Perjalanan terasa seperti seribu detik ketegangan.
Dan ketika pintu restoran pribadi terbuka, aku melihatnya.
Grayson.
Ia mengenakan jas gelap yang dipadukan dengan kemeja abu tua. Dingin, berwibawa, dan… tidak tersentuh.
Matanya menatapku, kali ini agak lama. Seolah menilai.
Lalu, ia berkata pelan, "Kau terlihat... bisa diterima."
Itu saja.
Tidak ada pujian. Tidak ada ‘kau cantik malam ini’.
Hanya penilaian, seperti mengevaluasi properti.
Aku menelan ludah dan mengikuti langkahnya. Kami masuk ke ruang makan pribadi yang mewah, di mana seorang wanita paruh baya sudah duduk dengan elegan.
Matanya tajam. Dagunya terangkat tinggi.
Dan aku langsung tahu—dia adalah ibunya Grayson.
Wanita itu tersenyum tipis. “Jadi, ini dia istrimu?”
“Eleanor Juliet Hayes,” jawab Grayson datar.
“Nama yang panjang untuk seorang gadis dengan latar belakang sederhana,” gumam wanita itu, setengah sinis.
Aku tersenyum sopan. “Senang bertemu dengan Anda, Madam.”
Dia memandangi wajahku lama, lalu bibirnya melengkung lebih lebar. Tapi senyumnya tak menyentuh matanya.
“Bertahanlah” katanya pelan. “Menjadi istri Grayson... bukan perkara mudah.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku tahu: hidupku akan jauh lebih sulit dari yang kubayangkan.
Sudah tiga hari sejak makan malam itu.
Tiga hari aku tinggal di villa mewah yang dingin dan sunyi. Grayson belum datang lagi. Tak ada kabar, tak ada pesan. Bahkan tidak satu pun orang di rumah ini yang bisa memberitahuku ke mana dia pergi.
Satu-satunya suara yang terdengar hanya derit langkah pelayan yang berjalan cepat, lalu menghilang tanpa suara begitu melihatku.
Aku benar-benar seperti hantu di rumah ini.
Awalnya aku mencoba bersikap tenang. Berpikir bahwa aku hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Tapi hari demi hari, kesunyian berubah menjadi tekanan. Membelenggu. Menghimpit jiwaku perlahan.
Aku mulai tidur larut malam. Duduk di pinggir ranjang, menatap kosong ke jendela. Menunggu sesuatu. Apa pun.
Namun yang datang hanya dingin dan sepi.
Di dapur, seorang pelayan muda memberiku sarapan tanpa berkata sepatah kata pun. Aku mencoba mengajaknya bicara, tapi dia hanya tersenyum kaku lalu pergi. Seolah mereka semua diberi perintah untuk tidak mendekatiku.
Aku tidak tahu apakah ini bagian dari permainan Grayson, atau memang begini dunia barunya—duniaku sekarang.
Sejak malam pernikahan itu, kami belum bicara lebih dari tiga kalimat.
Dan malam itu masih membekas jelas di ingatanku. Cara dia menatapku tanpa gairah. Wajahnya yang tak tergoyahkan. Nada suaranya saat berkata bahwa aku tak perlu berharap apa-apa darinya.
"Ini hanya kontrak. Jangan berpikir yang tidak-tidak."
Kata-kata itu seperti jeruji besi yang terus bergaung di kepalaku.
Sore ini, aku duduk di balkon kamar. Matahari hampir tenggelam, langit berwarna jingga kemerahan. Indah, tapi sama sekali tak menyentuh hatiku.
Aku memeluk lututku, mengenakan sweater besar pemberian pelayan karena angin mulai dingin. Tanganku gemetar ringan. Bukan karena cuaca. Tapi karena hampa yang perlahan menggerogoti.
Aku mulai merasa tidak ada artinya.
Aku tidak dibutuhkan di sini.
Tidak diinginkan.
