Share

Chapter 4

Malam kembali menyapa bumi dengan diiringi rintikan kecil gerimis yang membuatnya makin syahdu.

Anisa kembali ke rumah sebelum hujan benar-benar menjadi lebih deras. Kali ini, ia pulang sangat terlambat sekali. Biasanya jam lima sore toko sudah tutup dan Anisa langsung pulang. Tapi kali ini, ia malah baru pulang setelah shalat isya'. Saat tiba di rumah, yang ia dapati adalah tatapan tajam Abah yang kesal karena Anis tidak mau mendengarkannya untuk tidak ke toko. Selain itu, Anisa yang pulang terlambat tanpa memberitahu kemana perginya, karena toko sudah tutup semenjak jam lima sore tadi.

"Abah kenapa menatap Nisa kayak gitu ? apa salah dan dosaku ?" Tanya Anisa lebay tanpa mau mengakui kalau ia salah. Anisa memang sengaja pulang terlambat untuk menghindari Fahmi. Anisa berharap Fahmi sudah tidur saat ia kembali ke rumah, sehingga tidak perlu ada pembicaraan basa-basi diantara mereka. Selain itu, ia pulang terlambat, karena membuat surat perjanjian pernikahan yang pernah dikatakannya pada Fahmi.

"Entahlah, ngomong sama kamu kayak lagi mau perang saja," ucap Abah lalu segera berlalu menuju ruang depan, karena di saat yang sama terdengar suara Fahmi dari arah depan. Mendengar suara pria yang ingin dihindarinya itu, membuat Anisa kecewa. Niat hati menghindar, malah Fahmi pulang hampir bersamaan dengannya.

Sepertinya, besok ia akan pulang pada jam biasanya, untuk menghindari bertemu Fahmi, batin Anisa mulai mengatur strategi lagi. Tapi hatinya juga dongkol, karena Abah menyambut kepulangan Fahmi dengan begitu hangat.

"Hmmm ... abah gitu, giliran Fahmi langsung disambut, giliran Nisa, dipelototi kayak musuh," monolog Anisa yang masih bisa didengar oleh Ibu.

"Lah ... kan Fahmi mantu Abah, berarti anak Abah juga 'kan, Nisa ...," ucap Ibu sambil tertawa pelan.

"Lagian, kamu sih ...suka banget bikin Abah kesal," ucap Ibu lagi sambil tangannya membetulkan jilbab Anisa yang sedikit berantakan.

"Ayo cepat mandi dan ganti bajunya, biar Suami lihat itu menyenangkan," ucap Ibu yang dibalas Anisa dengan cengiran karena ucapan Ibu terasa sangat lucu.

"Suami ...Oh Suami, Nisa enggak anggap dia sebagai Suami," ucap Anisa lalu ngeloyor pergi. Ibunya hanya bisa geleng-geleng kepala saja menghadapi Bungsunya yang masih belum mau berdamai dengan hatinya. Tapi Ibu selalu berdo'a agar Allah membuka hati Anisa untuk mau menerima Fahmi sebagai Suami.

Anisa mandi agak lama, memang sengaja, biar Fahmi menunggu dengan dongkol. Ia mau Fahmi marah dan berkata-kata kasar padanya. Kalau perlu, sampai memukulnya. Karena dengan cara itu, dirinya bisa terbebas dari pernikahan menyebalkan yang harus dijalaninya seumur hidup.

Padahal, seharusnya tidak boleh berlama-lama di kamar mandi. Tapi Anisa melanggar hal itu demi membuat Fahmi kesal. Setan benar-benar sedang menguasai hati dan juga pikirannya saat ini.

Setelah merasa cukup lama di kamar mandi, Anisa segera keluar dengan mengenakan daster serta jilbab rumah miliknya. Ia tidak rela jika Fahmi melihat rambutnya.

Tapi, saat keluar kamar mandi, bukannya kemarahan dan teriakan yang ia dapatkan, malah senyum menyebalkan yang dilemparkan Fahmi untuknya. Selain itu, Fahmi terlihat sudah rapi, apa mungkin mandi di kamar mandi belakang ? batin Anisa, tapi tetap saja, walau sudah bersih, Fahmi tetaplah tidak manis di mata Anisa.

"Jangan senyum-senyum padaku, aku enggak suka !" ketus Anisa lalu berlalu keluar dari dalam kamar meninggalkan Fahmi yang segera mengikutinya, karena ia ingin minta dibuatkan secangkir teh.

"Dek Nisa, bisa buatkan Mas secangkir teh ?" tanya Fahmi berusaha menjajari langkah Anisa yang menuju dapur.

"Jangan panggil Adek, dek, aku enggak suka dengarnya ! Panggil saja Nisa atau Anisa, itu lebih baik !" Seperti biasa, Anisa selalu saja ketus pada Fahmi yang mengangguk mengerti.

"Dek, eh Nisa, bisa minta tolong buatkan Secangkir teh ?" Tanya Fahmi lagi pada Anisa yang malah menggeleng.

"Emang enggak bisa buat sendiri ? itu ada tangan," ucap Anisa ketus.

"Ingat perjanjian kita," balas Fahmi terlihat tegas.

Mendengar itu, membuat Anisa dengan wajah jutek mulai membuatkannya. Sementara itu Fahmi berjalan ke ruang depan untuk sekedar ngobrol bersama Abah dan juga Ibu.

