Share

Chapter 6

Fahmi menghela nafas panjang, melihat siapa yang sudah membuat tawa Anisa begitu merdu terdengar.

Seorang pemuda tampan yang saat ini tengah duduk di depan Anisa, dan tampak menceritakan hal lucu yang membuat Anisa benar-benar bahagia.

"Itu sahabat Anisa sekaligus sepupunya. Namanya Faris. Dia baru pulang dari luar daerah, dan langsung kemari untuk mengantar oleh-oleh, karena dari bandara ke rumahnya, melewati rumah ini, jadi sekalian." Tiba-tiba Ibu sudah ada di belakang Fahmi, dan menjelaskan siapa pria yang saat ini duduk bersama Anisa dan juga alasan Anisa bisa tertawa lepas seperti itu.

"Ayo kenalan sama Faris, dia orangnya ramah kok." Ibu mengajak Fahmi agar mau berkenalan dengan sahabat Anisa.

Sebenarnya Ibu mengajak Fahmi untuk berkenalan, karena wanita yang tidak lagi muda itu, merasa tidak enak pada menantunya tersebut. Karena Anisa bersikap layaknya seorang gadis yang belum memiliki pendamping hidup.

"Tidak usah Ibu, saya harus segera bersiap-siap, mungkin di lain waktu saya akan berkenalan dengan teman-teman Nisa," ucap Fahmi mengingat point empat dalam surat perjanjian mereka.

Fahmi segera berlalu meninggalkan Ibu yang merasa tidak enak.

"Hmmm ...Nisa, tolong bantu Ibu sebentar," pinta Ibu pada Anisa sambil tersenyum ramah pada Faris.

Anisa segera berpamitan sebentar pada Faris dan mengikuti langkah ibu menuju ke belakang.

"Nisa ...Suaminya mau berangkat kerja, kamu urusin dulu, bukannya ber haha hihi dengan laki-laki lain. Ingat nduk, kamu itu sudah memiliki Suami." Kali ini Ibu berbicara dengan nada tegas pada bungsunya tersebut.

"Tapi ...."

"Enggak ada tapi-tapian ! Abah sama Ibu tidak pernah mengajarkan kamu menjadi perempuan yang ndak benar !" Setelah mengatakannya, Ibu lalu meninggalkan bungsunya itu . Tapi kali ini agak berbeda, karena Anisa bisa melihat kilatan kemarahan dari netra wanita yang sudah melahirkannya tersebut.

Ibu jarang sekali marah, tidak pernah malahan. Kalau melihat Abah yang marah itu sudah biasa. Tapi ini Ibu, batin Anisa merasa tidak nyaman.

Ia melangkah kembali ke ruang depan. Lalu ngobrol sebentar dan mengatakan pada Faris, jika dirinya ada acara dan berjanji akan menelepon sahabat sekaligus sepupunya tersebut, jika acara sudah selesai.

Faris akhirnya pamit untuk pulang, karena menyadari jika Anisa mengusirnya secara halus. Faris sangat hafal sekali bagaimana Anisa.

Anisa berjalan pelan ke kamar, dengan raut wajah kesal. Siapa lagi pelampiasan kekesalannya kalau bukan Fahmi.

Brak !

Anisa membanting pintu untuk menyalurkan rasa kesal di hatinya. Dilihatnya Fahmi yang sedang duduk sambil membaca buku.

"Penjual ayam bakar saja sok-sok an baca buku !" kesal Anisa pada Fahmi hingga mulutnya saat ini tidak bisa dikontrolnya. Padahal Anisa tahu, ia salah, tapi tetap saja ia tidak bisa membiarkan Fahmi tenang. Sedangkan Fahmi tampak tidak bergeming dan tetap saja asyik dengan buku di tangannya, sebelum sarapan dan juga mandi.

"Kalau mau sarapan, kenapa tidak ambil sendiri ! kamu kan punya tangan untuk mengambil !" Ketus Anisa makin menjadi-jadi.

Fahmi mengangkat wajah dari fokusnya lalu menatap tajam ke arah Anisa. Meletakkan bukunya, lalu beranjak menuju ke arah Anisa.

Melihat reaksi Fahmi, membuat Anisa segera mundur. Walau sedang marah, tapi ia juga takut Fahmi akan macam-macam padanya.

Greb !

Fahmi dengan cepat memeluk pinggang Anisa dan menariknya sedikit maju, agar punggung Anisa tidak terbentur tembok. Setelahnya Ia melepaskan pinggang Anisa dan melangkah mundur.

"Aku tidak pernah memintamu untuk menyiapkan sarapan atau apapun untukku, walau itu tugas Istri. Tapi menyiapkan makan adalah hal diluar kamar. Kamu sendiri yang buat perjanjian dan menyetujui syarat dariku, apa kamu lupa ?" Tanya Fahmi dengan sangat lembut.

Anisa terdiam, Fahmi kembali mendekat pada Anisa.

