Aku bangun pagi-pagi, mata masih berat. Cahaya matahari menerobos dari balik tirai putih yang menjuntai lembut. Untuk sesaat, aku lupa kalau aku bukan di rumahku. Tapi ketika kusentuh seprai satin yang terlalu mahal, kenyataan menghantam seperti tamparan.
Aku sudah menikah.
Dengan lelaki asing. Mafia.
Grayson Oliver Blake.
Aku berjalan pelan ke kamar mandi yang luasnya seperti studio apartemen. Wastafel marmer putih, bathtub mengilap, dan aroma sabun yang asing. Saat menatap cermin, aku hampir tak mengenali diriku sendiri. Mataku sembab, rambutku berantakan, dan gaun tidur yang dipaksa kupakai semalam—masih menempel erat di tubuhku.
Pelayan mengetuk pintu dan memberitahuku bahwa sarapan sudah siap. Aku mengganti baju dengan dress sederhana yang entah kenapa sudah tergantung rapi di lemari, lalu turun ke ruang makan.
Dan di sana dia duduk.
Grayson.
Diam. Tegap. Mewah. Dingin.
Dia mengenakan kemeja hitam, jam tangan perak mencolok di pergelangan tangannya yang kekar. Matanya menatap koran, seperti kehadiranku hanya angin lalu.
“Duduklah,” katanya datar tanpa menoleh.
Aku duduk. Sunyi menyelimuti kami, hanya denting alat makan dari para pelayan yang terdengar.
"Selamat pagi..." ucapku lirih.
Dia tidak menjawab. Hanya menyisip kopi, lalu melipat korannya perlahan. Matanya baru menatapku setelah dua menit yang terasa seperti dua jam.
"Aku akan pergi ke kantor. Kamu bebas melakukan apapun hari ini, selama tidak keluar dari rumah."
Rumah?
Aku hampir tertawa. Ini lebih mirip benteng daripada rumah.
Aku mengangguk, meski hatiku memberontak. “Apakah kita akan tinggal di tempat ini selamanya?”
“Aku tidak tertarik membahas rencana hidup dengan seseorang yang hanya kubeli untuk kontrak pernikahan.”
Jawaban itu seperti peluru. Dingin. Mematikan. Tanpa emosi.
Aku menggenggam tangan di bawah meja, berusaha tetap tenang.
“Kenapa memilihku?” tanyaku pelan. “Kau bisa membeli siapa saja. Kenapa harus aku?”
Dia menatapku, kali ini lebih lama. Bibirnya melengkung sedikit, tapi bukan senyuman. Lebih seperti ejekan samar.
“Karena kau bukan siapa-siapa. Tidak akan ada yang mencarimu. Tidak akan ada yang peduli jika kau menghilang.”
Jantungku mencelos. Nafasku tercekat.
Tiba-tiba aku merasa sangat kecil. Sangat tidak berarti.
Aku ingin membalas, ingin berdiri dan menampar wajah sombong itu. Tapi aku tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Dia sudah membeliku. Mengunci hidupku. Dan sekarang dia ingin memastikan aku tahu betul bahwa aku tidak lebih dari sekadar properti.
“Aku bukan boneka,” bisikku, hampir tak terdengar.
Namun entah bagaimana dia mendengarnya. Mata hitamnya menyipit sedikit.
“Benar. Boneka bisa dihancurkan. Kau... lebih berguna jika tetap utuh.”
Lalu dia berdiri dan meninggalkanku begitu saja, tanpa pamit, tanpa melihat ke belakang. Suara langkah sepatunya menggema, mencabik-cabik sisa harga diriku.
Aku menghela napas panjang, merasa tubuhku gemetar hebat setelah dia pergi.
Di dunia ini, aku adalah bayang-bayang. Dan Grayson Blake adalah pemilik cahayanya.
Hari itu aku menghabiskan waktu dengan menjelajahi rumah. Atau... lebih tepatnya: menghafal jalur pelarian.
Villa ini terlalu luas, terlalu mewah. Ada delapan kamar tamu, dua ruang kerja, perpustakaan, kolam renang dalam ruangan, dan kebun belakang yang dijaga dua orang pria berjas hitam.
Salah satu dari mereka menatapku tajam ketika aku melongok ke arah gerbang.
“Tidak diizinkan ke luar, Nona Eleanor,” ucapnya tanpa senyum.
Aku mengangguk pelan dan mundur, meski dalam hati memberontak. Ini bukan rumah. Ini penjara berkedok kemewahan.
Sore harinya, aku kembali ke kamar dan mencoba membaca buku di perpustakaan. Tapi mataku selalu kembali ke satu hal.
Lukisan besar di dinding. Potret wanita paruh baya dengan wajah tegas dan tajam. Aku tahu dari pelayan bahwa itu adalah ibunya Grayson.
“Dia yang menyuruh Grayson menikah,” pelayan itu berbisik. “Madam tidak percaya Tuan akan tertarik dengan wanita manapun.”
