"Jadi begitu… Melissa mulai menunjukkan taringnya." Dia berjalan ke meja, menuang bourbon ke dalam gelas kristal, lalu meneguknya sekali teguk.
"Rafael Vega adalah seorang eksekutor berdarah dingin. Dulu dia anak didikku. Sekarang… dia musuhku."
Aku menegakkan tubuh. "Dan Melissa? Kenapa dia terlibat?"
Grayson menatapku dari balik gelasnya. "Karena dia serakah. Karena dia ingin menggantikanmu."
Perutku terasa mual. Aku tahu Melissa membenciku, tapi aku tak menyangka dia akan sejauh ini.
"Aku hanya beban dalam pernikahan ini, bukan? Jadi kenapa... kenapa aku dipertahankan?" tanyaku lirih.
Grayson meletakkan gelasnya dengan suara denting kecil. Lalu dia mendekat di hadapanku. Untuk pertama kalinya, dia menatapku bukan dengan kebencian atau dingin, tapi... seolah sedang menilai sesuatu yang belum dia pahami.
"Kau belum mengerti posisimu, Eleanor. Kau bukan hanya istri kontrak. Kau adalah perisai. Sasaran. Dan entah bagaimana... kau juga jadi titik lemah yang tak kuinginkan."
Dadaku sesak. Kalimat terakhir itu seperti duri di tenggorokan.
"Jadi kau biarkan aku di sini... untuk dimanfaatkan dan dihancurkan?" bisikku.
Dia mengangkat wajahku dengan satu jari di bawah daguku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya.
"Belajar bertahan, Eleanor. Dunia ini bukan dongeng. Ini medan perang. Dan jika kau tak ingin menjadi mayat pertama yang kuangkat sebagai pelajaran... sebaiknya mulai sekarang kau belajar bagaimana cara menyerang balik."
**
Pagi itu suara langkah Eleanor menyapu lantai marmer yang dingin saat ia menuruni anak tangga, tanpa alas kaki, tanpa suara. Sudah dua malam Grayson tidak pulang ke vila. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan.
Di dalam dirinya, kekhawatiran dan rasa takut saling berkejaran.
Ia bukan lagi Eleanor yang bebas dan bermimpi. Sekarang, ia adalah istri seorang bos mafia. Tapi hanya istri di atas kertas.
Eleanor berdiri di lorong panjang menuju ruang tamu saat suara pintu ruang kerja terbuka. Terdengar suara Grayson. Kasar dan penuh kemarahan.
“Jangan bicara padaku soal alasan! Dua kontainer hilang. Itu artinya dua juta dolar melayang begitu saja!”
Langkah Eleanor terhenti. Nafasnya tertahan.
“Apa kau pikir Antonio Moretti akan berhenti hanya karena kita membiarkannya bermain-main di selatan?!” Grayson membanting meja. Eleanor tersentak.
Antonio Moretti? Siapa itu?
“Kalau kalian gagal amankan pengiriman minggu depan, habisi diri kalian sebelum aku melakukannya.”
Eleanor mundur perlahan, berbalik arah, berlari ke kamarnya dengan langkah ringan namun tergesa. Jantungnya berdebar seperti genderang perang.
Apa dia baru saja mendengar... ancaman pembunuhan?
Apa benar dunia Grayson adalah dunia darah dan senjata?
Pagi harinya, seorang wanita paruh baya membawakan sarapan dan sepasang pakaian olahraga hitam ke kamarnya.
“Tuan Blake menyuruh saya menyampaikan. Anda akan memulai pelatihan hari ini.”
“Pelatihan?” Eleanor menatap wanita itu dengan bingung. “Untuk apa?”
“Saya hanya menyampaikan, Nona. Pelatih Anda sudah menunggu di lapangan belakang.”
Eleanor memandangi pakaian itu. Bahannya elastis, pas untuk pertarungan atau olahraga berat. Ia menggigit bibir. Tak ada pilihan.
Damien Wolfe berdiri dengan tangan terlipat, mengenakan kaos hitam dan celana kargo. Sorot matanya tajam, hampir tak berkedip saat Eleanor melangkah pelan ke arahnya. Tubuhnya tinggi dan berotot, namun yang paling mencolok adalah aura tenangnya—seperti binatang buas yang sedang menunggu waktu menyerang.
