Aku berjalan ke jendela. Memandang lampu-lampu di kejauhan. Bertanya-tanya apakah di luar sana ada seseorang yang pernah merasakan kesepian seperti ini.
Tanganku meremas pinggiran gaun tidur yang kukenakan.
Kalau aku terus hidup seperti ini… apa aku bisa waras?
Keesokan paginya, aku memberanikan diri ke ruang makan lebih awal. Hanya untuk mencoba berbicara lagi dengan Grayson jika dia muncul.
Namun yang kutemui bukan dirinya—melainkan Melissa.
Kakak tiriku.
Dia duduk di kursi ruang makan, menyilangkan kaki dengan angkuh. Gaun hitam ketat membalut tubuhnya yang ramping, dan senyum menyebalkan itu masih seperti dulu.
Melissa tersenyum setengah mengejek. Matanya menelusuri wajahku seakan mencari kelemahan, seperti seorang pemburu yang tak sabar ingin mengoyak mangsanya.
“Pagi, adikku yang beruntung,” katanya dengan nada mengejek. “Wah, kau tampak… pucat. Kau sepertinya belum di sentuh oleh Grayson ya?”
Aku membeku di tempat. Jantungku berdegup keras. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Melissa mengangkat alisnya. ““Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” katanya manis, padahal nadanya menampar.
Aku berusaha mengatur napas. “Kau tidak diundang ke sini. Ini rumah suamiku.”
Dia terkekeh. “Suamimu? Oh, Eleanor, kau sungguh cepat merasa memiliki. Grayson tidak pernah benar-benar menginginkanmu, sayang. Kau hanyalah solusi sementara untuk tekanan ibunya. Dan ketika dia bosan, kau akan dibuang seperti boneka rusak.”
Kata-katanya menusuk, tapi aku menahannya. Tidak boleh membiarkannya menang hari ini.
“Lalu kenapa kau di sini?” tanyaku pelan. “Kau benci tempat ini, kau benci semua tentangku. Jadi apa sebenarnya yang kau inginkan?”
Melissa tersenyum tipis, lalu berjalan melewatiku menuju ruang tamu. Aku mengikuti di belakang, dengan langkah hati-hati.
“Grayson memintaku datang. Kami memiliki proyek yang sedang dibahas bersama. Kau tahu… investasi internasional, hal-hal yang terlalu rumit untuk kau pahami.” Dia duduk di sofa kulit hitam dan menyilangkan kaki dengan anggun. “Tapi aku terkejut melihat betapa… menyedihkannya kau. Serius, Eleanor. Bahkan seorang pelacur pun bisa terlihat lebih berkelas darimu.”
Aku menggigit bibir bawahku. Napasku bergetar.
“Jika kau ingin menghina, lakukan di luar rumahku,” ucapku akhirnya, berusaha menahan diri. Tapi suaraku terdengar bergetar.
Melissa tertawa keras. “Rumahmu? Sayang… jangan lupa siapa pemilik nama di kontrak rumah ini. Kau hanya tamu yang kebetulan sedang beruntung karena pria itu membelimu.”
Langkah kaki berat terdengar dari arah lorong. Grayson.
Melissa langsung berdiri, ekspresinya berubah cepat menjadi anggun dan manis. “Grayson! Akhirnya. Aku sudah menunggumu,” katanya dengan nada lembut yang menjijikkan.
Aku menoleh dan melihat pria itu berdiri di ambang pintu, jas hitam sempurna membalut tubuhnya, wajahnya dingin seperti biasanya. Matanya menatap ke arah kami berdua, lalu berhenti sebentar padaku—hanya sebentar—sebelum beralih ke Melissa.
“Ruang kerja. Sekarang,” katanya singkat, dan berbalik tanpa menunggu.
Melissa menatapku dengan senyum penuh kemenangan sebelum menyusul Grayson masuk ke ruang kerja. Aku hanya berdiri terpaku.
Ada perasaan asing di dadaku. Panas, menusuk, dan menyakitkan.
Cemburu.
Tapi bagaimana mungkin aku cemburu pada pria yang bahkan tak pernah menyentuhku?
Aku berjalan perlahan ke dapur dan mengambil segelas air. Tanganku bergetar saat menuangkannya.
Tenang, Eleanor. Ini hanya permainan. Kau tidak boleh larut.
Tapi aku tahu, aku mulai rapuh.
Beberapa jam kemudian, Melissa keluar dari ruang kerja Grayson. Senyumnya masih melekat, dan kini dia memandangku dengan puas. “Kami sudah menyelesaikan urusan kami. Tapi jangan khawatir, aku akan sering ke sini mulai sekarang. Grayson bilang proyek kami akan berlangsung beberapa bulan ke depan.”
Dia berjalan ke arahku dan membisikkan di telingaku, “Kau sebaiknya berhati-hati. Dunia mafia itu bukan untuk wanita lemah sepertimu. Jangan sampai kau menjadi korban dalam permainan yang tak kau pahami.”
Aku menatapnya. “Lebih baik jadi korban daripada pemangsa yang tak punya hati sepertimu.”