Dan bagian paling menyakitkan adalah… aku merasa kehilangan diriku sendiri. Eleanor yang dulu ceria, keras kepala, dan selalu tahu apa yang dia inginkan—telah lenyap entah ke mana.
Kini aku hanya gadis muda yang dijual oleh ayah tirinya, lalu dibuang di rumah lelaki yang bahkan tak sudi menyapaku.
Malam itu, aku menatap cermin cukup lama.
Wajahku masih sama. Tapi ada sesuatu di mataku yang berbeda. Redup. Terluka.
Aku meletakkan tangan di atas dada. Rasanya sesak.
Aku ingin menangis.
Tapi air mata seperti sudah habis. Aku hanya bisa duduk diam, merasakan kekosongan yang menggerogoti sedikit demi sedikit.
Keesokan harinya, Grayson pulang.
Suara langkahnya terdengar jelas di koridor saat pelayan buru-buru membuka pintu depan. Aku melihat dari balik celah tirai kamar. Dia masuk dengan jas hitam yang masih rapi, tak tampak lelah meski malam telah larut.
Begitu melihatku berdiri di tangga, dia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan langkahnya ke ruang kerjanya.
Tak ada sapaan.
Tak ada pertanyaan apakah aku baik-baik saja.
Aku berdiri terpaku, merasa seperti bayangan. Tak terlihat. Tak penting.
Beberapa menit kemudian, suara dentingan gelas terdengar dari ruang makan. Rasa ingin tahu mendorongku turun, dan aku melihat Grayson duduk sendiri di meja panjang, makan dalam diam.
Aku memberanikan diri mendekat. Hanya untuk mencoba menjadi istri yang sopan.
"Selamat malam," ucapku lirih.
Grayson tidak mengangkat wajahnya. “Ada yang kau butuhkan?”
Suara dinginnya menamparku lebih keras dari bentakan mana pun.
Aku menggeleng pelan. “Tidak.”
“Kalau begitu, jangan ganggu aku saat makan.”
Aku membeku. Nafasku tercekat. Di dadaku, sesuatu meletup—sesuatu yang sudah lama aku tekan.
Rasa marah.
Rasa kecewa.
Rasa ingin bertanya, “Apa aku sebegitu menjijikkannya bagimu?”
Tapi aku tak sanggup. Kata-kata itu terlalu menyakitkan untuk diucapkan.
Aku mundur pelan, berbalik, dan kembali ke kamar tanpa suara.
Di dalam kamar, aku duduk di lantai.
Untuk pertama kalinya, aku menangis. Bukan karena dijual. Bukan karena menikah paksa.
Tapi karena rasa tak berharga yang perlahan membunuhku dari dalam.
Aku pikir aku cukup kuat.
Aku pikir, setelah semua yang kulalui bersama ayah tiri dan kakak tiriku, aku bisa bertahan di tempat mana pun, bersama siapa pun.
Ternyata aku salah.
Di rumah ini, aku tidak dipukul, tidak dibentak, tidak dikurung. Tapi rasa sepi yang mencekik membuatku merasa seperti dihukum tanpa ampun. Aku tidak tahu apakah lebih baik disakiti secara fisik, atau diabaikan seperti ini.
Karena yang kurasakan sekarang… adalah kehancuran yang perlahan. Tidak terlihat, tapi nyata.
Aku mencoba menyibukkan diri. Membaca buku-buku dari rak besar di ruang tamu, menulis di buku harian yang kubawa dari rumah lama—meski isinya lebih banyak coretan kosong dan kalimat tanpa makna. Aku bahkan mulai berjalan keliling taman setiap pagi, hanya untuk memastikan aku masih bisa menghirup udara luar.
Namun semua itu tetap tak bisa menutupi kehampaan yang semakin menggerogoti dari dalam.
Pagi ini, aku duduk di bangku taman. Matahari baru muncul, tapi tubuhku menggigil.
