Sania berjalan mendekat, mengambil tangan Romi lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat. Dia kemudian mempersilahkan ayahnya untuk masuk dan duduk di ruang tamu.“Ayah tumben mampir. Ada apa?”“Ayah kangen sama kamu, Nia. Perasaan Ayah tiba-tiba tidak enak. Makanya Ayah datang ke sini, ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Apa Pak Dewa berbuat macam-macam sama kamu?”“Enggak,Yah. Om Dewa baik banget sama aku, kok. Dia juga baru banget beliin aku kalung berlian. Iya, ‘kan, Om?” Sania menatap wajah suaminya dan dibalas senyum kaku oleh Sadewa.Entah mengapa pria di sebelahnya mendadak canggung, juga takut tiba-tiba Romi menanyakan janji yang sudah dia ucap sebelum menikahi Sania.“Begini, Pak Dewa. Emm ... Nak Dewa.” Pria satu generasi tersebut terlihat bingung harus memanggil menantunya dengan panggilan apa.“Panggil Dewa saja, Pak. Saya ini ‘kan menantu Bapak sekarang.”Riak wajah Romi seketika langsung berubah mendengarnya. Dia terlihat tidak suka, namun apa mau dikata. P
Mobil berwarna hitam yang ditumpangi dua sejoli berbeda generasi tersebut menepi di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Dengan cepat Sania keluar dari kendaraan roda empat milik suaminya, menggamit lengan Sadewa tanpa peduli tatapan orang-orang di sekitar mereka.Wanita itu terkesan cuek serta bodo amat kala ada beberapa orang berbisik, mengatai dia sebagai seorang sugar baby.Biar saja mereka mau berkata apa. Toh, semuanya tidak nyata. Aku istri Om Dewa, bukan sugar baby-nya. Batin Sania tanpa melepas rangkulan tangannya.“Beli baju ini ya, San.” Sadewa menunjuk sebuah lingerie berwarna merah muda yang terpajang di display sebuah toko.“Buat apaan, Om?” Dahi perempuan berumur dua puluh dua tahun tersebut berkerut dengan mimik heran.“Dipake lah. Memangnya buat apaan.”Sania berjalan masuk dan melihat-lihat barang yang ditunjuk oleh suaminya.“Nggak usah ah, Om. Harganya terlalu mahal. Mending buat beli gamis aku dapet satu.” Dia menyeringai, syok melihat harga yang tercantum.“Biar k
“Kamu sudah bukan tanggung jawab ayah lagi karena sudah punya suami. Kalau minta bantuan pekerjaan dan lain-lainnya Ayah masih bisa berikan. Tapi kalau minta barang berharga seperti itu Ayah nggak bisa belikan karena sudah bukan lagi kewajiban Ayah untuk memberikan barang-barang seperti itu,” ucap Sadewa beberapa hari yang lalu ketika Clarissa meminta dibelikan kalung berlian yang dia lihat-lihat di toko langganannya lewat sosial media.Clarissa menyentak napas menepis rasa cemburu yang tengah bertakhta dalam sanubari.Wajar jika Sadewa membelikan Sania perhiasan karena dia adalah istri Sadewa, wanita yang wajib dibahagiakan.“Ini, Bu. Wedang jeruknya!” Darmi menghampiri mereka berdua, menyodorkan segelas air perasan jeruk tanpa gula dan segera diteguk setengahnya oleh Sania.“Memangnya nggak asem, Bu?” Asisten rumah tangga keluarga Sadewa mengernyitkan dahi menatap sang juragan dengan ekspresi aneh.“Asem, tapi seger.”Sania lalu kembali merebahkan bobotnya di sofa, karena merasa lel
“Astaghfirullahaladzim, Sayang. Aku itu ke KUA Cuma mau membatalkan pendaftaran pernikahan kamu sama Kevin lalu mendaftarkan pernikahan kita. Supaya pernikahan kita tercatat di sana dan jika suatu saat kita punya anak tidak bingung mengurus akta kelahiran dan lain-lainnya, karena kita sudah punya buku nikah,” terang lelaki yang terlihat kian menawan itu seraya mengusap lembut rambut Sania.“Ya sudah. Aku jalan dulu. Kamu jaga diri baik-baik di rumah. Kalau ada apa-apa langsung telepon.”Sania mengangguk lalu melingkarkan tangannya di pinggang Sadewa, mengantar suaminya hingga sampai di parkiran dengan mode tetap memeluk pinggang sang pujaan hati.“Aku mencintai kamu, San,” bisik Sadewa di telinga Sania, seraya menghidu wangi tubuh yang selalu menggoda.“Jangan ngegombal, ah. Masih pagi.” Dicubitnya pinggang Sadewa hingga dia mengaduh kesakitan.Setelah mobil hitam milik Sadewa terlihat menjauh, Sania segera masuk dan menghampiri Mbok Darmi yang sedang sibuk berkutat di dapur menyiapka