“Eleanor Juliet Hayes,” gumam Damien. “Akhirnya bertemu juga.”
“Dan Anda?” tanya Eleanor kaku.
“Damien Wolfe. Pelatih bertahan hidup. Ditugaskan langsung oleh Grayson Oliver Blake untuk memastikan Anda tidak... terbunuh.”
Nada suaranya seperti tidak menganggap itu penting. Namun tatapan matanya tidak main-main.
Eleanor mencibir. “Saya tidak berada dalam film laga, Tuan Wolfe.”
“Belum. Tapi mungkin akan segera.”
Satu jam kemudian, Eleanor tersungkur ke rumput setelah gagal melepaskan diri dari gerakan dasar. Nafasnya memburu. Tangannya kotor dan lututnya memar.
“Kau terlalu lambat. Dan terlalu takut,” kata Damien, tanpa belas kasihan.
Eleanor menatap tajam. “Saya tidak takut.”
“Kau belum tahu apa yang harus ditakuti.”
Ia mengulurkan tangan, namun Eleanor menepisnya dan berdiri sendiri. Sorot matanya mulai berubah. Ia mulai mengerti—ini bukan sekadar latihan. Ini... persiapan perang.
Dari lantai atas vila, Grayson berdiri membelakangi jendela kamarnya. Ia menatap latihan di bawah. Eleanor terjatuh, bangkit lagi. Terjatuh, bangkit lagi.
Dan pria itu—Damien Wolfe—terlalu dekat.
Grayson mengepalkan rahang. Entah kenapa, pemandangan itu mengganggunya.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh ke meja, menatap laporan intelijen yang belum sempat ia baca.
“Moretti mulai mendekati pelabuhan utara,” gumamnya. “Brengsek licik.”
Tapi pikirannya kembali teralihkan ke halaman belakang.
Ke wajah Eleanor yang bersimbah keringat.
Dan tangan Wolfe yang tadi nyaris menyentuh pinggangnya saat menstabilkan gerakan.
“Jaga jarakmu, Wolfe,” gumam Grayson rendah.
Tapi bahkan dirinya pun tidak menyadari—itu bukan perintah sebagai bos mafia.
Itu... rasa tidak suka. Sebuah rasa yang belum bisa ia pahami.
Saat malam turun, Eleanor duduk sendirian di balkon kamarnya. Kakinya digantung ke bawah, tangan memegang segelas air. Bahu dan lengannya pegal. Tubuhnya lelah. Tapi pikirannya lebih berat dari tubuhnya.
Grayson menyuruh orang melatihnya.
Mengapa?
Apakah karena ia sedang membawanya ke dalam konflik?
Apakah hidupnya benar-benar terancam?
Dan… apakah Grayson peduli jika dirinya mati?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, tak berjawab.
Namun satu hal mulai jelas—dunia pria itu tidak sesederhana janji "tidak akan menyentuh" yang dulu ia berikan.
Dunia pria itu gelap.
Dan Eleanor kini berada tepat di tengahnya.
Eleanor menatap bayangannya di cermin setelah mandi, tubuhnya penuh memar biru muda di beberapa titik. Pelatihan barusan membuatnya sadar betapa lemahnya ia selama ini.
Ia bukan perempuan yang bisa melawan apa pun. Bahkan melawan nasib pun ia gagal.
Duduk di pinggir ranjang, ia mengelus luka kecil di sikunya, lalu memejamkan mata. Suara Grayson yang ia dengar semalam kembali bergema di kepalanya. Tentang perdagangan senjata. Tentang nama Antonio Moretti. Tentang pembunuhan.
Dan tentang dirinya yang kini dilatih bertahan hidup. Bukan karena dia penting, bukan karena Grayson peduli.
Tapi karena perempuan ini adalah satu-satunya aset yang bisa menjadi pengalih perhatian. Tameng.
Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di meja berdering. Nomor tidak dikenal. Ia ragu sejenak, lalu mengangkat.
“Halo?”
“Hati-hati dengan siapa pun yang mendekatimu, Eleanor Hayes.”
