Share

Part 4 Testpack Siapa?

Stop. Aku harus stop karena emosi yang daritadi aku simpan sekarang sudah melegak sepenuhnya.

Tantangan Yogi untuk ribut gak seharusnya aku ladenin karena pasti berujung panjang. Aku gak mau bertengkar cuma karena hal kecil. Lebih-lebih kami berada di teras rumah sekarang.

Menarik nafas dalam-dalam, aku telan lagi seluruh kekesalan pagi itu dan mencoba tenang menjawab pertanyaannya.

"Itu Joon, kalo gak salah namanya itu. Kita cuma pernah papasan beberapa kali pas aku jalan kedepan kompleks. Kita gak pernah ngobrol.”

"Nah itu bisa jawab yang bener. Jawab pertanyaan simple aja susah." Gila. Ini orang nyebelin banget.

Ada beberapa kemungkinan dia marah. Yang pertama mungkin karena aku jawab pertanyaan dia gak becus, yang kedua karena dia belum percaya kalau aku bisa jaga nama baik dia, yang ketiga agak konyol sih kalau dipikirin, tapi bisa aja Yogi insecure.

Ego laki-laki itu tinggi.

Dan bisa aja Yogi merasa kalah saing dengan tubuh atletis tetangga kami, karena serutin-rutinnya dia olahraga, badan Yogi belum tergolong se-atletis itu dan malah semakin kekar semakin terlihat dad-body.

Memang betul saat aku inget lagi, dia benar-benar memperhatikan Joon sampai tetangga kami tersebut melewatkan pagar, dari atas sampai bawah. Seperti ditantang ribut padahal Joon cuma menyapa sekali lewat. Ada satu celah kelemahan di diri dia yang belum bisa dia terima. Bahwa dia mungkin tidak cinta diri sendiri. Tidak merasa ganteng.  Aneh sekaligus lucu. Membicarakan itu dengan temanku jadi bikin gak begitu kepikiran negatif, malah jadi lucu-lucu aja.

Mumpung Yogi bilang dia pulang malam aku mencuri waktu untuk meet-up dengan salah satu temenku di salah satu mall. Sampai lupa waktu karena banyak sekali cerita yang terkumpul setelah sekian lama gak ketemu, aku sampe lupa waktu. Bahkan gak sadar kalau ponsel ku bunyi kalau temenku gak bilang.

3 panggilan tidak terjawab dari Yogi.

"Di mana?"

"Oh... ini diluar mau pulang."

"Aku nanya di mana? Jangan sampe aku nanya ketiga kali."

Kenapa dia harus ngomong gitu pas aku lagi sama temenku sih?

Tampaknya ia sedang berada dalam suasana hati yang buruk, dan aku sebagai istri tidak dianggap, harus menahan hati agar tidak ikut terpancing amarah.

**

Pagi-pagi sekali hari ini aku sudah sibuk mondar-mandir penjuru rumah.

Padahal ini hari libur nasional, tapi Yogi dan keluarga besarnya punya rencana untuk berlibur ke lake-house sekalian memanen beberapa tanaman yang disemai sejak terakhir mereka datang kesana.

Awalnya Yogi bilang kami berdua bakal nyusul terakhir karena ada beberapa kerjaan Yogi yang gak bisa di liburin. Tapi ternyata mama Yogi bersedia nunggu.

Beliau bilang jalanan ke lake-house mirip-mirip dan Yogi udah lima tahun gak kesana. Takut nyasar jadi harus beriringan. Akhirnya selagi Yogi fokus dengan kerjaan, aku siapin barang-barang dan pakaian dia yang mau dibawa. Setiap lewat didepan dia yang lagi kerja, kaki ku berjinjit untuk meminimalisir suara. Takut aja. Mukanya yang serius ngingetin aku lagi saat terakhir dia marah karena tetangga ujung jalan. Satu hal yang gak pernah selesai, dan gak pernah berani aku bahas sampai saat ini.

"Mas, sweater bawa yang mana?" Tanyaku paling terakhir karena semua perlengkapan yang lain sudah aku masukan kedalam koper.

Kami memakai satu koper besar bersama. Yogi noleh dari berkasnya, muka datar dipenuhi keseriusan.

"Di lemari paling atas, biar aku aja nanti ambil sendiri, kamu gak sampai itu.”

Kebiasaan banget. Padahal ini udah jam setengah delapan dan keluarganya udah di jalan mau jemput kita. Kalau ditunda-tunda pasti bakalan kececeran.

Aku mengambil kursi meja rias untuk memanjat, menggapai ke tumpukan sweater yang diletakkan di sebuah kotak hadiah berpita manis.