Dia hanya tertawa kecil dan pergi, meninggalkanku sendiri dengan gumpalan emosi yang tak bisa kuluapkan.
Malamnya, aku duduk di balkon kamarku. Angin malam berembus lembut, tapi hatiku tetap bergolak.
Grayson tak muncul untuk makan malam.
Kupikir aku sudah terbiasa diabaikan. Tapi malam ini terasa berbeda. Ada sesuatu dalam tatapan Melissa… sesuatu yang membuatku merasa benar-benar sendirian. Seolah-olah dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Seolah Grayson bukan hanya tak peduli—tapi juga punya agenda lain yang melibatkan kakakku itu.
Tanganku meremas pegangan kursi. Aku harus kuat.
Tapi bagaimana bisa aku bertahan, jika satu-satunya hal yang kubanggakan—martabatku—terus diinjak-injak oleh semua orang?
Aku menarik napas dalam-dalam, dan mengeluarkannya perlahan. Menatap langit malam.
Di tempat ini, aku seperti tahanan. Tapi bukan hanya di rumah ini… aku adalah tahanan dari masa lalu, dari dendam, dari cinta yang tak pernah kupunya.
Dan sekarang… mungkin aku harus mulai membuat rencana. Untuk diriku sendiri. Untuk keluar dari dunia yang terus berusaha menjatuhkanku.
Jika Grayson tidak akan pernah mencintaiku, maka aku harus belajar mencintai diriku sendiri lebih dulu.
Apa pun yang terjadi selanjutnya.
Aku tidak tahu apa yang lebih menyesakkan: suara Melissa yang terus menertawakanku, atau diamnya Grayson yang seperti tak menganggapku ada. Sudah tiga hari sejak wanita itu datang ke vila ini dan membuat segalanya semakin tak nyaman. Tapi Grayson, seperti biasa, hanya muncul sekilas seperti bayangan dan menghilang tanpa jejak.
Hari ini, vila terasa lebih sepi. Melissa entah ke mana, dan Grayson tak terlihat sejak pagi. Aku berjalan menyusuri lorong. Tak tahu kenapa, kakiku membawaku ke dekat ruang kerja pria itu.
Pintunya sedikit terbuka.
Aku tahu aku tidak seharusnya masuk. Tapi rasa ingin tahu menyeret langkahku.
Di dalam ruangan, aroma kayu tua dan parfum maskulin memenuhi udara. Di balik rak besar, aku melihat sebuah meja dengan bingkai foto kecil. Tanganku bergerak untuk melihat lebih dekat.
Namun sebelum sempat aku menyentuh benda itu, suara yang dingin dan tajam menghentikanku.
“Kau memang tidak tahu aturan, ya?”
Tubuhku membeku. Jantungku berdetak lebih cepat, bukan karena takut tertangkap, tapi karena nada suara itu—tajam seperti pisau yang baru diasah.
Grayson berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam dengan beberapa kancing atas terbuka. Tatapannya menusuk.
“Aku hanya—”
“Diam.” Satu kata itu membuatku membisu.
Ia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan mendekat. Suara sepatunya menggema di lantai kayu.
“Kau pikir karena sudah kuberi tempat tinggal dan makanan, kau bisa menyentuh barang-barangku?”
Aku menunduk, menahan amarah dan rasa malu. “Maaf.”
“Maaf?” Dia mencibir. “Kau pikir permintaan maaf bisa memperbaiki kebodohan?”
Aku mengepalkan tangan. Ingin membalas. Tapi tak ada gunanya.
“Aku tidak tahu kalau foto itu penting,” gumamku akhirnya.
“Karena itu kau tak seharusnya menyentuh apa pun,” katanya tajam. “Kau bukan siapa-siapa di rumah ini, Eleanor. Jangan lupa statusmu. Kau hanya... tumbal dari ayah bajinganmu.”
