“Apa harus ada alasan untuk itu?”
Gian balik bertanya dengan nada datar dan dingin. Suaranya begitu tenang, nyaris tak beremosi, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka terasa lebih dingin dari AC yang menyala.
Aurelia mengernyit. Matanya menyipit tak percaya.
“Tentu saja,” jawabnya cepat. Ia bersandar di kursi, tubuhnya condong ke depan, seolah ingin menekankan logikanya. “Kita saja kalau mau berteman ada alasannya. Misalnya, aku berteman sama Doni dan Wulan karena mereka asyik dan nyambung. Apalagi kalau sampai punya perasaan yang lebih dari sekadar teman, pasti ada penyebabnya, kan?”
Gian tidak menjawab, hanya menatapnya lekat sejenak, lalu berbalik menyesap kopinya. Aromanya menguar ke seluruh sudut dapur kecil mereka yang hangat.
“Dan kau?” Tiba-tiba Gian balik bertanya, suaranya pelan tapi men
Aurelia tetap duduk di samping Caca. Ruang belajar itu sunyi, hanya terdengar suara detik jam dinding yang bergerak lambat.Cahaya matahari sore masuk dari jendela besar, mengguratkan pola bayangan dedaunan di atas lantai marmer.Caca masih memeluk bonekanya erat, seolah sedang menyembunyikan sesuatu di balik bulu lembutnya. Ia tak menangis, tapi matanya yang berkaca-kaca cukup membuat dada Aurelia terasa berat.“Caca... yakin enggak mau cerita sama Kakak?”Suara Aurelia kembali pelan. Ia tak ingin memaksa, hanya mengundang.Caca menggeleng kecil.Aurelia tidak terkejut. Ia tahu, untuk anak-anak, kepercayaan adalah sesuatu yang tumbuh pelan—seperti benih kecil yang harus disirami sabar.“Kalau belum mau cerita, nggak apa-apa, sayang,” ucapnya le
Ada banyak cara untuk membuat seseorang merasa kalah—tanpa mengangkat suara, tanpa mengangkat tangan. Aurelia tahu itu betul. Maka saat Gian tampak ragu, ia hanya tersenyum ringan dan berkata, “Jemput saja. Aku tidak keberatan.”Gian sedikit mengerutkan kening. Biasanya, kalimat seperti itu terdengar seperti sinyal bahaya. Tapi Aurelia mengucapkannya terlalu halus. Terlalu tenang. Itu justru yang membuat Gian waspada.Namun, ia tak ingin mencurigai terlalu dalam. Ia mengangguk, lalu mengambil kunci mobil dan mengetik balasan ke Kirana.Gian: [Oke. Aku jemput sebentar lagi]Langit tampak kelabu ketika Gian memarkir mobilnya di depan apartemen Kirana. Di tengah hawa mendung yang lembab, Kirana justru terlihat segar dan berbinar. Ia keluar dari lobi dengan senyum lebar, rambut disisir rapi, dan tas kerja menjuntai di bahu.Begitu melihat mobil Gian, ia melambai. Gian membuka kunci pintu penumpang tanpa ekspresi berlebih. Kir
“Apa harus ada alasan untuk itu?”Gian balik bertanya dengan nada datar dan dingin. Suaranya begitu tenang, nyaris tak beremosi, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka terasa lebih dingin dari AC yang menyala.Aurelia mengernyit. Matanya menyipit tak percaya.“Tentu saja,” jawabnya cepat. Ia bersandar di kursi, tubuhnya condong ke depan, seolah ingin menekankan logikanya. “Kita saja kalau mau berteman ada alasannya. Misalnya, aku berteman sama Doni dan Wulan karena mereka asyik dan nyambung. Apalagi kalau sampai punya perasaan yang lebih dari sekadar teman, pasti ada penyebabnya, kan?”Gian tidak menjawab, hanya menatapnya lekat sejenak, lalu berbalik menyesap kopinya. Aromanya menguar ke seluruh sudut dapur kecil mereka yang hangat.“Dan kau?” Tiba-tiba Gian balik bertanya, suaranya pelan tapi men
Aurelia dan Gian melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit yang dingin dan terang benderang. Detak langkah mereka menggema di antara suara perawat dan bunyi alat medis yang bersahut-sahutan. Wajah keduanya tegang, terutama Gian yang sejak tadi memegang ponsel erat-erat, seolah menunggu kabar lanjutan dari Mbok Sri.Mereka berhenti tepat di depan ruang UGD. Gian mendorong pintu, tapi ruangan itu kosong. Tempat tidur bersih, tirai ditarik, tak ada tanda-tanda keberadaan Nyonya Lestari."Kosong? Bukankah Mbok bilang Ibu masih di sini?" tanya Gian panik, menoleh ke kanan dan kiri.“Maaf, Pak. Anda mencari pasien atas nama siapa?” Seorang perawat yang sedang membenahi rankerr menyapa Gian dengan nada ramah.Gian hendak menjawab, tetapi niatnya urung karena tak lama kemudian, sosok Mbok Sri muncul dari arah lift. Nafasnya sedikit terengah karena tergesa."Den Gian, Nyonya sudah dipindah ke ruang rawat inap lantai dua. Barusan saja."Tanpa menunggu lebih lama, Gian menggandeng Aurelia dan
Aurelia menghela napas sambil berusaha tersenyum. Dirinya tengah berusaha menyingkirkan kejadian yang lumayan menyebalkan malam itu dari benaknya. Dia mulai paham bahwa sosok seperti Kirana harus diwaspadai. Namun, untuk sekarang biarlah disimpan sementara saja karena dia akan mengawali langkah menjadi seorang guru les privat.Suara bel rumah terdengar pelan namun jelas, membelah keheningan sore di sebuah kawasan elite di selatan Jakarta. Gerbang otomatis terbuka perlahan, memperlihatkan taman yang tertata rapi dan jalur batu marmer yang mengarah ke sebuah rumah dua lantai bergaya modern minimalis. Dindingnya didominasi warna putih gading, dipadukan dengan panel kaca besar yang memantulkan sinar mentari sore.Aurelia berdiri di depan pintu utama, mengenakan blouse putih bersih dan celana bahan krem, rambutnya disanggul longgar. Riasannya tipis namun elegan. Ia tersenyum kecil ketika pintu dibuka oleh seorang ART berseragam biru dongker."Selamat sore, saya Aurel
Rasanya seperti ada jarum-jarum halus yang menusuk perlahan ke kulitnya. Tidak menyakitkan secara fisik, tapi cukup tajam untuk membuat dada Aurelia terasa sesak. Seolah rasa tidak nyaman itu menjalar, dari perut hingga tengkuk, membuat tubuhnya panas dingin.Aurelia mengenali perasaan ini dengan baik: campuran antara jengkel, geli, dan getir. Seolah ada yang menari-nari di hadapannya, menyulut api cemburu yang berusaha ia sembunyikan. Ia tahu dirinya tak seharusnya merasa seperti ini. Ia percaya pada suaminya. Ia tahu Gian adalah laki-laki yang setia, tulus, dan mencintainya. Tapi sebagai perempuan, ia pun paham betul bagaimana cara perempuan lain ‘menyentil’ perempuan lain dengan cara yang begitu halus—namun mematikan.Aurelia menanggapinya dengan senyum tipis, nyaris tak terlihat, tapi dalam hati ia tahu ada bara kecil yang mulai menyala.Semen