Share

Part 5 Promil

"Kamu mau kabur pun percuma, gak akan aku biarin kamu lepas tangan dari semuanya. You stay here with me, do what i told you to do."

Udah pikiran ku bercabang, Yogi juga gak bantuin aku ngarang cerita, eh, dia malah ninggalin aku di Villa sama keluarganya untuk pergi sama papanya mancing seharian.

Aku bingung karena cuma di briefing dikit banget tentang kabar 'kehamilan' ini. Cuma bisa senyum canggung pas diajak saudara ipar ku berkumpul di teras villa sambil minum teh.

Beberapa candaan jorok mereka membuat mukaku merah sampai telinga!

"Hebat juga ya Yogi, baru beberapa bulan udah langsung gol aja. Kirain bakal nunda dulu loh!" ucap kak Shinta yang memang belum memiliki kehendak untuk hamil, begitupun suaminya.

Mereka seperti masih pacaran dan mungkin heran kenapa kami terlihat terburu-buru.

Dipikir-pikir, iya juga sih.

Kalaupun aku hamil beneran, kayaknya emang terlalu cepat. Aku gak ngerti sama permintaan Yogi dan untungnya berani nekat ngambil langkah untuk menunda hal itu secara sepihak, tanpa persetujuannya.

Mamah Yogi yang bergabung diantara kami berempat berceletuk, "Gak apa-apa, Dira. Mana tau abis punya anak Yogi jadi lebih hangat, gak kayak robot lagi, iya kan?"

Aku tersenyum mengangguk, masih berusaha meminimalisir informasi yang gak perlu di omongin, takut bentrok sama yang Yogi bicarakan nanti.

"Pinter juga ya, taktik Dira." ejek salah satu sepupu Yogi yang lain dengan nada ketus.

Rasanya gak terima banget, aku gak selicik itu.

"Hehe, bukan taktik akusih. Soalnya aku nurut mas Yogi aja yang mau langsung punya anak. Dia yang minta..."

Aku bener-bener gak tau apapun, bahkan sampe ditanya bakalan kontrol ke dokter mana, aku gak tau.

I have no idea about all this maternity things.

"Masa belum dipikirin Dir? itu udah mulai harus kontrol loh, takutnya ada apa-apa di masa awal kehamilan, kan rentan."

"O-oh, ada kok. Ada, dokter deket rumah juga, mas Yogi kenal tuh namanya Joon." Sialan.

Pikiranku pendek sekali sampai nyebut nama dokter yang belum tentu dokter kandungan, apalagi itu dokter udah pernah buat Yogi marah mencak-mencak depan rumah.

Dari namanya juga keliatan jelas banget kalo dokternya cowok.

"Dokter cowok Dir? Yogi bolehin?"

Mukaku makin pucat.

Keluarga Yogi pasti tahu perangai Yogi yang risih jika 'miliknya' di sentuh pria lain. Aku bingung banget.

"...Boleh, Dira boleh pake dokter mana aja asal anak gue sehat." Entah sejak kapan Yogi sampai di rumah, tapi kedatangannya langsung membuatku lega.

Rasanya mau lari dan berlindung dibalik punggungnya. Aku takut, cemas, berharap kebohongan ini cepat selesai dan kami bisa pulang kerumah untuk membahas hal ini secara private.

"Aku ada kerjaan di rumah, mau pulang?" Tanya Yogi seolah bisa membaca jalan pikiranku, membawaku keluar dari rumah yang telah membuatku merasa tegang sepanjang memijakkan kaki.

"Harusnya jangan sebut dia dokternya." Ucap Yogi bergumam.

Aku diem saja, pahaku ngarah ke pintu tanpa ngeliat wajah Yogi yang nyetir sama sekali.

"Harusnya kita gak perlu bohong kayak gini." Balasku lagi, suasananya jadi hening.

Aku tau, gimana pun dia pasti ngerasa bersalah.

Tapi kupikir, seenggaknya dia bertanggung-jawab untuk ngebawa aku pergi dari situasi gak mengenakan itu tepat waktu, aku suka dia berbohong demi aku.

Entah aku cuma cari-cari alasan untuk maafin dia atau emang yang Yogi lakukan itu manis, aku coba untuk nekan emosiku.

"Kamu gak apa-apa bohong gitu? Gak beneran ada kerjaan kan?"

Dia menggeleng, "Enggak, tapi aku emang harus pergi. Ada perlu."

Yogi meraih saku celananya tanpa ngalihin pandangan dari jalan tol, menggulirkan sebuah kartu untuk diberikan padaku.

"Kamu hubungin dokter ini, she's gonna take care of you."

Alisku terangkat naik sebelah, "Buat apa? Promil?"

"Boleh. She's good, konsul apa aja sama dia."

"Kamu tau dia bagus dari mana?" tanyaku santai sambil meneliti kartu nama keemasan itu dengan baik. Tidak menaruh pikiran apapun terhadap suamiku.

