“Lo habis ngapain di ruangan Pak Saga?” tanya Nadya penasaran, menghampiri Latisha yang baru saja kembali ke mejanya dengan wajah lesunya. Latisha hanya menghela napas kasar sebelum meletakkan tas selempangnya di atas meja.
“Gue... nerima tawaran Pak Saga,” jawab Latisha lirih, seakan kalimat itu berat untuk keluar dari mulutnya. Nadya membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Maksud lo... lo bakal nikah sama Pak Saga? Seriusan, Ca?” Latisha mengangguk pelan. “Gue nggak punya pilihan lain, Nad. Nyokap gue ngotot banget lanjutin pernikahan gue sama Mas Danu, seakan nggak ada yang salah. Padahal lo sendiri tau, Danu selingkuh sama Sely... sahabat gue sendiri.” Nadya mengepalkan tangan, ikut geram. “Astaga, itu laki-laki emang keterlaluan. Nggak punya hati.” Latisha terdiam sejenak. Lalu perlahan ia menoleh ke arah Nadya, suaranya nyaris berbisik, namun penuh luka. “Setidaknya... sekarang gue lepas dari Danu. Urusan pernikahan sama Pak Saga nanti gimana, gue pikirin belakangan. Gue udah capek, Nad... capek terus-terusan berjuang sendirian.” Nadya menghela napas, raut wajahnya ikut melunak. “Lo udah tanya alasan Pak Saga? Kenapa dia mau nikah sama lo?” Latisha menggeleng pelan. “Yang gue tau, dia juga lagi ditekan keluarganya buat nikah. Jadi mungkin... dia juga nggak punya banyak pilihan. Sama kayak gue.” Ia mengangkat bahu, pasrah. Jelas terlihat, hatinya masih diliputi tanda tanya yang belum terjawab. Nadya terdiam, menatap sahabatnya yang tampak lebih rapuh dari biasanya. Ia tahu Latisha bukan tipe perempuan yang gampang menyerah, tapi sekarang... sorot matanya sudah kehilangan semangat yang dulu selalu menyala. Tanpa berkata apa-apa, Nadya mendekat dan memeluk Latisha, berusaha menguatkan. “Ca... lo nggak sendiri, tau. Gue ngerti ini bukan pilihan ideal, tapi kalau lo sampai mutusin buat nerima tawaran Pak Saga, berarti lo udah pikirin semuanya, kan?” Latisha menggigit bibir, berusaha menahan perasaan yang mulai naik ke mata. “Kadang gue ngerasa semuanya kejadian terlalu cepet, Nad. Hidup gue kayak ditarik sana-sini, dan gue cuma bisa ikut arus. Gue bahkan nggak yakin... gue siap.” “Ca, lo manusia, bukan mesin. Wajar kalau lo takut atau bingung. Tapi satu hal yang pasti, lo kuat. Lo bahkan tetap berdiri waktu semua orang nyalahin lo gara-gara batalin nikah sama Danu.” Latisha menunduk, lalu nyengir kecut. “Gue berdiri sih... tapi rasanya kayak lagi nginjek pecahan kaca. Sakitnya nggak kelihatan, tapi tiap langkah nyiksa.” Nadya menarik napas, lalu langsung menarik Latisha ke dalam pelukan cepat. “Kalau lo jatuh, gue bakal jadi tangan yang narik lo berdiri lagi. Setuju?” Latisha mengangguk pelan, memeluk balik. Air matanya jatuh diam-diam. Bukan karena lemah, tapi karena akhirnya ada yang benar-benar ngerti rasanya. “Aduh... tapi tetap aja, Ca. Gila sih lo nikah sama bos sendiri. Ini tuh kayak plot drama Korea, bedanya lo nggak jadi cewek ceria yang ditaksir duluan,” ujar Nadya, mencoba mencairkan suasana. Latisha tertawa kecil sambil menyeka air matanya. “Iya, dan cowoknya bukan tipe hangat yang suka perhatian. Dia lebih kayak... kulkas dua pintu—dingin maksimal.” “Haha! Kulkas dua pintu!” Nadya ikut tergelak. “Tapi lo tau nggak? Justru yang kelihatannya dingin itu, biasanya paling manis kalau udah jatuh cinta. Siapa tau lo dapet jackpot, Ca.” Latisha menggeleng, senyum tipis masih tersisa di wajahnya. “Gue nggak mau ngarep terlalu jauh, Nad. Sekarang mah gue jalanin aja.” Ia menarik napas sebentar, lalu melanjutkan, “Tapi tolong... jangan bilang siapa-siapa dulu