Berulang kali Bulan menghela nafas dalam kebingungannya, detik itu juga pintu rumah terbuka. Ia terkesiap ketika melihat sosok pria paruh baya berdiri tegak di hadapannya.
Senyum itu semakin membuat rasa bersalah yang mendera kembali muncul. Matanya berkaca-kaca, hatinya remuk menyadari telah menyakiti pria yang menyambutnya penuh kehangatan. Tanpa mampu diri dia menabrak tubuh pria itu—tangisnya pecah. “Papi...” “Sst, sudah... Papi di sini, sayang.” Bisik pria yang di panggil Papi itu. Lukman sendiri merasa terkejut melihat putri semata wayangnya menangis begitu pilu. Sejak kepergian istrinya, jarang sekali Bulan menunjukkan air mata. Dan hari ini, dia kembali melihat putrinya menangis. Rasa khawatir dan ingin tahu mulai menyelimuti hati pria berusia empat puluh lima tahun itu. “Sayang, ada apa?“ tanya Lukman dengan suara lembut, seraya mengusap kepala Bulan, mencoba menenangkan dan mengobati luka di hati sang putri. Dalam pelukan Lukman Bulan menggeleng, “Aku sayang Papi,” Lukman tersenyum lega, ia pikir ada apa pulang-pulang putrinya itu langsung menangis. Lukman mengurai pelukannya, kedua tangan besar itu menangkup pipi Bulan, menggunakan ibu jarinya Lukman menghapus sisa air mata di mata putri satu-satunya itu, lalu… Cup Satu kecupan kasih sayang ia berikan di kening permata hatinya itu, “Papi lebih menyayangi kamu, Nak. Kamulah harta Papi yang paling berharga,” ucap Lukman dengan senyum hangat. “Ayo, masuk. Papi ingin bicara sama kamu,” Lukman merangkul Bulan membawanya masuk kedalam rumah. “Pi, ada acara apa? Kenapa orang-orang terlihat sibuk sekali?” melihat para asisten rumah tangga yang tampak sibuk lalu lalang. “Inilah yang ingin Papi bicarakan dengan kamu,” meraih tangan kecil putri semata wayang untuk digenggam. “Papi mau bicara apa?” tanya Bulan melihat muka sang Papi berubah serius. Terdengar helaan nafas panjang dari pria paruh baya itu, tangan besarnya menepuk-nepuk punggung tangan Bulan yang berada dalam genggaman tangannya. Jika sudah seperti itu, biasanya yang akan dibicarakan oleh Papi-nya sesuatu yang sangat besar. Jantung Bulan berpacu kuat, ia takut Lukman mengetahui apa yang terjadi padanya semalam. Bulan tidak sanggup melihat ayahnya tersakiti atas perbuatannya, Bulan sangat menyesali-nya. Tapi semua sudah terjadi, tidak bisa dirubah lagi. “Pi…” panggil Bulan dengan debaran jantung tak karuan. Lukman memaksakan senyum di wajahnya, “Kamu kenapa tidak pernah cerita kalau kamu punya hubungan dengan Tuan Muda Zelandra.” Bulan mengernyit, “Tu-Tuan Muda Ze-Zelandra?” ulang Bulan. Zelandra? Sepertinya nama itu tidak asing baginya, tapi di mana dia melihat atau mendengar nama itu. Lukman mengangguk sambil tersenyum, “Kalau saja kedua orang tuanya tidak menghubungi Papi tadi, kamu akan menyembunyikan terus dari Papi, hm?” goda pria itu. “Tu-tunggu Pi, maksud Papi apa? Orang tuanya menghubungi Papi untuk apa? Dan mereka siapa, Pi?” Bulan betul-betul tidak mengerti dan mengetahui siapa yang dimaksud oleh sang Papi. Masalah dia dengan pria dewasa itu saja sudah membuatnya pusing dan sekarang ada masalah lain lagi. Kenapa jadi rumit seperti ini! Lukman mencubit gemas hidung kecil putrinya, sudah ketahuan bukannya mengakui masih juga berpura-pura. “Jadi, kamu tidak mau jujur sama Papi, kalau kamu diam-diam menjalin hubungan dengan Tuan Raka. Bahkan hari ini, mereka akan datang kesini untuk melamarmu.” Jedderr Bagai disambar petir, tubuh Bulan membeku seketika, ‘melamar’? Ia tidak salah dengar kan, dia menjalin hubungan dengan Tuan Raka dan mereka akan datang melamarnya. Kenal saja tidak, bagaimana menjalin hubungan? “Pi, Bulan tidak ada hubungan apa-apa dengan