Suaranya berat, terdistorsi, seperti sengaja disamarkan. Eleanor langsung berdiri, jantungnya melompat.
“Siapa ini?!”
“Jangan percaya siapa pun. Bahkan dia yang paling sering kau lihat setiap pagi.”
Klik. Sambungan terputus.
Eleanor terdiam. Napasnya sesak.
Tangannya gemetar saat meletakkan ponsel. Kalimat barusan seperti peringatan kematian. Apakah itu ancaman? Atau peringatan sungguhan?
Dan siapa yang paling sering ia lihat setiap pagi? Damien?
Atau justru... seseorang dari dalam rumah ini?
Udara malam menusuk kulit saat Eleanor membuka jendela dan menatap langit yang tak berbintang. Vila itu terlalu sepi. Terlalu mencekam.
Dan untuk pertama kalinya… Eleanor sadar bahwa yang mengintainya bukan hanya kegelapan.
Tapi juga bahaya yang mungkin mengenal namanya terlalu baik.
Pagi datang tanpa permisi. Cahaya matahari menembus tirai kamar dan menyentuh wajahku, tapi rasa letih di tubuhku belum ikut pergi. Aku belum benar-benar tidur tadi malam. Setelah ketukan misterius itu, aku hanya terbaring, terjaga dalam gelap, menunggu suara lain… yang tak pernah datang.Kepalaku berat. Tapi bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena satu hal: aku tidak tahu siapa yang sedang mempermainkanku.Pesan misterius. Pisau berukir namaku. Dan sekarang, ketukan di pintu kamar. Semua itu seperti potongan teka-teki yang belum bisa kususun.Apakah aku hanya paranoid?Atau benar-benar ada mata yang terus mengikuti ke mana aku melangkah?Di lapangan belakang, Damien sudah menungguku. Hari ini, aku datang lebih lambat dari biasanya. Kaki kiriku sedikit keseleo, tapi aku tetap datang.“Kenapa terlambat?” tanyanya tanpa basa-basi.Aku menarik napas. “Kaki kiri bermasalah.”Dia hanya menganggu
Damien meninggalkan kamarku tak lama kemudian, dan saat pintu tertutup, aku merasa seluruh tubuhku diselimuti tekanan yang tak bisa dijelaskan. Ini bukan hanya tentang pelatihan atau pernikahan yang dipaksakan.Ini tentang bertahan di tengah dunia yang bisa membunuh dalam senyap.Dan aku harus belajar membaca siapa yang menggenggam pisau di balik senyuman.Di ruang bawah tanah vila, Grayson duduk sendirian dengan rokok menyala di jarinya. Di hadapannya, laptop menampilkan rekaman kamera keamanan yang baru saja dia unduh.Wajah Eleanor muncul di layar. Lelah. Tapi tatapan matanya mulai berbeda. Bukan lagi ketakutan—melainkan waspada.Damien juga muncul. Terlalu dekat. Terlalu sering menatapnya.Grayson menghembuskan asap rokok, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. Dia tidak suka perasaan ini. Tidak suka ketika seseorang berada terlalu dekat dengan miliknya—meski ia tak pernah menyentuh, bahkan nyaris tak berbicara dengan wanita itu.Dia menatap layar lama. Matanya menyipit saat melihat El
Matahari belum sepenuhnya terbit saat aku tiba di lapangan belakang. Rumput masih basah oleh embun, udara dingin menggigit kulitku, tapi langkahku tak ragu.Tubuhku masih pegal sejak latihan kemarin—pundak kaku, lengan penuh memar, dan perut seperti tertinju berkali-kali. Tapi aku datang lebih awal. Bukan karena aku rajin, melainkan karena satu hal sederhana: aku ingin hidup.Damien Wolfe sudah berdiri di bawah pohon, melatih napas dengan gerakan ringan. Wajahnya seperti kemarin—dingin, tajam, dan sulit ditebak. Tapi tidak mengintimidasi. Tidak seperti Grayson."Kau datang lebih cepat dari jadwal," katanya, tak menoleh."Aku butuh lebih banyak waktu untuk bisa menyamamu," jawabku, mencoba terdengar percaya diri.Damien berbalik, mengangguk kecil. “Bagus. Hari ini kita mulai belajar mengatasi rasa takutmu. Karena rasa takut itulah yang akan membunuhmu lebih cepat daripada peluru.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak takut.”“Semua orang takut. Tapi orang pintar tahu cara menyembunyikann