POV EleanorHari demi hari kami lewati dengan penuh bahagia. Dari sebuah pilihan kecil membuat hidup kami begitu harmonis hingga tak terasa kini telah menginjak satu bulan kami tinggal di New Zealand. Grayson bahkan sudah mulai lihai memasak. Dan aku begitu menikmati masakannya yang nyaris jauh lebih enak dariku.Sinar matahari musim semi menyusup melalui jendela kamar, menyentuh kulitku yang mulai pucat. Aku duduk di tepi ranjang, tanganku refleks mengusap perutku yang masih rata, meski aku tahu di dalam sana ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang kecil, rapuh, tapi menjadi alasan baruku untuk hidup.Aku menatap Grayson yang berdiri tak jauh, sibuk membuka tirai sambil menoleh ke arahku. Wajahnya tampak lebih tenang dibandingkan beberapa minggu lalu, tapi aku tahu di balik matanya selalu ada kegelisahan yang tak pernah sepenuhnya pergi.“Gray…” suaraku lirih.Ia segera menoleh, mendekat, lalu duduk di sampingku. &
POV EleanorSetelah menikah kemarin, Grayson tak memberi jedah untuk kami. Grayson mengatakan ingin memberikanku sebuah hadiah pernikahan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ia menutup mataku dan ia membawaku menaiki sebuah jet pribadi yang sudah siap di halaman meski aku bahkan belum mandi pagi itu.Dan saat kami tiba, Grayson membuka penutup mataku. Sontak aku sangat terkejut. Tempat yang terlalu indah, penuh ketenangan.Aku menutup mulut dengan kedua tanganku.“Selamat datang di New Zealand istriku…” ucap Grayson dengan senyum yang begitu mengembang.Air mataku tak bisa tertahan lagi. Haru dan bahagia semakin tak terbendung lagi.“Gray… ahh terima kasih hadiah pernikahannya…” Aku masih menatap keseluruh penjuru dengan perasaan takjub.“Apa kamu menyukai tempat ini?”“Yah! Tentu…” mataku masih berkaca-kaca“Kalau be
POV EleanorUdara sore di luar kapel kecil itu terasa tenang, seolah angin pun menahan napas menyaksikan momen yang akan datang. Kapel tua di atas bukit yang dibelakangnya ada pantai yang indah, jauh dari hiruk pikuk dunia mafia, berdiri sederhana namun anggun. Dinding batu putih yang sudah berlumut tetap berdiri kokoh, sementara cahaya matahari senja menembus kaca patri, memantulkan warna merah dan emas di dalam ruangan.Aku—Eleanor—berdiri di depan cermin tinggi dengan gaun putih cantik nan elegant. Tidak ada kemewahan berlebihan, hanya renda lembut yang membalut tubuhku. Tanganku bergetar saat menyentuh kaca, seolah aku belum percaya bahwa hari ini akhirnya tiba.Suara pelan terdengar di pintu. “Eleanor…” Itu suara Clara. Ia masuk perlahan, mengenakan gaun biru gelap yang anggun. Tatapannya melembut saat melihatku. “Kau terlihat… indah. Bahkan lebih indah daripada yang bisa kubayangkan.”
POV GraysonSetelah rapat dengan Vincent, Clara, dan Damien berakhir, aku duduk sendirian di ruang kerja. Lampu meja menyinari berkas-berkas yang berserakan, tapi pikiranku tak lagi berada pada dokumen atau strategi. Jemariku berhenti di atas layar ponsel. Nomor yang sudah lama tersimpan, tapi jarang sekali kugunakan.Nomor ibuku.Aku menarik napas panjang, menekan tombol panggil. Suara sambungan terdengar, dan detik-detik itu terasa seperti menunggu vonis.“Gray?” suara ibuku akhirnya terdengar, lembut, hangat, tapi juga penuh keheranan. “Hallo sayang... tumben kamu telfon ibu, ada apa sayang?”Aku menutup mata sejenak, mencoba menahan gejolak emosi. “Ibu… aku ingin kau datang besok.”“Besok?” suaranya terdengar bingung. “Untuk apa? Kau jarang mengundangku mendadak seperti ini.” Ada jeda singkat sebelum ia menambahkan dengan nada lebih curiga. “Apakah
POV GraysonRuang kerja di vila terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan deras menghantam jendela, seakan ikut menekan suasana tegang yang menggantung di udara. Di hadapanku, Vincent, Clara, dan Damien duduk dengan wajah serius. Peta wilayah, laporan finansial, dan catatan aliansi mafia tersebar di atas meja besar dari kayu. Semua mata tertuju padaku, menunggu keputusan.Vincent yang pertama membuka suara, nadanya tenang tapi penuh desakan.“Gray, ini bukan sekadar tentang kita. Sisa loyalis Moretti dan Castel masih aktif. Mereka mulai bergerak di pelabuhan Marseille dan Nice. Kalau kita biarkan, mereka akan bangkit lagi. Kita butuh strategi untuk menekan mereka sekarang juga.”Clara menambahkan, nada dinginnya seperti pisau.“Kau sudah lihat sendiri, Verena jatuh bukan berarti ideologinya mati. Orang-orang itu masih mengibarkan nama Castel. Kalau kau mundur, mereka akan menafsirkan itu sebagai kelemahan. Dan kelemaha
POV EleanorGrayson duduk di sofa, wajahnya serius tapi tatapannya tak pernah lepas dariku. Di antara cahaya lampu yang redup, aku bisa melihat sisa-sisa luka di tangannya—goresan pedang, lebam, dan bekas darah yang belum sepenuhnya hilang meski sudah dibersihkan. Tangannya itu, yang pernah membuatku ketakutan, kini justru menjadi tempat di mana aku merasa paling aman.Aku menarik napas pelan, menahan perasaan campur aduk yang terus menggelayut.“Grayson… apa kau benar-benar yakin dengan semua ini?” suaraku bergetar. “Setelah semua yang terjadi… aku takut, kalau aku hanya akan menjadi bebanmu lagi.”Grayson tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tanganku, menatap setiap jemariku yang masih penuh bekas memar, lalu mengangkatnya ke bibirnya.“Eleanor, dengarkan aku,” katanya pelan, namun tegas. “Kau bukan beban. Kau adalah alasan kenapa aku mas