Keesokan paginya, Damien mengetuk pintu kamarku lebih awal dari biasanya. Aku membukakan pintu dengan mata sayu. Dia menatapku agak lama.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk. “Kurang tidur.”
Matanya menyipit. Tapi dia tidak memaksa.
“Ada pergerakan baru dari jaringan luar. Sepertinya Melissa menyebarkan beberapa informasi palsu. Aku sedang mengkroscek. Mungkin kau bisa bantu menelaah pola kata. Kau tahu gaya bahasanya.”
Aku mengangguk lagi. “Tentu. Kirim saja ke tabletku.”
Dia hendak pergi, tapi sempat menoleh lagi.
“Kalau kau mulai merasa... tidak biasa... beritahu aku. Segera.”
Aku menatapnya dalam. “Apa aku terlihat seperti orang yang tidak biasa?”
Dia tidak menjawab. Tapi matanya bicara.
Ya.
Dan itu cukup membuat hatiku bergemuruh.
Tablet itu menyala di tanganku, menampilkan pesan-pesan digit
Udara dini hari terasa berat, seolah dinding vila menyerap bau besi dari darah yang masih menempel di lorong bawah tanah. Aku berjalan sendirian di sepanjang koridor yang diterangi lampu redup. Setiap langkahku menggema, membawaku semakin dekat ke ruang bawah tempat Leonardo Castel dikurung.Aku berhenti di depan pintu baja. Dua penjaga berdiri tegak di sisi kanan dan kiri, wajah mereka tegang. Mereka memberi hormat singkat sebelum membuka pintu.Ruangan itu dingin, lembap, dan hanya diterangi satu lampu gantung kecil. Leonardo duduk di kursi besi dengan tangan terikat rantai, kepalanya tertunduk. Darah kering menodai bajunya, tapi matanya masih menyala penuh perlawanan saat ia menoleh menyadari kehadiranku.“Kau seharusnya membunuhku tadi malam,” katanya serak, suaranya seperti pisau yang diseret di lantai. “Membiarkan aku hidup hanya akan jadi kutukan bagimu, Eleanor.”Aku melangkah pelan, menahan gemuruh dadaku. “Tidak. Ak
Langkah kakiku berlari cepat menyusuri lorong utama vila, napas berat berpacu dengan suara tembakan di lantai bawah. Grayson bergerak ke arah tim barat bersama Vincent dan dua orang lainnya. Aku ditugasi menjaga sisi timur koridor atas bersama tiga orang penjaga. Tapi sekarang hanya satu yang tersisa di dekatku. Dua lainnya jatuh saat masuknya pasukan elite Verena lewat loteng.Lampu gantung di langit-langit bergoyang cepat dan bayang-bayang berlari di dinding. Aku mengecek magazine pistolku—tersisa empat peluru. Darahku dingin, tapi pikiranku tetap tajam.“Jangan turun tangan sampai aku beri aba-aba.” Kataku ke penjaga di sebelahku. Lelaki itu mengangguk, keringat menetes dari pelipisnya.Langkah kaki di karpet… tiga orang. Mungkin empat. Sedang mendekat di ujung lorong. Aku menempel ke dinding, jangankan napas, detak jantung pun terasa terlalu keras.Tiba-tiba sosok laki-laki tinggi muncul di belokan. Rambut pirangnya dipotong p
Udara dini hari terlalu tenang. Seolah dunia menahan napas sebelum badai tiba. Dari balkon kamarku, aku bisa melihat langit pekat tanpa bintang, hanya awan gelap yang menggantung berat. Vila Grayson tampak seolah benteng tua—sunyi, namun penuh nyawa yang berjaga.Clara melapor lewat radio bahwa pos penjaga barat mencium pergerakan mencurigakan sejak pukul dua pagi. Tidak ada penembakan, tidak ada suara kendaraan. Tapi anjing-anjing penjaga tidak berhenti menggonggong sejak satu jam lalu.“Ada sesuatu yang tak biasa,” katanya dengan suara pelan namun waspada.Aku berdiri di balik kaca jendela, mengenakan pakaian tempur ringan, rambut diikat kencang. Di belakangku, Grayson sedang menyelesaikan panggilan radio dengan Vincent. Wajahnya gelap, rahangnya mengeras. Ia tahu—kita semua tahu—apa arti dari keheningan malam seperti ini.“Perangkap telah dipasang. Tapi kita belum tahu ke mana mereka akan masuk,” gumam Grayson.
Kami duduk rapat di depan layar. Video diputar ulang dari momen ketika baku tembak baru dimulai di gudang Nice. Melissa tampak berlari ke pojok gudang. Grayson dan aku tertahan oleh tembakan dari lawan. Dua menit yang awalnya kami pikir ia gunakan untuk selamat… kini menjadi titik paling mencurigakan.Pada detik ke-23, Melisa bersembunyi di balik pilar samping. Ia menurunkan tubuh, dan tangannya menggenggam sesuatu kecil dari balik mantel hitamnya—benda berkilau seperti logam tipis.Clara membesarkan gambarnya. “Zoom ke bibirnya.”Terdengar suara Vincent menambah tingkat resolusi video. Bibir Melissa bergerak… bukan seperti menghela napas, tapi mengucap kalimat pendek – ia menunjukkan gerakan konsonan yang jelas tiga suku kata.Clara berbisik, “Kode suku kata tiga huruf… I-LY…?” Ia menyesuaikan filter. “Dia mengucapkan ‘Ivy’ atau ‘Lily’.”Aku menegan
Aku tak pernah menyangka bahwa melangkah di antara lorong vila sendiri bisa terasa seperti berjalan di medan perang. Setiap suara derit lantai kayu, setiap helaan napas penjaga, seolah menjadi penanda bahwa sesuatu sedang diawasi—atau sedang menunggu pecah.Langkahku pelan menyusuri koridor menuju kamar Melissa. Dua penjaga bersenjata berdiri di ujung lorong, seolah menjaga tahanan bernilai tinggi, meski Melissa tidak pernah diborgol atau dikurung dalam ruangan gelap. Grayson ingin menjaganya tetap merasa bebas, agar pengkhianatan—jika memang ada—muncul dengan sendirinya.Aku membawa dua cangkir teh panas dalam nampan, dan kuketuk pintu ringan.“Melissa?” suaraku tenang, nyaris terlalu ramah.Butuh tiga detik sebelum pintu terbuka. Melissa masih mengenakan kaus putih longgar dan celana santai, rambutnya dikuncir seadanya. Tapi bukan penampilannya yang menarik perhatianku, melainkan mata itu—mata yang mencoba membaca mak
Cahaya pagi menyelinap lewat tirai kamar yang masih tertutup sebagian. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, aku bangun tanpa rasa sesak di dada. Dan itu membuatku justru takut.Grayson masih tertidur di sampingku. Napasnya teratur, satu lengannya masih melingkar di pinggangku seolah tubuhku bisa menghilang kapan saja jika ia melepaskannya. Jejak semalam masih tertinggal di kulitku – bukan luka, melainkan bekas ciuman dan genggaman yang membuatku mengingat siapa aku bagi dia, dan siapa dia bagiku.Kupandangi wajahnya beberapa detik; garis rahang keras itu, alis yang seolah selalu menahan beban terlalu berat, serta bekas luka samar di pelipisnya – hadiah lama dari dunia kekerasan yang membesarkannya.Aku menggeser pelan tanpa membangunkannya. Saat kakiku menyentuh lantai kayu yang dingin, tubuhku seperti diingatkan kembali bahwa dunia di luar kamar ini belum selesai berperang.Kupakai baju dan merapikan rambut seadanya sebelum melangkah kelu