamu enggak dengar kata Abah tadi ? tidak mungkin Abah menikahkan kamu dengan laki-laki yang membawamu pada jalan yang salah. Semua yang Abah lakukan, adalah yang terbaik untuk kehidupanmu dan juga masa depanmu kelak," nasihat Ibu sambil membelai putri bungsunya yang sudah bersimbah air mata.

Anisa pingsan saat ijab kabul diucapkan dengan lantang oleh Fahmi, tanpa ada keraguan sedikitpun. Fahmi menikahi Anisa atas keinginan Abah. Karena sesuatu hal yang tidak perlu diketahui oleh Anisa. 

Anisa digendong keluar dari masjid oleh Fahmi yang telah sah menjadi suaminya. 

Fahmi tersenyum kecil melihat wajah Ayu Anisa yang saat ini tengah pingsan dan tidak menyadari siapa yang menggendongnya pulang ke rumah.

Fahmi merebahkan Anisa di atas ranjang, dan meninggalkannya agar Ibu mertuanya bisa merawat Istrinya itu hingga sadar.

Saat sadar, Anisa kembali menangis dengan keras hingga beberapa saat. Setelah Anisa mulai tenang barulah Fahmi masuk ke dalam kamar atas permintaan Abah. Sedangkan Ibu keluar kamar dengan perasaan campur aduk melihat bungsunya yang benar-benar kacau hatinya.

"Assalamualaikum," sapa Fahmi pada Anisa yang sudah lebih tenang.  Bukannya menjawab, Anisa malah membuang muka.

"Aku tidak sudi jadi Istrimu ! Maka dari itu, kita harus membuat perjanjian," ucap Anisa yang sudah mulai tidak menangis dan kali ini berbalik menatap tajam ke arah Fahmi.

"Baiklah," jawab Fahmi Singkat, tanpa ingin berdebat.

"Aku akan buat suratnya besok. Malam ini kau tidur di sofa sebagai aturan pertama dalam pernikahan palsu ini !" Ucap Anisa yang dibalas anggukan Fahmi yang segera melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju.

Selesai dari kamar mandi, tidak ada yang berubah dari wajah Fahmi, tetap saja tidak sedap dipandang. 

Fahmi mengambil bantal lalu tidur di sofa sesuai keinginan Anisa.

"Tidurlah yang nyenyak. Jangan pikirkan apapun. Aku tidak akan menyentuhmu selama dirimu belum siap untuk itu," ucap Fahmi santu lalu beranjak menuju sofa dan mulai tidur.

"Sampai kapanpun, aku tidak akan sudi disentuh olehmu !" Monolog Anisa sambil menatap Fahmi yang saat ini telah tertidur di sofa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status