ya. Gue belum siap kalau orang kantor mulai bisik-bisik. Untungnya, gue belum sempet sebar undangan. Dan sejauh ini... cuma lo yang tau.” Nadya mengangguk meyakinkan. “Tenang, Ca. Rahasia lo aman sama gue." Lalu, dengan ekspresi menggoda, Nadya mencondongkan tubuh dan berbisik, “Tapi... lo juga harus inget, Pak Saga itu suamiable banget sih, Ca.” Latisha mengerutkan kening, “Suamiable?” Nadya mengangguk mantap. “Iya! Gimana nggak? Meski dingin dan keliatan nggak tersentuh, dia tuh ganteng, kharismatik, dan... ya lo tau lah, kantongnya tebel. Dingin sih, tapi yaa... worth it lah.” Latisha tertawa pelan. “Isi kepala lo emang nggak jauh-jauh dari tampang dan dompet.” “Loh, kita sebagai wanita harus realistis, Ca,” balas Nadya santai. “Cinta doang nggak cukup kalau tiap akhir bulan lo harus makan mie instan dan gelap-gelapan karena suami lo lupa bayar listrik.” Latisha tertawa pelan, untuk pertama kalinya hari itu bibirnya membentuk senyuman tulus. Entah bagaimana, dukungan dan celotehan konyol Nadya terasa menenangkan. ____ Saat Latisha melangkah keluar dari kantor, matanya langsung menangkap mobil hitam mengilap yang sudah terparkir rapi di depan. Itu mobil Sagara. Seperti yang dikatakannya tadi siang—dia akan datang malam ini, ke rumah Latisha, untuk bertemu ibunya. Latisha menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada rekan kerja yang melihat. Setelah merasa cukup aman, ia berjalan pelan menuju mobil itu, langkahnya ragu-ragu. Ini kali pertama Latisha masuk ke mobil Sagara. Semua orang di kantor tahu, pria itu sangat tertutup, bahkan tidak pernah mengizinkan siapa pun duduk di kursi penumpangnya. Sifatnya dingin, jarang bicara, dan selalu menjaga jarak. Sagara bukan tipe pria yang mudah didekati, bahkan untuk sekadar basa-basi di pantry. Begitu Latisha duduk di kursi penumpang, keheningan langsung menyelimuti ruang sempit di dalam mobil. Tak ada sapaan, tak ada senyum. Hanya suara AC dan detak jantungnya sendiri yang terdengar lebih keras dari biasanya. "Alamat kamu?" suara bariton itu memecah diam. Latisha menoleh cepat, lalu segera menjawab, “Jalan Cempaka nomor 17, Pak.” Setelah itu, kembali senyap. Latisha mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menenangkan pikiran yang penuh dengan tanda tanya. Banyak hal tentang Sagara yang belum ia mengerti. Pria itu katanya sudah kepala tiga, namun selama ini tak pernah terlihat dekat dengan siapa pun. Tidak pernah ada wanita yang menjemputnya, atau dibicarakan sebagai kekasihnya. Namun nama Sagara sering menjadi topik hangat di kalangan perempuan—entah itu karena statusnya sebagai direktur muda, atau karena wajah dan sikapnya yang misterius. Yang membuat Latisha semakin bingung adalah: dari sekian banyak wanita yang terang-terangan mengejar pria itu—anak konglomerat, sosialita, bahkan model papan atas—mengapa dia malah memilih Latisha? "Pak Sagara..." Latisha memberanikan diri memulai percakapan. “Hm,” sahut Sagara tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. Latisha menarik napas panjang. Sejujurnya, dia tidak terlalu menyukai tipe pria seperti Sagara—dingin, tak banyak bicara, dan nyaris tak bisa ditebak. Ia pernah membayangkan punya suami yang hangat, humoris, dan satu frekuensi dengannya. Tapi nyatanya, kini dia malah duduk di samping pria yang sama sekali jauh dari impiannya. “Apa orang tua Bapak tahu soal rencana ini?” Pertanyaan itu rasanya wajar. Ini bukan hanya tentang mereka berdua, tapi tentang menyatukan dua keluarga—dari dua dunia yang berbeda. “Keluarga saya mendukung apa pun pilihan