"Aku suamimu, bisakah jangan selalu berteriak padaku ? jika kesal katakan saja, tanpa perlu berteriak. Anggap saja aku temanmu, dan selesai. Setelah lima bulan, barulah kita lihat kelanjutannya," ucap Fahmi dengan jarak yang begitu dekat sekali dengan Anisa.

"Hmmm ... karena kakimu sedang sakit, apa perlu aku bantu untuk ke kamar mandi ?" Tanya Fahmi mengingat kaki Anisa yang masih sakit. Bukannya, menjawab, Anisa malah membuang muka.

Akhirnya Fahmi melangkah menjauhinya, dan menuju kamar mandi, untuk mandi pagi.

Anisa menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Air matanya mulai keluar, ia menangis dalam diam. Kesal dengan keputusan Abah yang membuatnya harus hidup bersama Fahmi. Tiap hari rasanya sangat menyebalkan. Capek juga kalau tiap hari harus terus marah-marah.

Anisa sadar ia mulai suka marah-marah dan bermulut lancang semenjak menikah. Tapi itu dilakukannya agar Fahmi marah dan pergi. Tapi Suaminya itu, tetap saja bersikap lembut padanya.

Fahmi sudah selesai mandi dan juga berganti baju. Setelahnya ia keluar kamar dan kembali lagi ke dalam kamar dengan membawa sarapan untuk Anisa.

"Hmmm ...makanlah, aku berangkat dulu," ucap Fahmi lembut seperti biasa.

Fahmi menatap Anisa yang enggan menatapnya. Fahmi sadar mengapa Anisa tidak mau menatapnya. Wajahnya terlalu buruk untuk dipandang.

"Boleh aku mencium keningmu sebagai syarat tambahan jika hendak pergi ?" Tanya Fahmi yang membuat Anisa berbalik menatapnya dengan tajam.

"Aku mohon, kamu meminta banyak syarat, aku hanya menginginkan itu sebagai tambahan. Hanya jika mau pergi saja," pinta Fahmi lagi sambil menatap Anisa.

"Tutup matamu, agar tidak muntah saat melihat wajahku," ucap Fahmi lagi.

"Aku tidak mau ! aku tidak sudi bersentuhan denganmu !" ucap Anisa dengan raut kesal.

"Baiklah, tapi aku tidak akan mau melanjutkan isi dari perjanjian yang sudah kamu buat !" kali ini Fahmi mengancam Anisa yang segera mati kutu.

Akhirnya Anisa mengangguk, walau sangat terpaksa.

Pria itu tersenyum, lalu mendekat pada Anisa yang dengan cepat memejamkan mata. Ciuman lembut pada kening Anisa sebelum berangkat kerja.

Anisa tidak membuka mata hingga wangi yang lembut itu menjauh. Anisa menyukai aroma yang menguar dari tubuh Fahmi, tapi tidak dengan orang yang memiliki wangi itu.

"Pagi yang menyebalkan," gumam Anisa lalu mengambil sarapannya dan mulai makan dalam diam.

Hari ini Anisa tidak ke toko, karena Abah melarangnya. Tapi bukan Anisa namanya jika tidak bisa keluar rumah. Dengan alasan ingin ke Dokter, Anisa berusaha membujuk Abah yang akhirnya luluh. Tapi dengan syarat, Mutia yang akan menemani Anisa.

Mutia yang kebetulan masuk sore, akhirnya mengantar Anisa.

Sebelum berangkat, Anisa menitipkan ponsel dan dompet miliknya ke dalam tas Mutia. Secara Anisa malas bawa tas.

Setelah dari Dokter, Anisa mengajak Mutia untuk ke toko buku. Tapi saat tiba di depan toko buku, Mutia buru-buru pamit sebentar pada Anisa, karena kelompoknya dalam tugas mengadakan rapat mendadak.

Anisa segera masuk ke dalam toko dan mulai memilih buku dengan antusias. Ini adalah caranya untuk melupakan kekesalan hatinya. Selain membaca novel online, ia juga suka membaca buku hingga larut malam.

Saat berada di meja kasir, barulah Anisa sadar jika dompet dan juga ponselnya ada di tas Mutia.

"Aduh ...kenapa aku ceroboh sekali," gumam Anisa pelan merasa tidak enak.

"Hmm ...mbak, maaf, dompet saya ketinggalan. Bukunya biar saja disini dulu, nanti saya balik lagi," ucap Anisa dengan wajah merah menahan malu. Si mbak kasir hanya tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya.

"Ehmm ... Mbak, biar saya saja yang bayar bukunya." Terdengar suara lembut dari belakang punggung Anisa, dan itu mirip sekali dengan suara Fahmi.

"Apa mungkin Mutia menelepon Fahmi untuk menjemputnya ?" batin Anisa lalu membalikkan badan. Tapi kedua netranya mengerjap melihat siapa yang berdiri di belakangnya.

Kira-kira siapa ya ?

Amira Tantri

Terimakasih sudah mampir, tinggalkan komen agar kita bisa bergosip ria.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status