Tuan Raka. Ke—” Tuan Lukman menyela, ia mengerti mungkin putrinya masih malu untuk mengakui. Salah dia juga tidak pernah menanyakan pada Bulan, dia yang dulu seumur Bulan sudah memiliki rasa suka pada lawan jenis. Begitu juga dengan putrinya, bersyukurnya Lukman, Bulan bersama orang yang tepat. “Papi paham, kamu takut membuat Papi sedih karena kalau sudah menikah kamu akan ikut bersama suamimu. Maka itu kamu tidak mau jujur pada Papi, kalau ternyata selama ini putri cantik Papi memiliki seorang kekasih?” “Pi, bukan begitu maksud Bulan…” Gadis itu terlihat frustasi, bagaimana dia akan menjelaskan pada sang Papi “Papi tidak apa, sayang. Waktu itu pasti akan tiba, dimana kamu akan menikah dan hidup bersama keluarga kecilmu.” ‘Tamat riwayatku, kalau aku melanggar perjanjian dengan pria mesum itu, Perusahaan Papi terancam bangkrut. Aduh, bagaimana ini?’ *** Gadis berambut coklat kehitaman itu tampak gelisah, ia berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya sambil menggigit-gigit kuku jemari tangannya. Bulan, sudah berganti pakaian dengan baju yang disiapkan oleh Tuan Lukman, untuk menyambut keluarga calon suaminya. Wajah cantiknya dipoles sedikit dengan riasan sederhana agar terlihat segar. Garis wajah Bulan menuruni perpaduan paras kedua orang tuanya. Di tengah kegundahan hatinya yang dilema, terdengar ketukan pintu kamar dari luar. Bulan menghela nafas panjang, kemudian mengizinkan orang di balik pintu untuk masuk. “Bi, tolong bantu aku kabur dari sini” Bulan memelas pada asisten rumah tangganya yang baru saja masuk. Wanita yang akrab disapa Bibi Tin itu selama ini yang merawat dan mengurus segala kebutuhan Bulan. Hubungan mereka dekat sekali, Bibi Tini sudah menganggap Bulan seperti anaknya sendiri. Bibi Tini tersenyum tipis, ia tau jika gadis cantik di depannya tengah dilanda rasa gugup. Bibi Tini pun kemudian berkata, “Kenapa harus kabur, Nona? Kekasihnya sudah datang, Nona pintar sekali cari kekasih. Sangat tampan.” Bi Tini mengacungkan kedua jempolnya di depan wajah sebagai bentuk pujian. “Iihhh.. Bibi Tini, kenapa malah memuji dia! Tolong bantu aku kabur, Bi.” Desak Bulan sudah tidak sabar. “Sudah, nona jangan aneh-aneh. Mau kabur segala. Sekali-kali kekasihnya datang malah mau kabur. Percaya sama Bibi, semuanya pasti baik-baik saja.” Bibi Tini mencoba menenangkan Bulan dengan perkataannya, berusaha meredakan keresahan dalam diri anak majikannya. “Bi, Bulan tidak punya kekasih. Itu Tuan, Tuan siapa lagi, kenal saja Bulan tidak, Bi…” Mata Bulan memerah ia sudah menahan tangis, ia merengek seperti anak kecil. Menggoyangkan lengan Bibi Tini, berharap pada wanita bertubuh gemuk itu untuk membantunya melarikan diri. “Tidak baik bicara seperti itu, kekasih sendiri tidak mau diakui.” Bibi Tini geleng-geleng kepala dibuatnya. Biasanya wanita dilamar pria yang dicintainya akan merasa senang, namun Nona mudanya malah ingin kabur. Apa anak zaman sekarang seperti itu? Memiliki kekasih tapi tidak mau mengakui. Bibi Tini pusing sendiri memikirkannya, berbeda sekali dengan zamannya dulu, mereka menikah tanpa saling kenal apalagi pacaran. “Lelaki yang berani datang kerumah membawa orang tuanya untuk melamar sudah langka, Nona. Seharusnya Nona bersyukur bisa bertemu laki-laki seperti kekasih Nona itu. Sudahlah Nona, tidak perlu malu-malu. Nona juga jangan berbuat aneh-aneh. Di bawah juga ada Tuan besar.” Ucap Bibi Tini wanita itu, mengingatkan Bulan. “Apa? Kakek juga datang!” teriak Bulan histeris, seraya bahunya luruh lemas. Dia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, kalau kakeknya saja datang, mana bisa ia berkutik. Bisa dicoret dari ahli waris. “Lebih