“Habis si Ibu beberapa hari ini mual-mual terus. Si Mbok rada feeling kalo Ibu lagi mbobot, Pak.”“Aamiin.”Setelah mencuci tangan, Sadewa segera naik ke lantai atas. Masuk ke dalam kamarnya menyembunyikan apa yang dia bawa di belakang tubuh seraya menghampiri sang istri.“Om Dewa bawa apa?” tanya Sania sambil melongok penasaran.“Buat kamu.” Sambil menerbitkan senyuman si lelaki menyodorkan boneka serta buket bunga, membuat wajah perempuan yang sedang duduk menyandar di dipan terlihat berbinar.“Ya Allah, Om. Om Dewa romantis banget. Terima kasih ya.”“Sama-sama, Sayang.” Bibir tipis Sadewa mendarat begitu lama di puncak kepala Sania, sementara sang istri menyambutnya dengan mendekap tubuh Kekar Sadewa.“Om sudah makan?”“Belum!”“Kok belum makan? Ini sudah siang, loh!”“Aku maunya makan kamu.”Mata Sania membola sedang bibirnya mengerucut manja.“Maksud aku, mau makan sama kamu, Sayang. Pikirannya jangan ngeres terus!”“Om ‘kan yang ngajarin,” kekeh Sania“Ya sudah. Kita ke bawah du
“Ya Allah, kamu kenapa, Sayang?” tanya Sadewa panik saat melihat tubuh istri terkulai lemas di lantai toilet dengan tubuh menyandar di tembok.Buru-buru dia membopong tubuh bidadari hatinya, membawanya masuk ke dalam mobil dan menyuruh David mengantarnya ke rumah sakit.“Sayang, kok kamu bisa pingsan seperti ini?” ucapnya lagi seraya mengusap lembut kepala Sania yang tertutup hijab.Sementara David, dia terus saja menatap wajah sang mertua dari kaca spion depan, memindai dua sejoli yang berada di belakangnya dengan ekspresi tidak suka. Lebih tepatnya cemburu melihat kemesraan yang selalu ditunjukkan oleh Sania dan Sadewa, sementara dia tidak pernah berlaku seperti itu saat bersama Clarissa.Setelah menembus jalanan kota selama kurang lebih lima belas menit, perputaran keempat roda mobil milik Sadewa berhenti tepat di depan instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit.Gegas Sadewa kembali menggendong tubuh istrinya yang tergolek tidak berdaya, berteriak memanggil suster meminta dibawaka
Apa Sania tidak bahagia dengan kabar ini? Pikirnya.Akan tetapi dia segera membuang jauh-jauh pemikiran itu, dan kembali mengulas senyum menyambut kehadiran calon buah hati.Selesai memeriksa kandungan Sania, dokter berwajah cantik serta kulit putih itu memeriksa catatan medis yang diberikan dokter yang menangani sebelumnya, lalu memberikan sedikit arahan kepada sepasang suami istri itu cara untuk menjaga kesehatan selama masa kehamilan.“Menurut catatan medis dari Dokter Ria, Ibu mengalami keram perut, dehidrasi parah juga kelelahan. Sepertinya kalian masih pengantin baru ya?” tanya dokter kandungan dan dijawab anggukan oleh Sadewa.“Begini, Pak. Untuk jaga-jaga, selama Ibu masih mengalami kram perut, sebaiknya Bapak jangan ngajak campur dulu. Soalnya itu sangat berisiko terhadap calon janin kalian, dan, kalaupun sedang melakukan ‘olahraga’ harus dikontrol semangatnya. Pelan-pelan saja!” pesan sang dokter membuat Sadewa langsung meneguk saliva dengan susah payah.Puasa? Gumamnya dala
Sania mengangguk pelan. Dia lalu mengajak sang suami untuk turun ke bawah, menikmati roti bakar yang sudah disediakan oleh Mbok Darmi karena saat ini Sania sedang tidak bisa menyantap nasi.Dan sepertinya janjinya, Sadewa mengajak sang istri bertandang ke rumah orang tuanya, menjajakan kaki di rumah Sania untuk yang pertama kalinya semenjak menjadi menantu Romi.Beberapa pasang mata memperhatikan sambil berbisik kala sepasang suami istri itu turun dari mobil, apalagi ketika melihat dengan penuh kasih sayang lelaki berusia empat puluh lima tahun itu merangkul pundak Sania.“Duh, kalo udah bau tanah dan nikah sama daun muda, kira-kira pas lagi nyampur ngos-ngosan nggak ya?” celetuk salah seorang Ibu yang sedang memilih sayuran tidak jauh dari Sadewa memarkirkan kendaraan roda empatnya.“Saya agak ngeri pas lagi nganu malah kena serangan jantung!” timpal si ibu berkacamata.Mendengar kata-kata itu, Sadewa mengepalkan tangan, namun, Sania langsung menggenggam erat jemari suaminya, menggel