Mila tidak ingin disebut penguntit karena mengikuti Diaz dari belakang. Langkah panjang pria itu sulit diimbangi oleh kaki mungilnya.
"Tungguin gue," ucap Mila menarik jas Diaz dari belakang agar dia berhenti.
Diaz berhenti lalu melihat ke samping. Ternyata istrinya tertinggal.
Mila mengerjap lihat gaya rambut Diaz sangat rapih dan licin. "Tega lo jalan cepet banget."
Diaz tersenyum lalu menggandeng tangan Mila agar langkah mereka seimbang. Mila melihat tangannya tapi diam saja karena mereka bukan di tempat yang tepat untuk debat.
Kantor yang dipimpin Diaz besar juga. Aktivitas tiap ruangan bisa terlihat karena hanya kaca saja. "Woah ... Keren."
"Saya?" tanya Diaz sambil berhenti.
"Kantornya," jelas Mila. Ia tidak tahu kapan pria ini mulai percaya diri. "Kenapa kita naik tangga?" tanyanya begitu menaiki tangga ikut Diaz.
Diaz jawab, "Kamu harus olahraga."
"Gue juga gak bisa naik lift."
"Kenapa?"
Mila
"Mila ... Itu HP kamu bunyi terus. Angkat coba," ujar Diaz yang kebisingan. Pagi-pagi begini istrinya sudah seperti artis yang dapat job. Mila sebenarnya dengar, tapi malas mengangkat panggilan. Rasa kantuknya mengalahkan dering ponsel. "Mila... " Diaz memanggil lagi namun sedikit mengeraskan suara. Jam 6 pagi harusnya dia sudah bangun dan sarapan, tapi habis salat malah tidur lagi. Tangan Mila meraba-raba nakas yang ada tepat di sebelah ranjang untuk mengambil ponsel. "Itu buka dulu penutup matanya," tegur Diaz. Mila berdecak dan mengangkat panggilan entah dari siapa. "Halo?" [Mila. Bunda mau ke sana jam 7 nanti. Udah lama Bunda gak liat kamu] Mila melepas penutup matanya dan dilempar begitu saja. "Aduh!" Mila meminta maaf karena penutup matanya mengenai wajah Diaz yang pas sekali sedang balik badan. "Bunda mau ke sini? Jam 7?" Sekarang ia bahkan belum apa-apa. Mendengar kabar setengah baik dan setengah
"Hari ini Diaz betul-betul libur, kan?" tanya Fila. "Ini yang masak siapa? Kamu, Mei?" Dia bertanya karena Mila tidak mungkin memasak masakan enak apalagi sangat rapi hidangannya.Meida menggelengkan kepala. "Bukan aku.""Terus siapa?"Mila menyuapi makanan ke mulutnya. Ia menutupi sisi wajah dengan tangan kiri. Apa yang terpikir oleh Fila tidak salah. Bukan Mila yang memasak dan tidak mungkin hanya karena sudah menikah ia menjadi rajin."Diaz, Bun.""Apa?!" batin Mila. Matanya melotot pada Diaz yang sekarang tebar senyum pada Fila dan Meida.Diaz melihat keterkejutan Mila, namun hanya tersenyum sampai matanya menyipit. Dia menarik pipi kanan Mila dengan gemas. "Mila ini ... Mau dimasakin katanya, Bun. Diaz gak bisa nolak," katanya.Pria itu benar-benar tahu cara menarik perhatian mereka. Untuk menyambung sandiwara ini Mila ikut tersenyum bangga untuk masakan Diaz. "Oh iya, Bun. Diaz pernah cerita bisa masak, tapi aku gak percay
Diaz tetap dalam posisinya. Revan yang melihat mereka tidak jadi memanggil Mila karena takut ganggu. Dia menyuruh kekasihnya untuk lanjut jalan. "Udah pergi?" tanya Mila dengan suara pelan. Ia menoleh ke atas, tingginya hanya sedada Diaz. "Tinggi lo berapa, Diaz?" Mila dengan polosnya mengukur ujung kepala dan dada Diaz menggunakan tangan. "Lo tinggi banget, mungkin Oppa Chanyeol segini kali ya?" Mila terkekeh lalu menoleh ke belakang untuk melihat Revan sudah pergi atau belum. Begitu tahu tidak ada Revan, ia langsung memisahkan diri. "Lo ngambil kesempatan dalam kesempitan. Dasar!" "Jangan samain saya sama orang lain," lirik Diaz tidak suka. Mila memang mengira tinggi Diaz sekitar 180cm lebih, melihat pria itu saja harus mendongak kalau ingin menatap. Kali ini, mata Diaz menyipit sebab berhadapan dengan sinar matahari. Membuat kulit wajah putih bersihnya makin berkilau, atau biasa kalian sebut ... Glowing. "Lo gak masuk?" Mila dengar Diaz mau k
"Dari saya?" beo Diaz. Dia tidak akan membahayakan Mila dalam hal apa pun karena perempuan itu menakutkan kalau tidak sengaja tersentuh."Lo tau ... Cowok biasanya dikelilingi banyak setan," ujar Mila misterius."Kata siapa?" Diaz menertawakan ucapan Mila."Kata gue lah! Siapa tau pas malam-malam lo nelusup buat apa-apain gue. Bisa jadi, kan?!" Mila jadi ngeri membayangkan sendiri.Diaz bahkan tidak pernah berniat seperti itu. "Saya gak akan apa-apain kamu.""Tapi kan gak berlaku selamanya. Ngaku lo?"Ucapan Mila membuat Diaz terjengat. "Berarti kamu yang berharap saya apa-apain," tunjuknya langsung."Gue?!" Mulut Mila komat-kamit hendak menyumpahi Diaz. "Sama sekali gak minat. Dari awal juga lo yang mau nikahin gue."Diaz membalas, "Saya memang cari istri, tapi saya gak berharap itu kamu." Tunggu, kenapa mereka jadi bertengkar?Mila mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. "Berarti gak cuma gue yang nyesel, lo juga ka