baik sekarang kita turun. Ayo! Kasihan kekasih Nona. Terlalu lama menunggu bisa lumutan dia.” Ucap Bibi Tini dengan nada lembut sambil terkikik. Kemudian menambahkan, “Senyum Nona jangan cemberut, nanti cantiknya pindah ke Bibi.” Ia melempar guyonan, berharap dapat membuat anak majikannya tersenyum walau sedikit. Sepanjang menuruni anak tangga pikiran Bulan bercabang-cabang seperti akar mangrove, ia teringat perjanjiannya dengan pria dewasa yang telah menodainya. Bagaimana cara ia mengabarkan pada lelaki itu kalau ada pria lain yang datang melamarnya, Bulan merutuki dirinya yang bodoh. Kenapa dia tidak meminta kontak pria itu, seharusnya dia bisa lebih cerdas. Mungkin dia bisa minta tolong pada pria itu untuk membawanya kabur. “Bulan,” gadis itu tersentak, dia tertarik dari pikirannya kembali pada kenyataan yang harus dihadapinya. Sudah tiba di ruang tamu dan entah kapan Bibi Tini yang tadi mengantarnya sudah tak lagi ada di sampingnya. “Kenapa melamun di sana, kemarilah,” Tuan Lukman menyunggingkan senyuman hangat, meminta putri tercintanya untuk mendekat dan memperkenalkan tamu mereka. Bulan mengangguk kaku pada dua orang yang usianya tidak lagi muda namun masih terlihat gagah dan anggun. Hingga netranya bertemu tatap dengan sosok yang tak asing baginya. “Kau?”“Jadi, aku tidak dibuang orang tuaku, Pa?” tanya Yona berlinang air mata. Toni menggeleng, dia dan melati—sang istri memutuskan menceritakan kebenarannya. Yona sudah cukup dewasa untuk memahaminya. Kelak suatu hari nanti ketika gadis itu menikah, ayah kandungnya tetap harus menjadi wali nikah. Yona masih sesegukan dalam pelukan Melati, dia tidak bisa membayangkan bagaimana menderita sang ibu bahkan mengorbankan nyawanya untuk melahirkannya di tengah melawan rasa sakit. Yona menyesal telah berpikir buruk, sekarang dia ingin sekali nyekar ke makam sang ibu. “Di mana makam Ibu, Ma?” Yona mendongak, menghapus air mata yang seolah tak rela berhenti keluar. “Hari minggu kita akan kesana,” ucap Melati lembut. “Apa aku juga akan bertemu ayah, Pa.”Toni dan Melati saling pandang, walaupun berat hati Melati menganggukkan kepalanya. Biar bagaimanapun Yona berhak tau siapa ayah kandungnya. “Papa akan mempertemukan kalian,” ucap Toni.“Tapi aku tetap anak Mama dan Papa, kan?”“Tentu, selaman
“Raka,”Gerakan tangannya yang sedang menandatangani berkas terhenti, Air melirik pada sahabat sekaligus asistennya. “Ada apa? Apa apa sesuatu yang penting?” Ia bertanya, lalu kembali melanjutkan pekerjaan. Kafi menarik napas panjang, lalu berkata. “Pihak rumah sakit menelpon, mengabarkan kondisi Tiara kritis. Dan… Tiara ingin bertemu denganmu.” Air menutup berkas yang baru saja selesai diperiksanya, lalu mendorongnya sedikit ke arah Kafi yang duduk di seberang meja.“Kalau kau mau datang, datang saja,” ucap Air datar dan dingin.Baginya semua sudah selesai, hanya masa lalu. Sudah cukup peringatan yang dulu pernah diberikan dan ternyata hanya dianggap angin lalu. “Tapi—” Air mengangkat tangannya, dia tidak ingin mendengar apapun lagi yang berhubungan dengan masa lalu. Kini fokusnya hanya pada istri kecilnya dan calon anak mereka. Air tidak ingin lagi di usik kehidupannya dengan bayang-bayang yang akan menyakiti perasaan istrinya. Air mengambil bingkai foto istri kecilnya, diman