Ada pelayan laki-laki yang lewat membawa peralatan taman. Dia melirikku sekilas, lalu menunduk dan pergi. Sama seperti yang lain. Mereka semua menghindar. Aku tahu mereka pasti diperintahkan untuk tidak terlalu dekat denganku.
Karena aku bukan siapa-siapa.
Bahkan mungkin, aku lebih buruk dari itu. Aku hanya “barang” yang dibeli oleh tuan mereka. Istri palsu yang tak pernah diinginkan.
Kepalaku menunduk.
Jika aku mati pun, apakah akan ada yang peduli?
Aku menggeleng pelan, berusaha mengusir pikiran gelap itu.
Aku tidak boleh seperti ini. Aku harus bertahan. Untuk diriku sendiri. Karena satu-satunya yang kupunya sekarang hanyalah diriku sendiri.
Malam harinya, aku terbangun karena mimpi buruk. Keringat dingin membasahi punggungku. Nafasku memburu, dan aku menangis dalam diam.
Aku memimpikan masa kecilku. Saat ibuku masih hidup. Saat aku merasa dicintai.
Dalam mimpi itu, ibuku memelukku erat. Hangat. Lalu tiba-tiba semuanya hancur—aku terjatuh ke dalam jurang hitam yang dalam dan tak berujung. Dan tak ada siapa pun yang mencariku.
Saat aku bangun, aku sadar… mimpi itu bukan sekadar mimpi.
Itu adalah kenyataan yang perlahan menjadi bagian dari hidupku di rumah ini.
POV EleanorHari demi hari kami lewati dengan penuh bahagia. Dari sebuah pilihan kecil membuat hidup kami begitu harmonis hingga tak terasa kini telah menginjak satu bulan kami tinggal di New Zealand. Grayson bahkan sudah mulai lihai memasak. Dan aku begitu menikmati masakannya yang nyaris jauh lebih enak dariku.Sinar matahari musim semi menyusup melalui jendela kamar, menyentuh kulitku yang mulai pucat. Aku duduk di tepi ranjang, tanganku refleks mengusap perutku yang masih rata, meski aku tahu di dalam sana ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang kecil, rapuh, tapi menjadi alasan baruku untuk hidup.Aku menatap Grayson yang berdiri tak jauh, sibuk membuka tirai sambil menoleh ke arahku. Wajahnya tampak lebih tenang dibandingkan beberapa minggu lalu, tapi aku tahu di balik matanya selalu ada kegelisahan yang tak pernah sepenuhnya pergi.“Gray…” suaraku lirih.Ia segera menoleh, mendekat, lalu duduk di sampingku. &
POV EleanorSetelah menikah kemarin, Grayson tak memberi jedah untuk kami. Grayson mengatakan ingin memberikanku sebuah hadiah pernikahan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ia menutup mataku dan ia membawaku menaiki sebuah jet pribadi yang sudah siap di halaman meski aku bahkan belum mandi pagi itu.Dan saat kami tiba, Grayson membuka penutup mataku. Sontak aku sangat terkejut. Tempat yang terlalu indah, penuh ketenangan.Aku menutup mulut dengan kedua tanganku.“Selamat datang di New Zealand istriku…” ucap Grayson dengan senyum yang begitu mengembang.Air mataku tak bisa tertahan lagi. Haru dan bahagia semakin tak terbendung lagi.“Gray… ahh terima kasih hadiah pernikahannya…” Aku masih menatap keseluruh penjuru dengan perasaan takjub.“Apa kamu menyukai tempat ini?”“Yah! Tentu…” mataku masih berkaca-kaca“Kalau be
POV EleanorUdara sore di luar kapel kecil itu terasa tenang, seolah angin pun menahan napas menyaksikan momen yang akan datang. Kapel tua di atas bukit yang dibelakangnya ada pantai yang indah, jauh dari hiruk pikuk dunia mafia, berdiri sederhana namun anggun. Dinding batu putih yang sudah berlumut tetap berdiri kokoh, sementara cahaya matahari senja menembus kaca patri, memantulkan warna merah dan emas di dalam ruangan.Aku—Eleanor—berdiri di depan cermin tinggi dengan gaun putih cantik nan elegant. Tidak ada kemewahan berlebihan, hanya renda lembut yang membalut tubuhku. Tanganku bergetar saat menyentuh kaca, seolah aku belum percaya bahwa hari ini akhirnya tiba.Suara pelan terdengar di pintu. “Eleanor…” Itu suara Clara. Ia masuk perlahan, mengenakan gaun biru gelap yang anggun. Tatapannya melembut saat melihatku. “Kau terlihat… indah. Bahkan lebih indah daripada yang bisa kubayangkan.”