saya,” jawab Sagara tanpa ragu. “Tapi saya cuma karyawan biasa, Pak. Bukan dari keluarga berada seperti Bapak,” Latisha kembali menekankan. Dalam hatinya, masih terselip kekhawatiran: bagaimana kalau keluarga Sagara menolaknya? “Kita bicarakan nanti, setelah bertemu orang tua kamu,” balas Sagara singkat, lalu memutar setir masuk ke dalam kompleks perumahan Latisha. Itu berarti mereka sudah hampir sampai. Detak jantung Latisha semakin cepat, seiring dengan kekhawatiran yang terus menghantui pikirannya. Bagaimana reaksi mamanya? Akankah wanita itu menerima Sagara? Atau justru mempertanyakan pilihan putrinya yang tiba-tiba? Mobil perlahan berhenti di halaman rumah. Di dalam kabin, keheningan menggantung, hanya tersisa bunyi lembut AC dan detak jantung Latisha yang kian kencang. Pikirannya berlarian ke mana-mana—tentang pertemuan ini, tentang ibunya, tentang masa depan yang belum sempat ia bayangkan bersama Sagara. Namun ia tetap diam, membiarkan dirinya larut dalam kecamuk rasa yang tak bisa dijelaskan. “Mau tetap diam di situ?” suara Sagara terdengar tenang, namun cukup untuk membuyarkan lamunan panjang Latisha. Latisha tersentak kecil. “Ah... iya.” Dengan buru-buru, ia membuka seatbelt, lalu meraih tasnya dan membuka pintu mobil. Angin malam menyambutnya saat ia melangkah keluar. Tapi langkahnya langsung terhenti. Pandangan matanya jatuh pada sebuah mobil putih yang terparkir tak jauh dari sana. Mobil yang terlalu ia kenal. Mobil yang membawa banyak kenangan pahit yang berusaha ia kubur. Wajahnya menegang. Nafasnya tercekat. “Mas Danu?” gumamnya nyaris tak terdengar, tapi rasa di dadanya langsung menyesak.Latisha menatap ragu ke arah rumah dua lantai bergaya klasik yang berdiri megah di hadapannya. Ada desakan tak nyaman yang perlahan merayap di dadanya, menyesakkan. Pernikahannya dengan Sagara bukan sekadar janji suci—ini adalah simpul rumit dari keputusan tergesa dan alasan yang tak pernah sepenuhnya jujur.Pria yang kini berdiri di sampingnya resmi menjadi suaminya, namun segalanya terasa asing. Sejak awal, Latisha tahu mereka berasal dari dunia yang berbeda. Ia hanya perempuan biasa, sementara Sagara... terlalu sempurna, terlalu jauh, seperti bintang yang indah tapi tak terjangkau."Kenapa?" Suara Sagara memecah lamunannya. Lembut, namun cukup kuat untuk menariknya keluar dari belenggu kegelisahan yang membungkus hati.Latisha buru-buru menggeleng. “Enggak, cuma capek aja, Pak,” bisiknya pelan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil, mencoba menyembunyikan kegugupan yang berdesak di dadanya. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di rumah mertuanya — apalagi s
Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih satu jam, pesawat yang mereka tumpangi akhirnya mendarat mulus di Bandar Udara Ahmad Yani, Semarang. Sejak beberapa waktu lalu, Latisha mulai merasakan perutnya kosong—keroncongan yang semakin memekik seiring waktu. Ia melewatkan makan siang, dan kini rasa lapar itu berubah menjadi nyeri yang menyesak.Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, sementara pandangannya sempat mengabur sejenak. Perutnya melilit seperti diperas, namun ia masih berusaha tegar, menahan rasa tak nyaman itu di perutnya.Latisha nyaris kehilangan keseimbangan saat langkahnya melemah—tubuhnya sudah terlalu lemas karena menahan lapar. Untung saja Sagara sigap menggandeng lengannya, menuntunnya dengan tenang hingga mereka keluar dari pesawat.“Tunggu di sini. Saya ambil bagasi dulu.” Suara bariton Sagara memecah kesadarannya. Tatapan pria itu sempat singgah di wajah Latisha, memperhatikan rona pucat yang mulai muncul di pipinya, lalu tanpa banyak kata, ia b
