“Aku tidak mau tau, kau harus tanggung jawab pria mesum.” Cetus Bulan geram.
Air menaikan satu alisnya, merasa lucu dengan perkataan Bulan. “Seharusnya aku yang minta tanggung jawabmu, karena kau sudah lancang mencuri ciuman pertamaku dan kau juga berada di kamarku. Jadi…?” Air menyeringai sebelum melanjutkan ucapannya, “Siapa disini yang mesum, hm?” ‘Kenapa harus diingatkan!’ batin Bulan menggeram kesal. Ingin sekali menyumpal mulutnya yang tidak di filter. Bulan mengedarkan pandangannya mencoba mengenali ruangan sekitarnya, tiba-tiba merasa mirip dengan kamar hotel. Hah? Apa aku sama pria ini benar-benar udah... Ah, tidak mungkin, aku terlalu berlebihan. Pikir Bulan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mencoba menepis kekhawatiran yang tiba-tiba menyerang dirinya. Akan tetapi melihat dirinya hanya memakai kemeja tanpa dalaman, Bulan menyadari bahwa sesuatu pasti telah terjadi di antara mereka. Ia merasa sangat ceroboh sekali. Bagaimana mungkin ia bisa berakhir bersama pria dewasa yang bahkan tak dikenalnya—menghabiskan malam bersama. Bagaimana jika Papi-nya tau, pasti akan sangat kecewa padanya. Air mata Bulan mengalir, ia memang nakal. Namun ia selalu bisa menjaga dirinya sendiri. Bahkan Mirza, mantan kekasihnya tidak pernah diizinkan untuk menyentuhnya. Kini, yang telah dijaganya hilang begitu saja tanpa ia sadari. Bulan berusaha mengingat kejadian semalam, ia bersama Yona menghadiri pesta ulang tahun teman sekolah mereka. Kemudian seseorang menabraknya saat ia sedang meneguk minuman. Bajunya basah karena tertumpah jus. Setelah itu, ia merasakan tubuhnya bereaksi aneh, dan ketika ia ingin ke toilet, seseorang membekap mulutnya dan kini ia berada satu ruangan dengan pria asing. “Masa depan aku bagaimana?” tanya Bulan dengan suara bergetar. “Bukan urusanku,” jawab pria itu dengan dingin. Bulan mendelik, amarahnya membuncah. “Kau sudah menodai-ku. Mengambil sesuatu yang paling berharga dariku. Aku tidak mau tau, kau harus bertanggung jawab, TITIK!” ujarnya tegas. “Kau yang harus tanggung jawab, kau yang sudah menodaiku lebih dulu. Perlu ku tunjukkan bukti, siapa yang menodai siapa, hem?” Air meraih ponselnya di atas nakas, lalu memutar rekaman CCTV—menunjukkan pada gadis itu. Terlihat jelas disana, Bulan-lah yang pertama menyerangnya—mencium Air dengan sangat liar dan bergairah. Bulan bungkam, ia tidak sanggup melihat kelanjutan dari video itu. Kepalanya berdenyut, tidak tahu harus melakukan apa. Niat hati ingin membalas Mirza, kenyataannya dia yang terjebak sendiri. “Kau tanggung jawab atau video ini akan sampai pada pihak sekolahmu, biar mereka tau seperti apa kelakuan siswanya.” Ancam Air dengan ekspresi serius. “Jangan,” pekik Bulan spontan. Ia tertunduk lesu dengan pikiran berkecamuk, “Aku hanya cium saja. Tapi anda malah memanfaatkanku dan menyentuh tubuhku. Disini aku yang paling dirugikan. Kalau nanti hamil, bagaimana? Kasihan anak aku, Tuan. Daddy-nya tidak mau tanggung jawab,” celetuk Bulan sambil menyandarkan kepalanya di pinggir ranjang dengan wajah sendu. Air tersenyum samar melihat tingkah Bulan. Lucu juga gadis ini, bisanya dia mikir kejauhan. Hamil, punya anak? Ia merasa terhibur dengan reaksi Bulan yang tak bisa ditebaknya, Air tidak akan pernah melepaskan gadis itu. Apapun caranya Bulan harus jadi miliknya, Air menyeringai kecil. “Hari ini kita akan menikah,” ucap Air dengan santai. “Apa? Ni-kah?” Bulan terkejut, “Anda waras, Tuan? Aku itu bahkan masih sekolah. Masa depanku masih panjang. Bisa di kubur hidup-hidup aku sama Papi!” Bulan menatap tajam Air, mencoba membaca maksud di balik perkataan pria itu. “Hm,” Menikah? Hanya untuk sebuah tanggung jawab dia harus menikah, tidak mungkin. Rasanya Bulan ingin berteriak sekencangnya. Kenapa hidupnya jadi rumit seperti ini. Hah! Gara-gara ciuman sialan. *** “Cepat habiskan sarapanmu. Setelah itu tanda tangani perjanjian itu.” Air menunjukkan sebuah map warna merah di atas meja menggunakan dagunya. Setelah drama bangun tidur tadi dan berakhir pada sebuah perjanjian yang ditawarkan oleh Air. Bulan yang sedang menikmati sarapannya melirik malas, lalu ia mendengus kasar. Bagaimana bisa ia sampai terjebak dengan pria menyebalkan itu, mana mukanya datar banget lagi, tidak ada rasa bersalah sedikitpun. Bulan tidak percaya jika pria itu tidak pernah ciuman, mana ada pria dewasa tidak pernah ciuman. Haa, ‘bul-shit.’ “Dasar pembohong!” gumam Bulan tanpa suara, lalu menyuap kasar sandwich ke dalam mulutnya. Saat ini mereka duduk di sofa yang ada di dalam kamar President Suite, Bulan masih tidak menyangka ia akan merasakannya kamar semewah itu. Seumur hidup ia tidak pernah membayangkan menginap di hotel mewah. “Apa ini?” “Apa kau tidak bisa baca tulis?” “Ck, jelas saja aku bisa. Aku sudah kelas dua belas!” kesal Bulan menghadapi sikap dan ucapan Air yang tak berperasaan. “Tapi ini maksudnya apa? Setelah menikah kita harus tinggal serumah, yang benar saja. Aku tidak setuju poin ini, ini apa lagi? tidur sekamar? Oh, tidak, tidak…. Ini juga, ini ini? Kenapa semua menguntungkan anda, pria mesum!” Kekesalan Bulan makin menjadi-jadi, perjanjian macam apa yang ditawarkan padanya. Jika bukan karena ancaman pria itu, Bulan tidak akan pernah setuju. Tapi, mau gimana lagi nasibnya sekarang berada di tangan pria kaku itu. “Berhenti memanggilku pria mesum, atau aku kirimkan saja video mesra kita semalam pada pihak sekolah dan juga Papi-mu.” Ancam Air yang sudah tau latar belakang keluarga Bulan. “Jeff,” “Iya, iya iya, aku setuju. Ini tanda tangan,” putus Bulan pasrah, “Tapi, aku juga punya syarat,” ucap Bulan, dia juga punya hak. Bolehlah, melunjak sedikit. “Katakan,” Bulan tersenyum senang, setidaknya sesaat dia bisa terlepas dari pria aneh itu. “Anda tidak boleh mengekang semua aktivitasku, apapun itu. Rahasiakan juga pernikahan ini. Bagaimana, deal?” Bulan tersenyum lebar, dia yakin sekali kalau pria di depannya itu akan setuju. Lama Air terdiam, menatap lekat Bulan dengan wajah datarnya membuat Bulan ketar ketir. Mata tajam itu seakan mencabut nyawanya dalam hitungan detik. “Antarkan dia pulang dan persiapkan semuanya. Jika berani melanggar, sebarkan rekaman CCTV dan hancurkan perusahaan orang tuanya.” Pungkas Air tak terbantahkan, meninggalkan Bulan dalam kamar Hotel. Gleg“Ingat, jangan jauh-jauh dari pengawasan Zack,” ucap Air tegas sebelum istrinya turun dari mobil.Bulan memutar bola mata malas. Entah sudah berapa kali suaminya itu mengingatkan; telinganya sampai panas. Pria itu benar-benar tidak percaya padanya. Padahal, dia nanti hanya pergi ke rumah sakit bersama teman-teman sekolah. Tetapi sikap Air seakan-akan dia akan ikut pelatihan militer.“Iya, Hubby,” balas Bulan singkat. “Sudah bisa aku turun? Sebentar lagi bel bunyi.”“Hem.”Begitu pintu mobil ditutup, Bulan menarik napas panjang. Rasanya seperti baru bebas dari tahanan—bisa menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.“Haah… menyebalkan sekali! Untung suami, kalau bukan sudah aku lelang di pasar loak... Eh, tidak akan laku juga, soalnya terlalu bossy,” gerutunya pelan sambil melangkah menuju gerbang sekolah.“Ke markas,” titah Air datar, setelah memastikan siput nakalnya masuk ke area sekolah.“Baik, Tuan,” jawab Jeff, lalu melajukan mobil menuju tempat yang dituju.***Setengah jam kemu
“Hubby, boleh aku tanya sesuatu?” Bulan bertanya hati-hati sekali. “Mau tanya apa, sweetie?”‘Yesss, hatinya sedang baik.’“Janji ya jangan marah?” Bulan mengacungkan kelingkingnya di depan wajah tampan suaminya. Ekspresi mukanya dibuat memelas sekali. Alis Air tertarik, seringai kecil muncul di bibirnya. “Hem,”“Iss, janji dulu Hubby. Seperti ini,” Bulan menautkan kelingking mereka dengan tak sabaran. “Nah, sudah janji. Hubby tidak boleh marah,”Bulan menarik napas panjang, jujur saja dia sangat gugup. Suaminya susah ditebak, sewaktu-waktu bisa berubah menjadi harimau ganas dan memangsanya. “Bukan Hubby kan yang membuat Mirza masuk rumah sakit?”“Hu-Hubby dengar dulu, aku belum selesai. Nanti aja marahnya, ya. Kita bicara dulu.” Sela Bulan cepat saat mata tajam suaminya menghunusnya tajam. “Aku hanya bertanya, bukan karena aku masih punya rasa atau peduli. Hanya ingin tau saja, just it.” ucap Bulan pelan. “Hem,” Bulan mencebik, bibirnya mengerucut. Suaminya kembali mode es–di