Tapi pertanyaan sederhana itupun gak bisa dia jawab.

Aku berusaha untuk gak terlalu mikirin semua yang terjadi beberapa hari belakangan.

Rasanya kalau bisa aku pengen punya kesibukan lagi, pengen ketemu temen-temen kerja lagi sampai gak punya waktu untuk overthinking masalah apapun.

Soalnya Yogi begitu. Sejak aku mulai sering bertanya tentang latar belakangnya sebelum nikah, dia itu langsung nyibukin diri dan jadi jarang pulang kerumah. Kalau pun pulang, pasti udah malem dan langsung tidur. Hari libur dia bakalan pergi atau lembur di kantor. Walaupun gak pintar-pintar amat, aku sadar kalau dia lagi menghindar dariku. Menghindari semua pertanyaanku.

Sampe rasanya aku kayak gak enak. Aku istri sah-nya tapi aku ngerasa sungkan udah jadi alasan dia malas pulang kerumah,

Dengan sengaja, aku nungguin dia pulang hampir jam sebelas malam cuma untuk meluruskan hal ini.

"Aku... gak masalah kok kalau sementara waktu pulang kerumah orang tua."

Yogi duduk melipat tangan didepan dada, bau shampoo nya tercium di penciumanku setelah ia keluar dari kamar mandi sepuluh menit lalu.

"Kenapa?"

"Gak apa-apa. I just felt like im being such a burden to you lately."

Yogi natap aku tanpa bergeming.

"...kalau seandainya aku pulang seminggu-dua minggu juga gak masalah kan, namanya juga refreshing.”

"Masalah."

"Ha?" Aku bingung dengan jawaban Yogi yang terdengar dingin seolah aku lagi mengecewakannya. Padahal dia sendiri yang membuat situasi jadi seperti ini.

“Maksudnya masalah gimana, Mas? Kan daripada kamu sengaja nginep di kantor atau weekend malah keluyuran, lebih baik aku aja yang nginep keluar dulu. Aku gak marah kok, cuma ngasih saran aja sebagai-"

"Namanya istri ya tinggal sama suami, kenapa mau pulang ke rumah orang tua?" Suaranya agak meninggi. Aku gak tau kenapa obrolan yang ku mulai dengan penuh kehati-hatian dan kelembutan, malah jadi boomerang untukku yang mulai terasa terintimidasi.

"Mas..."

Yang terjadi selanjutnya malah membuatku makin bergidik. Punggungku menabrak kepala kasur ketika Yogi bangkit dan merangkak dari duduknya menuju kearahku.

Tatapannya menggelap, menangkup bahuku agar tidak bergerak menjauh.

"Aku butuh kamu." ucap Yogi tepat didepan wajahku,

"G-gak bisa, aku gak punya birth control lagi, udah kamu buang semua.”

"Bagus kalo gitu." sebuah senyum samar membuatku makin gugup bertemu dengan tatapnya,

"Aku butuh kamu, sekarang."

"F-fine, tapi jangan keluar didalam." Butuh waktu sekitar lima detik sebelum Yogi mendaratkan ciumannya di rahang kiriku,

"No. I always cum inside."

Gak tau apa yang merasuki Yogi. Kewajibanku ke dia rasanya kayak diborong bayar lunas semalam karena udah seminggu lebih gak 'ngasih'.

Hampir gak kenal dia lagi rasanya, kayak bukan Yogi yang biasanya nenangin aku tiap dia ngelakuinnya terlalu keras. Rasanya aku hampir memohon buat berhenti, tapi setiap aku ingin buka suara, suaraku tertahan. Malah sengaja makin diperkuat, makin bikin aku tercekat.

Aku cuma bisa remas tangannya berkali-kali, berharap dia ngerti bahasa tubuhku yang rasanya gak bisa ngimbangin dia lagi.

"Keluarin di mana?" Well, setidaknya dia masih nanya untuk keluarin dimana dan gak langsung nyembur didalem tanpa izinku, walaupun dia nolak pakai kondom karena aku bilang aku udah gak minum birth-control.

Seenggaknya sampai detik itu dia masih hormatin keputusanku yang belum siap jadi ibu.

Walaupun aku tau, cepat atau lambat dia bakalan dudukin situasi ini untuk dibahas.

Aku tahu, dia mau cepat-cepat punya anak entah untuk alasan apa.

"T-terserah, jangan didalam mas."

"Oke, dimuka." Aku tercekat ketika beberapa detik kemudian dia merangkak dan memegang rahangku agar tidak bergerak dari semburannya.

Biasanya dia akan ambilin aku minum, atau sekedar pakein aku baju dan celana usai aktifitas kami.

Tapi semalem enggak sama sekali. Dibanding bercinta, kayaknya semalem cuma kegiatan penghilang stress untuk Yogi.

Dia keliatan banget banyak kepikiran dan nyari aku untuk luapin beban-bebannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status