Tidak berapa lama, Anisa sudah menyusul Fahmi sambil membawakan secangkir teh. Terlihat Anisa tersenyum sangat manis. Bagaimana tidak, karena Teh yang dihidangkan untuk Fahmi, telah ditambahkan garam dan bukan gula. Ia benar-benar menantikan reaksi kemarahan dari Fahmi.

"Terimakasih," ucap Fahmi lembut sambil menatap Anisa yang masih saja tersenyum.

"Nah ...begitu dong, membuatkan teh untuk Suami dan tersenyum manis," ucap Abah yang terlihat senang akan kemajuan yang ditunjukkan oleh Anisa. Tapi Abah juga sedikit was-was, mengingat bungsunya itu, yang sukar ditebak dan juga terkadang jahil.

Anisa hanya tersenyum mendengar ucapan Abah, tanpa mau menjawab. Karena saat ini, ia sedang menantikan reaksi Fahmi setelah meminum teh buatannya.

Abah mengajak Fahmi untuk segera minum teh nya. Tampak Abah juga mengambil air putih hangat miliknya yang sudah disediakan oleh Ibu.

Fahmi meminum teh dengan pelan. Keningnya tampak sedikit berkerut. Tapi tetap saja ia meminumnya tanpa reaksi yang diinginkan oleh Anis.

Senyum manis Anisa menghilang, diganti tatapan heran, karena Fahmi terlihat sangat tenang dan begitu menikmati teh buatannya.

Setelahnya, tampak Abah mulai ngobrol bersama Fahmi. Mulai dari kegiatan Masjid, hingga warung ayam bakar yang sedang digeluti oleh Fahmi. Terdengar Abah yang ingin menanam modal pada warung ayam bakar milik Fahmi, tapi pria itu menolak, dengan alasan yang cukup masuk akal.

Hanya saja, Anisa sedang tidak fokus pada itu. Ia ingin tahu, apa betul teh yang dibuatnya itu tidak asin dan malah manis.

Setelah beberapa saat ngobrol, tampak Abah dan Ibu yang pamit untuk kembali ke kamar. Abah tidak biasa tidur larut, kecuali ada hal yang sangat penting sekali.

Fahmi juga kembali ke kamar, sedangkan Anisa membereskan sisa teh milik Fahmi untuk dibawa ka dapur. Iseng ia mencicipi teh yang tinggal sedikit itu.

"Huek ...!" Anisa memuntahkan teh itu, karena rasanya sangatlah asin sekali.

"Itu lidah atau apa ya ? jangan-jangan penjual ayam bakar itu tidak memiliki indra perasa yang baik ?" monolog Anisa lalu segera mengambil gula merah dan memakannya sedikit, untuk menghilangkan rasa asin di lidahnya.

Setelah rasa asin itu hilang, Anisa segera masuk ke dalam kamar. Dan mendapati Fahmi yang sedang menata bantal di sofa dan bersiap untuk tidur. Tidak ada reaksi marah atau muntahan rasa kesal akibat ulah Anisa yang membuatkan teh asin untuknya.

Tapi Anisa juga tidak ingin membahasnya, walau ia ingin sekali bertanya. Tapi, jika ia bertanya maka akan sangat lucu sekali. Karena Fahmi terlihat tenang.

"Hmmm ... Aku mau bicara," ucap Anisa lalu mengambil kertas yang akan ditandatangani oleh Fahmi.

Fahmi mempersilahkan Anisa untuk duduk. Benar-benar lembut sekali, tidak ada raut kesal akan ulah Anisa tadi.

"Ini surat perjanjian yang harus kamu tandatangani," ucap Anisa sambil memberikan surat perjanjian tersebut.

Fahmi menerima dan membacanya terlebih dahulu, sebelum membubuhkan tanda tangannya.

Isi surat perjanjian adalah.

1. Fami dan Anisa tidak boleh ikut campur urusan masing-masing.

2. Sapa jika ada perlu saja. Selain itu diam dan jangan mengajak bicara jika tidak ada hal penting.

3. Tidak ada hubungan suami Istri, karena menikah bukan keinginan sendiri.

4.Harus merahasiakan pernikahan mereka pada orang-orang yang belum mengetahuinya.

5. Setelah Lima bulan, Fahmi harus menceraikan Anisa.

Selesai membaca, Fahmi langsung menandatangi surat itu tanpa protes apapun. Anisa benar-benar heran dengan sikap pria yang telah menjadi Suaminya tersebut.

"Ini, simpanlah, jika ada tambahan lagi, maka jangan sungkan mengatakannya," ucap Fahmi sambil menyerahkan kertas dan pulpen pada Anisa.

"Tapi, jangan lupakan permintaanku." Fahmi mengingatkan akan permintaannya yang dibalas anggukan Anisa.

"Nah ... tidurlah, aku juga mau tidur," ucap Fahmi lalu berdo'a dan segera merebahkan tubuh penatnya. Tidak ada pembahasan tentang teh asin yang tadi diminumnya. Benar-benar sulit ditebak, pikir Anisa.

Gadis cantik yang sudah sah menjadi Istri Fahmi tersebut, segera beranjak untuk menyimpan surat perjanjian. lalu naik ke atas ranjang, masih dengan pakaian lengkap, dan mulai berdo'a terlebih dahulu sebelum akhirnya jatuh ke alam mimpi. Tidur dengan sangat nyenyak.

Entah berapa lama ia tertidur, tapi Anisa seperti bermimpi seseorang mencium keningnya.

Mungkinkah itu pangeran berkuda yang akan membebaskannya dari monster menakutkan yang bergelar suaminya saat ini ?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status