"Pak Saga emang seotoriter itu, Mas?" tanya Latisha, memecah keheningan dalam perjalanan pulang.Seperti yang terjadi pagi tadi, rencana liburannya kembali gagal. Alih-alih menikmati waktu luang, kini ia harus menerima kenyataan: Sagara memintanya ikut ke Semarang. Memaksa, lebih tepatnya.Memangnya harus secepat ini? Bagaimana kalau keluarga Sagara salah paham?Apa pria itu sudah memikirkannya matang-matang sebelum mengambil keputusan?"Otoriter gimana maksudnya?" Kevin menoleh sebentar, melirik Latisha yang duduk bersedekap di kursi penumpang."Masa tiba-tiba ngajakin ke Semarang?" sahut Latisha dengan nada jengkel, matanya memandang jalanan kosong seolah mencari jawaban.Kevin tersenyum kecil, lalu kembali fokus ke jalanan. "Kayaknya sih dia cuma mau maksimalkan masa cuti kamu, Ca."Latisha mengerucutkan bibir, merenung. "Hmm...bisa jadi. Kenapa aku nggak kepikiran ya?" gumamnya pelan.Mungkin memang begitu. Ini cara Sagara menjaga agar tidak muncul masalah baru, seperti kekhawatir
Latisha menoleh saat pintu kamar terbuka. Sagara masuk dengan langkah tenang. Handuk kecil menggantung di bahunya, sementara leher dan pelipisnya masih basah oleh sisa keringat. Latisha tak tahu sejak kapan pria itu pergi. Saat terbangun pagi tadi, tempat di sebelahnya sudah dingin dan kosong.“Dari mana, Pak?” tanyanya.“Gym,” jawab Sagara singkat, nyaris tanpa menoleh.Latisha menyodorkan secangkir kopi yang telah ia siapkan sejak beberapa menit lalu. “Saya sudah pesan sarapan. Kalau Bapak berkenan, kita bisa makan sekarang.”Sagara menerima cangkir itu tanpa banyak kata. Sekilas, tatapannya menelusuri wajah Latisha sebelum akhirnya berkata pelan, “Terima kasih.” Lalu duduk di sofa seberang, menyeruput kopi perlahan.Keheningan merambat, hanya diisi detik jam dinding yang kini terdengar begitu nyaring.Latisha menggeser duduknya, berusaha mencairkan suasana yang terasa canggung. Terlalu asing bagi dua orang yang baru saja menikah.“Bapak kerja hari ini?”“Ya. Sampai sore. Kamu bisa
Latisha baru saja selesai membersihkan diri. Uap hangat masih memenuhi kamar mandi saat ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Wajah yang tadi tersembunyi di balik lapisan make-up kini tampak polos, tanpa topeng. Tak ada lagi riasan untuk menutupi kecemasannya. Tak ada senyum palsu untuk menyamarkan gelisah yang sejak tadi bersarang di hatinya.Tadi, ia bisa menyembunyikannya. Duduk anggun, tersenyum sopan, menjalani peran dengan nyaris sempurna. Tapi sekarang, di ruang sunyi ini, segalanya runtuh. Riasan telah hilang. Begitu pula pertahanan dirinya.Ia menarik napas dalam, seolah mencoba mengembalikan kendali atas pikirannya yang berlarian ke mana-mana. Lalu, dengan gerakan pelan, ia membuka pintu dan melangkah keluar.Kamar hotel terasa terlalu luas, terlalu sepi. Ia melangkah menuju ranjang dan duduk perlahan, menyandarkan punggung pada headboard. Seolah berharap sandaran itu bisa menampung lelah yang tak hanya fisik, tapi juga batinnya.“Hari ini benar-benar