Aku hanya mengangguk. Tentu saja. Karena dia bukan hanya dingin. Tapi juga... kosong.
Malam hari, aku membuka lemari dan melihat lagi sederet lingeri dan gaun tidur mahal. Semua menggoda. Semua vulgar. Semua menyakitkan.
Seolah-olah tubuhku harus selalu siap untuk dilihat, tapi tidak pernah untuk dicintai.
Aku memeluk diriku sendiri, lalu menyalakan lampu tidur. Kutatap langit-langit seperti kemarin. Tapi malam ini aku berjanji:
Jika aku tidak bisa lari, aku akan belajar bertahan.
Jika aku harus menjadi boneka... maka aku akan menjadi boneka yang berduri.
Aku kembali ke kamar menjelang malam, setelah seharian berjalan tanpa arah, tanpa tujuan. Kakiku pegal, tapi pikiranku jauh lebih lelah.
Sejak pagi, tak ada satu pun pelayan yang berani berbicara banyak padaku. Mereka semua tunduk, sopan, tapi menjaga jarak. Seakan mereka tahu, aku bukan istri yang dipilih, melainkan yang dipaksa.
Sampai sekarang pun aku masih belum percaya sepenuhnya bahwa pernikahan itu benar-benar terjadi. Semuanya terlalu cepat. Terlalu dingin. Bahkan gaun pengantin pun aku kenakan tanpa gaun putih. Hanya dress satin abu-abu, tidak ada yang special.
Pernikahan tanpa senyuman. Pernikahan tanpa kata manis. Pernikahan tanpa cinta.
Hanya sebuah kontrak.
Saat aku membuka pintu kamar, aku sedikit kaget. Di atas ranjang, ada sebuah kotak hitam panjang. Aku ragu untuk membukanya. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.
Perlahan, aku mengangkat penutupnya.
Di dalamnya, sepasang sepatu hak tinggi merah darah dan gaun malam hitam. Gaun itu begitu anggun, terbuat dari satin dan renda, dengan potongan leher rendah yang memperlihatkan lebih banyak kulit daripada yang biasa aku kenakan. Satu catatan kecil terselip di bawahnya, dengan tulisan tangan:
"Besok malam. Makan malam keluarga. Bersiaplah. – GOB"
Jantungku berdetak lebih cepat.
Keluarga?
Makan malam?
Apakah itu berarti aku akan bertemu ibunya?
Atau lebih buruk… anggota keluarga mafia lainnya?
Tanganku menggenggam kertas itu lebih erat. Ada rasa gelisah yang merambat dari ujung jari ke jantungku. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi aku yakin satu hal—aku harus tampil sempurna.
Bukan demi mereka.
Tapi demi menyelamatkan diriku sendiri.
Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dari biasanya. Wajahku pucat, jadi aku mencoba menambahkan sedikit riasan. Mata sedikit smoky, bibir merah muda pucat. Rambutku kuikat setengah, seperti yang kulihat di majalah fashion yang tergeletak di ruang baca semalam.
Gaun malam itu terasa dingin di kulitku, dan sepatu hak tinggi membuat langkahku tidak stabil. Tapi aku berdiri di depan cermin cukup lama untuk meyakinkan diriku bahwa aku bisa melalui ini.
Aku harus bisa.
Menjelang pukul tujuh malam, pelayan mengetuk pintu dan berkata bahwa mobil sudah menunggu.
Mobil?
Aku mengira makan malam akan diadakan di rumah ini.
Saat aku keluar, sebuah mobil mewah berwarna hitam telah menanti di depan. Sopir membukakan pintu dan aku masuk tanpa berkata apa-apa.