Diaz sudah meletakkan foto Irene di tempat yang lebih tersembunyi agar tidak diambil Mila lagi. Dengan kejamnya Mila mau membuang satu-satunya foto Irene agar bisa Diaz kenang.Malam pukul 8, mereka berada di kamar melakukan kegiatan masing-masing. Mila mengangkat satu kakinya ke atas kursi seperti di warteg. Di mulutnya ada es bungkus yang ia beli di warung untuk camilan saat mengetik cerita.Diaz sedang duduk di sofa tunggal, di tangannya terdapat sebuah novel untuk referensi membaca. Pria yang memakai setelan piyama kotak-kotak warna biru dengan garis tipis putih sedang melihat Mila cukup lama untuk mengerti perasaan yang mungkin tidak dia ketahui. Apakah mungkin Mila cemburu?Kepalanya menggeleng cepat. Tidak mungkin Mila cemburu hanya karena foto. Diaz sudah menganalisis kepribadian istrinya dari pertama bertemu. Mila tidak mudah goyah, kecuali menyangkut Revan. "Dia gak mungkin cemburu... " lirihnya menyangkal.Mila melihat p
Mila hendak menutup pintu kamar melihat Diaz gantian duduk menonton anime. "Mukanya kayak anime ngapain liat anime?" batin Mila memadankan wajah Diaz dengan anime yang tengah dia tonton. Ia menatap lega situasi menegangkan dalam halusinasinya sudah hancur. Mila tidak mau kalau hal tersebut menimpa dirinya. Diambang kecemasan, Mila melanjutkan aktivitas yang terputus. Ia pikir harus ada karakter seperti Diaz yang misterius seperti pembunuh berdarah dingin di novel selanjutnya. Sayang sekali kalau tidak diadaptasi, sedangkan tokoh inspirasi satu atap dengan penulis. Diaz lupa menghubungi Meida karena ponselnya masih dalam mode pengisian daya. Dia naik lagi ke kamar untuk meminta bantuan Mila. "Mila, tolong telepon Mama malam ini pulang gak?" "Gue lagi fokus ... Jangan ganggu." Mila makin cepat mengetik untuk mengalihkan imajinasinya yang mengerikan. "Tolong, pintunya mau ditutup." "Tutup aja. Lo biasa bangun tenga
Diaz memasuki mobil lalu melaju, bukan menuju kantor melainkan tempat lain. Ponselnya berdering walau belum 5 menit dia mengemudi. Sekretasis Diaz yang kerap dipanggil Bayu menghubunginya. Kemungkinan Bayu repot mewakili rapat dengan direktur untuk aliansi. Diaz mengambil AirPods dan memasangnya di dua telinga. "Mereka sudah datang?" "Sudah, Pak. 5 menit lagi saya langsung mengadakan rapat." "Iya. Saya mau ke rumah seseorang, kalau sudah selesai saya kembali ke kantor." "Baik, Pak." Diaz kali ini berharap sekretaris pribadinya dan direktur yang menjalani rapat bisa meyakini perusahaan terkait agar bisa menjalani kerja sama. Waktu itu Diaz menyuruh bagian keamanan untuk membawa pelaku yang sabotasi listrik dan melukai Mila ke Polsek terdekat. Namun setelahnya, Diaz mengajak rundingan dengan pengacara bahwa pelaku tidak perlu mendekam di penjara dikarenakan pasal mengenai merugikan orang lain berupa denda materi
Mila melakukan rutinitasnya sebagai penulis di dalam kamar. Beberapa denting notifikasi pesan masuk dari Diaz ia abaikan karena sebentar lagi mencapai 3000 kata.Mila melirik ke sekian kali dan kebanyakan pesan Diaz seperti pidato, panjang dan lebar. Ia mendesah kesal karena kini ponselnya berdering. Benar, Diaz sepertinya muak pesannya tidak dibalas atau sekadar dibaca. Dengan malas ia menggeser tombol hijau ke kiri dan mengaktifkan loudspeaker agar bisa bicara sambil mengetik."Why?" Mila dapat dengar suara lalu lalang orang bicara di sana."Kamu dikirim pesan kenapa gak balas?" Diaz capai-capai mengetik panjang sampai bawah berkali-kali tapi tidak dibalas. Rasanya sangat kesal, beruntung itu istrinya."Gue lagi ngetik 10 jari, gak mungkin jari kaki gue ikut andil balas pesan dari lo." Mila memang begitu kalau lagi menulis novel. Suaminya sendiri kalau mengganggu akan ia marahi."Luangin waktu sedikit buat balas pesan saya. Gak sampai