“Saya terima nikah dan kawinnya Latisha Salsabila binti Atmaja dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”Suara tegas dan lantang itu menggetarkan dada Latisha. Tangannya otomatis menggenggam erat tangan Nadya, seolah mencari sandaran di tengah derasnya kenyataan.Penghulu menoleh ke para saksi. “Bagaimana, para saksi? Sah?”“Sah!” serempak suara itu terdengar.Latisha masih seperti melayang. Ia nyaris tak percaya bahwa dirinya baru saja resmi menjadi istri Sagara Alverio Dirgantara — atasannya, sekaligus pria yang muncul membawa jalan keluar di saat dunia seolah runtuh.“SAHHH!” seruan Nadya memecah keheningan, terdengar lebih nyaring dan bersemangat dibanding saksi-saksi lain, membuat beberapa kepala menoleh ke arahnya.Wajah Nadya langsung berubah. Ia meringis, menyadari kekeliruannya sendiri. “Oops…”Latisha hanya bisa menggeleng, menahan tawa di antara gugup dan haru.“Gila, lo beneran jadi istrinya Pak Saga, Ca!” bisik Nadya, matanya membulat dengan campuran kagum dan tidak perc
Latisha menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya putih sederhana membalut tubuhnya dengan anggun, memberikan kesan lembut sekaligus elegan. Tapi keindahan itu tak mampu menyamarkan kegundahan di matanya.Detik-detik menjelang akad, keraguan justru semakin menguat. Ia masih belum benar-benar yakin dengan keputusannya menikah dengan Sagara, pria itu adalah atasannya sendiri, pria yang belum lama ia kenal secara pribadi. Semuanya terjadi terlalu cepat, terlalu tiba-tiba. Hanya karena ia tak ingin membuat mamanya kecewa, tak ingin terlihat gagal lagi setelah pernikahannya dengan Danu batal.Ia memilih Sagara... pria yang tidak pernah Latisha duga sebelumnya."Sudah siap, Sayang?"Suara lembut yang begitu familiar membuyarkan lamunan Latisha. Ia menoleh dan menemukan sosok ayahnya berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan jas rapi, dengan senyum hangat yang langsung meluruhkan hatinya."Sudah, Pa," jawabnya pelan, tersenyum kecil.Atmaja melangkah masuk, menatap putri semata wayangnya
"Jelaskan pada Mama."Tatapan Hana menusuk, penuh tuntutan. Ia menanti jawaban. Selama ini ia mengira Tisha hanya butuh waktu untuk memulihkan diri setelah pernikahannya batal. Namun malam ini, putrinya datang bersama seorang pria asing—dan memperkenalkannya sebagai calon suami."Seperti yang Icha bilang, Ma. Dia laki-laki pilihan Icha," kata Tisha, suaranya terdengar tegas meski hatinya masih diliputi keraguan."Kamu yakin? Menikah dengan pria yang bahkan Mama belum tahu siapa dia?" tanya Hana. Nadanya menurun, tapi masih mengandung ketegasan khas seorang ibu."Icha yakin, Ma.""Danu?"Satu nama yang membuat dada Tisha menegang. Nama yang dulu membuatnya tersenyum—kini tak lebih dari luka yang nyaris membusuk.Pengkhianatan Danu seminggu lalu masih membekas. Dan bukan hanya karena perselingkuhan itu... tapi karena siapa yang terlibat di dalamnya.Tisha mengalihkan pandangannya. Menatap lantai sejenak sebelum kembali menatap ibunya dengan sorot yang lembut namun tak lagi rapuh."Ma, t
Latisha membeku di tempat. Tatapannya terkunci pada mobil putih yang baru saja berhenti di seberang jalan. Saat pintunya terbuka dan sosok yang tak asing melangkah keluar, napasnya tercekat.Danu.Dengan kemeja putih tergulung di lengan dan potongan rambut cepak rapi khas abdi negara, pria itu berjalan cepat ke arahnya.“Latisha,” panggilnya, suara pelan tapi sarat tekanan. “Aku bisa jelasin semuanya.”Latisha hanya menatapnya tanpa ekspresi. Luka yang ditorehkan Danu belum sempat mengering. “Lo masih mau menjelaskan apa lagi? Setelah lo tidur sama sahabat gue sendiri?”Raut wajah Danu mengeras, napasnya tertahan. “Itu nggak seperti yang kamu pikir, Ca. Aku bisa jelasin semuanya... tolong, kasih aku kesempatan.”“Lo pikir gue masih butuh penjelasan?” potong Latisha, suaranya gemetar, tapi nadanya tajam. “Gue udah cukup hancur, Dan. Dan sekarang lo muncul, seolah semuanya bisa lo perbaiki cuma dengan permintaan maaf?”Danu menunduk sejenak, lalu menatap Latisha dalam-dalam. “Aku masih