POV EleanorHari demi hari kami lewati dengan penuh bahagia. Dari sebuah pilihan kecil membuat hidup kami begitu harmonis hingga tak terasa kini telah menginjak satu bulan kami tinggal di New Zealand. Grayson bahkan sudah mulai lihai memasak. Dan aku begitu menikmati masakannya yang nyaris jauh lebih enak dariku.Sinar matahari musim semi menyusup melalui jendela kamar, menyentuh kulitku yang mulai pucat. Aku duduk di tepi ranjang, tanganku refleks mengusap perutku yang masih rata, meski aku tahu di dalam sana ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang kecil, rapuh, tapi menjadi alasan baruku untuk hidup.Aku menatap Grayson yang berdiri tak jauh, sibuk membuka tirai sambil menoleh ke arahku. Wajahnya tampak lebih tenang dibandingkan beberapa minggu lalu, tapi aku tahu di balik matanya selalu ada kegelisahan yang tak pernah sepenuhnya pergi.“Gray…” suaraku lirih.Ia segera menoleh, mendekat, lalu duduk di sampingku. &
POV EleanorSetelah menikah kemarin, Grayson tak memberi jedah untuk kami. Grayson mengatakan ingin memberikanku sebuah hadiah pernikahan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ia menutup mataku dan ia membawaku menaiki sebuah jet pribadi yang sudah siap di halaman meski aku bahkan belum mandi pagi itu.Dan saat kami tiba, Grayson membuka penutup mataku. Sontak aku sangat terkejut. Tempat yang terlalu indah, penuh ketenangan.Aku menutup mulut dengan kedua tanganku.“Selamat datang di New Zealand istriku…” ucap Grayson dengan senyum yang begitu mengembang.Air mataku tak bisa tertahan lagi. Haru dan bahagia semakin tak terbendung lagi.“Gray… ahh terima kasih hadiah pernikahannya…” Aku masih menatap keseluruh penjuru dengan perasaan takjub.“Apa kamu menyukai tempat ini?”“Yah! Tentu…” mataku masih berkaca-kaca“Kalau be
POV EleanorUdara sore di luar kapel kecil itu terasa tenang, seolah angin pun menahan napas menyaksikan momen yang akan datang. Kapel tua di atas bukit yang dibelakangnya ada pantai yang indah, jauh dari hiruk pikuk dunia mafia, berdiri sederhana namun anggun. Dinding batu putih yang sudah berlumut tetap berdiri kokoh, sementara cahaya matahari senja menembus kaca patri, memantulkan warna merah dan emas di dalam ruangan.Aku—Eleanor—berdiri di depan cermin tinggi dengan gaun putih cantik nan elegant. Tidak ada kemewahan berlebihan, hanya renda lembut yang membalut tubuhku. Tanganku bergetar saat menyentuh kaca, seolah aku belum percaya bahwa hari ini akhirnya tiba.Suara pelan terdengar di pintu. “Eleanor…” Itu suara Clara. Ia masuk perlahan, mengenakan gaun biru gelap yang anggun. Tatapannya melembut saat melihatku. “Kau terlihat… indah. Bahkan lebih indah daripada yang bisa kubayangkan.”
POV GraysonSetelah rapat dengan Vincent, Clara, dan Damien berakhir, aku duduk sendirian di ruang kerja. Lampu meja menyinari berkas-berkas yang berserakan, tapi pikiranku tak lagi berada pada dokumen atau strategi. Jemariku berhenti di atas layar ponsel. Nomor yang sudah lama tersimpan, tapi jarang sekali kugunakan.Nomor ibuku.Aku menarik napas panjang, menekan tombol panggil. Suara sambungan terdengar, dan detik-detik itu terasa seperti menunggu vonis.“Gray?” suara ibuku akhirnya terdengar, lembut, hangat, tapi juga penuh keheranan. “Hallo sayang... tumben kamu telfon ibu, ada apa sayang?”Aku menutup mata sejenak, mencoba menahan gejolak emosi. “Ibu… aku ingin kau datang besok.”“Besok?” suaranya terdengar bingung. “Untuk apa? Kau jarang mengundangku mendadak seperti ini.” Ada jeda singkat sebelum ia menambahkan dengan nada lebih curiga. “Apakah
POV GraysonRuang kerja di vila terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan deras menghantam jendela, seakan ikut menekan suasana tegang yang menggantung di udara. Di hadapanku, Vincent, Clara, dan Damien duduk dengan wajah serius. Peta wilayah, laporan finansial, dan catatan aliansi mafia tersebar di atas meja besar dari kayu. Semua mata tertuju padaku, menunggu keputusan.Vincent yang pertama membuka suara, nadanya tenang tapi penuh desakan.“Gray, ini bukan sekadar tentang kita. Sisa loyalis Moretti dan Castel masih aktif. Mereka mulai bergerak di pelabuhan Marseille dan Nice. Kalau kita biarkan, mereka akan bangkit lagi. Kita butuh strategi untuk menekan mereka sekarang juga.”Clara menambahkan, nada dinginnya seperti pisau.“Kau sudah lihat sendiri, Verena jatuh bukan berarti ideologinya mati. Orang-orang itu masih mengibarkan nama Castel. Kalau kau mundur, mereka akan menafsirkan itu sebagai kelemahan. Dan kelemaha
POV EleanorGrayson duduk di sofa, wajahnya serius tapi tatapannya tak pernah lepas dariku. Di antara cahaya lampu yang redup, aku bisa melihat sisa-sisa luka di tangannya—goresan pedang, lebam, dan bekas darah yang belum sepenuhnya hilang meski sudah dibersihkan. Tangannya itu, yang pernah membuatku ketakutan, kini justru menjadi tempat di mana aku merasa paling aman.Aku menarik napas pelan, menahan perasaan campur aduk yang terus menggelayut.“Grayson… apa kau benar-benar yakin dengan semua ini?” suaraku bergetar. “Setelah semua yang terjadi… aku takut, kalau aku hanya akan menjadi bebanmu lagi.”Grayson tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tanganku, menatap setiap jemariku yang masih penuh bekas memar, lalu mengangkatnya ke bibirnya.“Eleanor, dengarkan aku,” katanya pelan, namun tegas. “Kau bukan beban. Kau adalah alasan kenapa aku mas