"Jadi begitu… Melissa mulai menunjukkan taringnya." Dia berjalan ke meja, menuang bourbon ke dalam gelas kristal, lalu meneguknya sekali teguk."Rafael Vega adalah seorang eksekutor berdarah dingin. Dulu dia anak didikku. Sekarang… dia musuhku."Aku menegakkan tubuh. "Dan Melissa? Kenapa dia terlibat?"Grayson menatapku dari balik gelasnya. "Karena dia serakah. Karena dia ingin menggantikanmu."Perutku terasa mual. Aku tahu Melissa membenciku, tapi aku tak menyangka dia akan sejauh ini."Aku hanya beban dalam pernikahan ini, bukan? Jadi kenapa... kenapa aku dipertahankan?" tanyaku lirih.Grayson meletakkan gelasnya dengan suara denting kecil. Lalu dia mendekat di hadapanku. Untuk pertama kalinya, dia menatapku bukan dengan kebencian atau dingin, tapi... seolah sedang menilai sesuatu yang belum dia pahami."Kau belum mengerti posisimu, Eleanor. Kau bukan hanya istri kontrak. Kau adalah perisai. Sasaran. Dan entah bagaimana... kau juga jadi titik lemah yang tak kuinginkan."Dadaku sesak
Tiba-tiba ponselku berbunyi.Bukan dari siapa pun yang kukenal. Nomor tak dikenal. Tapi sesuatu dalam hatiku menyuruhku mengangkatnya.“Halo?”Suara di seberang terdengar berat. Pria. Pelan tapi penuh tekanan.“Kau Eleanor Hayes?”Aku diam. Jantungku berdegup.“Ya. Siapa ini?”“Aku orang yang seharusnya kau temui sejak lama. Dan aku tahu apa yang terjadi padamu. Aku tahu kau bukan milik Grayson Blake. Aku tahu siapa ayah tirimu sebenarnya.”Aku berdiri dari kursi, panik. “Siapa kau?!”“Tunggu aku. Aku akan datang padamu. Dan saat itu tiba, kau harus memilih. Bertahan... atau kabur.”Klik.Telepon terputus.Tanganku gemetar. Aku menatap layar kosong ponsel, merasa seolah-olah seluruh duniaku baru saja bergeser.Siapa pria itu?Dan apa maksudnya... aku harus memilih?Aku duduk di ranjang, menggenggam ponsel erat-erat hingga jemariku memutih. Sudah lebih dari satu jam sejak panggilan misterius itu, tapi suaranya masih terngiang di telingaku. Dalam satu kalimat pendek, dia membuat semua l
Sudah tiga hari sejak perdebatan kami di lorong. Dan selama tiga hari itu pula, Grayson benar-benar menghilang. Tidak ada suara mobil datang, tidak ada jejak kaki di lantai marmer, bahkan bayangannya pun tak muncul di vila.Aneh. Tapi lebih menenangkan bagiku.Melissa juga tidak muncul lagi. Mungkin dia sudah kembali ke apartemen mewahnya di pusat kota, tempat di mana dia bisa menghamburkan uang dan menjatuhkan orang lain dari kejauhan. Aku tidak mencarinya. Aku bahkan lega saat menyadari bahwa kehadiran satu racun sudah menghilang dari vila ini.Namun, ketenangan yang kurasakan hanya semu. Karena ketika malam tiba dan lampu-lampu dimatikan, pikiranku terus berputar. Pertanyaan-pertanyaan yang tak berjawab menggantung di udara, memenuhi ruang kosong yang semakin menyesakkan.Siapa sebenarnya Grayson Oliver Blake?Pria itu tidak sekadar kaya atau berkuasa. Ia membawa aura yang gelap—seakan ada sesuatu yang disembunyikannya begitu dalam, jauh di balik jas mahal dan sorot matanya yang me