POV GraysonSetelah rapat dengan Vincent, Clara, dan Damien berakhir, aku duduk sendirian di ruang kerja. Lampu meja menyinari berkas-berkas yang berserakan, tapi pikiranku tak lagi berada pada dokumen atau strategi. Jemariku berhenti di atas layar ponsel. Nomor yang sudah lama tersimpan, tapi jarang sekali kugunakan.Nomor ibuku.Aku menarik napas panjang, menekan tombol panggil. Suara sambungan terdengar, dan detik-detik itu terasa seperti menunggu vonis.“Gray?” suara ibuku akhirnya terdengar, lembut, hangat, tapi juga penuh keheranan. “Hallo sayang... tumben kamu telfon ibu, ada apa sayang?”Aku menutup mata sejenak, mencoba menahan gejolak emosi. “Ibu… aku ingin kau datang besok.”“Besok?” suaranya terdengar bingung. “Untuk apa? Kau jarang mengundangku mendadak seperti ini.” Ada jeda singkat sebelum ia menambahkan dengan nada lebih curiga. “Apakah
POV GraysonRuang kerja di vila terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan deras menghantam jendela, seakan ikut menekan suasana tegang yang menggantung di udara. Di hadapanku, Vincent, Clara, dan Damien duduk dengan wajah serius. Peta wilayah, laporan finansial, dan catatan aliansi mafia tersebar di atas meja besar dari kayu. Semua mata tertuju padaku, menunggu keputusan.Vincent yang pertama membuka suara, nadanya tenang tapi penuh desakan.“Gray, ini bukan sekadar tentang kita. Sisa loyalis Moretti dan Castel masih aktif. Mereka mulai bergerak di pelabuhan Marseille dan Nice. Kalau kita biarkan, mereka akan bangkit lagi. Kita butuh strategi untuk menekan mereka sekarang juga.”Clara menambahkan, nada dinginnya seperti pisau.“Kau sudah lihat sendiri, Verena jatuh bukan berarti ideologinya mati. Orang-orang itu masih mengibarkan nama Castel. Kalau kau mundur, mereka akan menafsirkan itu sebagai kelemahan. Dan kelemaha
POV EleanorGrayson duduk di sofa, wajahnya serius tapi tatapannya tak pernah lepas dariku. Di antara cahaya lampu yang redup, aku bisa melihat sisa-sisa luka di tangannya—goresan pedang, lebam, dan bekas darah yang belum sepenuhnya hilang meski sudah dibersihkan. Tangannya itu, yang pernah membuatku ketakutan, kini justru menjadi tempat di mana aku merasa paling aman.Aku menarik napas pelan, menahan perasaan campur aduk yang terus menggelayut.“Grayson… apa kau benar-benar yakin dengan semua ini?” suaraku bergetar. “Setelah semua yang terjadi… aku takut, kalau aku hanya akan menjadi bebanmu lagi.”Grayson tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tanganku, menatap setiap jemariku yang masih penuh bekas memar, lalu mengangkatnya ke bibirnya.“Eleanor, dengarkan aku,” katanya pelan, namun tegas. “Kau bukan beban. Kau adalah alasan kenapa aku mas