Suara pintu kamar mandi yang dibuka, berhasil mengalihkan fokus Air dari layar iPad. Dia yang sedang duduk bersandar pada headboard tempat tidur, kini menatap sosok kecil yang baru saja keluar dari sana. Bulan baru selesai menyikat gigi, membersihkan diri, dan berganti pakaian tidur. Dia enggan jadi bahan ledekan suaminya lagi—dikatain bau daging. ‘Masa, cantik-cantik bau daging.’ Kalimat singkat itu, tapi sangat menjengkelkan di rungu Bulan. Dalam diam, Air memperhatikan istri kecilnya yang sedang sibuk di depan cermin. Rutinitas wajib setiap malam yang dilakukan gadis itu sebelum tidur. Dari cermin, Bulan bisa melihat suaminya yang menatapnya tanpa ekspresi. Tatapan yang bikin risih seolah dia punya utang miliaran. “Hubby, bisa tidak melihat itu seperti orang normal. Jangan seperti penagih utang. Aku tau, aku ini emang cantik dan manis. Gula sama madu saja minder lihat aku,” ujarnya narsis sambil melangkah ke ranjang. Air menaikkan sebelah alis. Salah satu sudut bibirnya teran
Sentuhan lembut yang diberikan Air di pipi Bulan, membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya. Kelopak mata dihiasi lentiknya bulu panjang itu bergerak-gerak dan perlahan terbuka. Disambut senyum tipis sang pria yang menatapnya lembut dan penuh cinta.“Maaf, saya harus bangunkan kamu. Sebentar lagi malam,” ucap Air masih mengelus pipi kenyal Bulan.Bulan tersenyum dengan mata terbuka sayu, dia memegang tangan yang mengusap pipinya. Dengan gerakan pelan Bulan merubah posisi tidurnya jadi menyamping dan kini tangan lebar itu dijadikan alas bantalnya.“Maaf, tidurnya sampai lupa waktu.” Sesal Bulan, melupakan suaminya yang hari ini pulang lebih awal dari biasanya.“Kamu memang harus banyak istirahat, sayang.” Sahut Air lembut, Bulan sudah terbiasa dengan panggilan sayang dari pria dewasa itu. Jika di awal dia suka mencak-mencak dan mengamuk, sekarang panggilan itu selalu bisa membuatnya merasa nyaman.Gadis itu tersentak, teringat akan sang Ayah. “Papi dimana? Ya ampun, aku sampai melupak
“Anak haram?” Keduanya sontak menoleh ke arah pintu. Di ambangnya, Shallo berdiri terpaku, wajahnya menunjukkan kebingungan mendalam. Dia baru saja pulang dari rumah sakit setelah menjenguk Mirza—dan kini, kata-kata sang Ayah menghantamnya seperti badai. “A-apa maksud Papa? Siapa anak haram? Apa Papa punya anak lagi dari perempuan lain?” tanyanya tajam, menatap pria yang selama ini ia panggil Papa dengan sorot curiga. “Jangan pernah lagi panggil saya Papa,” suara Bagas dingin, penuh penolakan. “Karena saya bukan Papamu.” Sudah cukup aku membiarkan mereka bersikap semaunya. Terlalu besar harga yang harus dia bayar atas diamnya selama ini. Perusahaan miliknya di ambang kehancuran. “Maaass... dia anakmu!” jerit Rini panik. Dia berdiri, melangkah mendekati Shallo yang kini mematung. “Papamu sedang emosi, sayang. Masuklah ke kamar.” bujuknya lembut. Wanita itu tidak ingin Shallo mendengar lagi kata-kata yang lebih menyakitkan dari suaminya. Namun langkah Shallo terhenti saat su
“Di mana istri dan mertua saya?”tanya Air sambil melangkah masuk ke dalam rumah.“Ada di halaman belakang, Tuan,” jawab seorang pelayan wanita yang mengikuti di belakangnya.“Apa mereka sudah makan?”“Sudah, Tuan.”Air mengangkat tangan, memberikan isyarat halus agar pelayan itu mundur. Sang pelayan pun mengangguk hormat lalu kembali menjalankan tugasnya.Langkah Air berlanjut ke arah halaman belakang. Dari balik pintu kaca yang menghubungkan ruang tengah dengan taman, ia bisa melihat istrinya tengah berbaring, kepalanya beralaskan paha sang Papi mertua. “Ekhem…” Suara deheman itu membuat keduanya menoleh. Tuan Lukman lantas menepuk lembut pipi putrinya.“Bangun, Nak. Sambut suamimu pulang,” ucapnya lembut.Bulan menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dengan enggan. “Iya, Pi.”Ia berdiri menyambut suaminya, mencium hangat tangan pria itu. Air membalas dengan mengelus lembut kepala istrinya.“Masih sakit kepalanya, hm?”tanyanya dengan nada rendah. Bulan mengerutkan keningny