Mata Ny. Malika berbinar, rasa bahagia membuncah dalam hatinya. Rasanya tak puas hanya memandang strip kecil di tangannya. Perhatian wanita setengah baya itu, beralih menatap haru pada sang menantu yang bersandar di kepala ranjang. “Sayang, Mommy bahagia sekali. Terima kasih, nak.” Ucapnya tulus dengan mata mengembun. Segera ia mendekap menantu kecilnya, memberi dukungan bahwa remaja itu tak sendiri menjalani masa kehamilannya. Kedua tangannya menangkup wajah Bulan, memberi banyak kecupan sayang. Ditatapnya wajah cantik walau terlihat pucat dan kuyu. Ny. Malika menengok ke arah putranya yang memasang wajah cemberut, kesal karena sang Ibu memeluk bahkan mencium istrinya. Bukannya marah, Ny. Malika justru terkekeh. “Sudah mau jadi Daddy, masih suka merajuk.” Sindir wanita itu.“Dua bulan lagi ujian kelulusannya. Untuk sementara waktu Bulan akan menerima semua pelajaran dirumah. Dia akan datang saat ujian saja. Jangan biarkan istrimu kelelahan, pastikan kandungan dan kondisi istrim
“Zack, langsung pulang saja. Tapi nanti singgah sebentar beli cendol, ya.” pinta Bulan begitu ia masuk ke dalam mobil.“Baik Nona,” sahut sang pengawal. Sedan mewah itu meluncur keluar dari area parkir sekolah, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Ikut berbaur dengan kendaraan lainnya. Bulan menyandarkan punggungnya di kursi, matanya menatap kosong ke luar jendela. Sinar matahari siang yang menyengat membuat peluh kecil mulai membasahi pelipisnya. Padahal pendingin mobil berfungsi dengan baik. Membayangkan berendam air dingin, membuatnya ingin segera tiba di Mansion. Pasti rasanya segar sekali. Sayangnya, perjalanan dari sekolah ke rumah membutuhkan waktu hampir satu jam. Dan di tengah panas yang menyiksa, jalanan pun tak bersahabat. Suara bising kendaraan membuat kepalanya semakin berdenyut. Ia mengerjap pelan, lalu memejamkan mata. Kepalanya miring ke kiri, mencari posisi yang lebih nyaman untuk beristirahat sejenak.Lewat kaca spion depan, Zack melirik ke belakang. Ia ters
Di balkon kamar, Air berdiri memandangi gelapnya malam. Angin malam menerpa wajahnya pelan, membawa rasa lega setelah ia mengungkapkan kebenaran tentang dirinya pada sang istri. Meski awalnya Bulan sempat terkejut, pengertian darinya sang istri bisa menerima dan memahami. Seharusnya sejak awal ia jujur. Namun, ketakutan akan kehilangan gadis kecilnya membuatnya memilih bungkam. Air memilih menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Namun, siapa sangka, kebenaran itu justru terbongkar oleh istrinya sendiri.Tak ada yang disesalkan, setidaknya Bulan bisa lebih waspada dan menjaga diri. Karena sewaktu-waktu, musuh bisa saja datang dan menjadikannya target. Lambat laun statusnya sebagai istri dari seorang mafia—pemimpin Dark Costra akan diketahui. Air menahan napas ketika tiba-tiba sepasang tangan melingkar lembut di pinggangnya. Siapa lagi pemilik tangan kecil itu jika bukan sang istri tercinta. Matanya terpejam, menikmati hangatnya pelukan yang begitu membuat mabuk kepayang. “Kenapa bangun,
Air kembali ke ruang ganti setelah memastikan istrinya tidur pulas. Ia menatap kotak hitam yang masih tergeletak di lantai. Napasnya terdengar lega saat membuka bagian dalam dari kotak itu. Ia menutup kotak itu, lalu menyimpannya kembali ditempat semula. Air tidak ingin Bulan semakin curiga jika berpindah tempat, istrinya sangat jeli. Meninggalkan kamar, Air pergi ke ruang kerja. Di dalam sana, ia membuka laptop dan menghubungi seseorang lewat sambungan video.“Ada apa?” suara Tuan Aksa muncul, menatap tajam dari balik layar. Namun wajahnya berubah saat melihat raut anaknya yang tampak kacau.“Bulan menemukan senjataku, Dad.” ujarnya lirih, terbayang wajah istrinya yang ketakutan.“Lalu?”Pria itu menghela napas panjang, “Aku takut Bulan meninggalkan aku, Dad. Aku tidak mau kehilangan istriku.” Alis Tuan Aksa terangkat sebelah, pria setengah baya itu tersenyum miring. Di depannya saat ini, bukanlah putranya yang dingin dan Arogan. Tetapi seorang anak yang sedang mengadu dan merenge