Aku belum pernah melihat kotak itu, gak penasaran juga. Aku cuma mau ambil sweater di atasnya.Tapi kotak itu jatuh, isinya berserakan. Dalam keterkejutan itu aku cuma liat Yogi yang berlari menyusulku ke kamar dengan raut cemas setengah mati.

"Stop, letakin. Jangan sentuh."

Aku diam. Menatap benda yang aku pandang bergantian dengan Yogi yang bahkan gak berani melewati pintu kamar kami.

Benda itu tampak baru, bersih tanpa noda.

Mulutku ingin bertanya 'punya siapa?' atau 'kenapa kamu punya ini?' serta berbagai pertanyaan lain. Tapi rasanya pikiranku hanya dipenuhi kekagetan.

Benda ini dikemas dalam kotak kado dengan baik seperti menyiapkan sebuah kejutan untuk orang tersayang.

Kotak kado yang terletak di lemari teratas suamiku. Tempat yang gak pernah bisa aku gapai.

"Dira!" segak Yogi sekali lagi karena aku masih melihat benda itu lamat-lamat.

Suara langkah kaki lain terdengar semakin mendekat tapi tak kunjung mengeluarkanku dari pikiran sendiri.

"Kenapa Gi?" Mamah. Suara mama Yogi. Wajah tua yang anggun itu ikut menoleh kedalam kamar penasaran, memergoki aku tengah memegang sebuah stick yang tentu terlihat jelas adalah sebuah testpack.

"Oh Dira hamil? Positif ya? Astaga selamat... Ya ampun, papa mana papa! Papaaaaaa Yogi sama Dira mau punya baby." ucap mama berteriak penuh harap menjauh dari aku dan Yogi yang saling memandang dengan bola-mata ingin jatuh.

Tuhan...

"Mas!"

"Gawat!"

Kami berdua sama-sama panik.

Gak kok.

Aku gak hancur lebur atau langsung kabur dari rumah akibat salah paham perkara ini. Aku cuma kaget, dan tidak tahu harus ngapain.

Aku gak tahu dimana harus menempatkan diri.

Kalau menurut peraturan normal istri sah, harusnya aku marah dan nuntut penjelasan kan. Tapi apa posisi aku ini bisa dikatakan istri sah yang dinikahi karena cinta?

I don't think so... We're both knows the benefit is mutual.

Dari awal pun aku lebih sering menempatkan diri sebagai rekan, bahkan pegawainya. Aku selalu mengalah dan gak berani macem-macem. Di saat seperti ini aku beneran gak bisa ngomong apa- apa, sedihnya, Yogi juga gak merasa harus menjelaskan apa-apa padaku.

Ketimbang meluruskan masalah ini ke mamanya, dia malah mengunci kami berdua di dalam kamar, dia tarik aku untuk duduk di ranjang saling berhadapan.

"Mas..."

"I know, just pretend. Pretend it's yours." ucap Yogi desperate membuatku menuruti permintaannya.

"T-tapi kenapa? Itukan bukan punyaku. Aku gak mau!" mamah Yogi adalah orang yang begitu baik, aku gak bisa bayangin kalau aku harus bohong ke mama hanya untuk nutupin masalah Yogi yang entah apa itu akupun gak tau.

Yogi memejamkan mata menarik nafas dalam-dalam. "Kalau kamu tolong aku sekali ini, aku bakal pura-pura gak tau sama pil birth-control yang kamu sembunyiin di kamar mandi.' Aku hampir terlonjak kaget mendengar kalimatnya barusan.

Jadi... selama ini dia tau?

Dia tau kalau aku minum pil kontrasepsi dan tetap meminta untuk berhubungan? Bukannya tujuan dia itu untuk cepat-cepat punya keturunan?

"K-kamu tau?"

Yogi ngangguk natap aku, "Trus kenapa-"

"Tadinya mau aku flush semua obatnya ke toilet, tapi aku masih baik pertimbangin kalau kamu belum siap." jawabnya pelan menarik nafas,

"So do me favour too this time, aku belum siap cerita dan aku harap kamu mau bantu."

Gila.

Aku gak tau ini sebuah bujukan atau blackmailing?

Kenapa dia seolah-olah mengancam mau membuang obatku ke toilet??

"No. You're threatening me!" ucapku kesal.

"I am not, but i'm willing to do so if you're refuse to be cooperative with me.”

Sial. Aku bahkan gak dapet penjelasan apapun tentang milik siapa benda yang kupegang saat itu. Malah diberi tugas bukan main berat untuk berpura-pura memilikinya.

"Kamu tau kalau minum pil itu gak sesuai dengan permintaan aku, kan? But i let you be... Setiap kali kamu lakukan kesalahan selalu aku maklumi. Bahkan kejadian sekarang inipun terjadi karena kamu bantah larangan aku. Menurut kamu, kamu harus ngapain sekarang?" ucapnya semakin memojokanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status