Share

BAB 4

Penulis: Rose
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-15 11:14:43

“Lo habis ngapain di ruangan Pak Saga?” tanya Nadya penasaran, menghampiri Latisha yang baru saja  kembali ke mejanya dengan wajah lesunya. Latisha hanya menghela napas kasar sebelum meletakkan tas selempangnya di atas meja.

“Gue... nerima tawaran Pak Saga,” jawab Latisha lirih, seakan kalimat itu berat untuk keluar dari mulutnya.

Nadya membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Maksud lo... lo bakal nikah sama Pak Saga? Seriusan, Ca?”

Latisha mengangguk pelan. “Gue nggak punya pilihan lain, Nad. Nyokap gue ngotot banget lanjutin pernikahan gue sama Mas Danu, seakan nggak ada yang salah. Padahal lo sendiri tau, Danu selingkuh sama Sely... sahabat gue sendiri.”

Nadya mengepalkan tangan, ikut geram. “Astaga, itu laki-laki emang keterlaluan. Nggak punya hati.”

Latisha terdiam sejenak. Lalu perlahan ia menoleh ke arah Nadya, suaranya nyaris berbisik, namun penuh luka. “Setidaknya... sekarang gue lepas dari Danu. Urusan pernikahan sama Pak Saga nanti gimana, gue pikirin belakangan. Gue udah capek, Nad... capek terus-terusan berjuang sendirian.”

Nadya menghela napas, raut wajahnya ikut melunak. “Lo udah tanya alasan Pak Saga? Kenapa dia mau nikah sama lo?”

Latisha menggeleng pelan. “Yang gue tau, dia juga lagi ditekan keluarganya buat nikah. Jadi mungkin... dia juga nggak punya banyak pilihan. Sama kayak gue.” Ia mengangkat bahu, pasrah. Jelas terlihat, hatinya masih diliputi tanda tanya yang belum terjawab.

Nadya terdiam, menatap sahabatnya yang tampak lebih rapuh dari biasanya. Ia tahu Latisha bukan tipe perempuan yang gampang menyerah, tapi sekarang... sorot matanya sudah kehilangan semangat yang dulu selalu menyala.

Tanpa berkata apa-apa, Nadya mendekat dan memeluk Latisha, berusaha menguatkan.

“Ca... lo nggak sendiri, tau. Gue ngerti ini bukan pilihan ideal, tapi kalau lo sampai mutusin buat nerima tawaran Pak Saga, berarti lo udah pikirin semuanya, kan?”

Latisha menggigit bibir, berusaha menahan perasaan yang mulai naik ke mata. “Kadang gue ngerasa semuanya kejadian terlalu cepet, Nad. Hidup gue kayak ditarik sana-sini, dan gue cuma bisa ikut arus. Gue bahkan nggak yakin... gue siap.”

“Ca, lo manusia, bukan mesin. Wajar kalau lo takut atau bingung. Tapi satu hal yang pasti, lo kuat. Lo bahkan tetap berdiri waktu semua orang nyalahin lo gara-gara batalin nikah sama Danu.”

Latisha menunduk, lalu nyengir kecut. “Gue berdiri sih... tapi rasanya kayak lagi nginjek pecahan kaca. Sakitnya nggak kelihatan, tapi tiap langkah nyiksa.”

Nadya menarik napas, lalu langsung menarik Latisha ke dalam pelukan cepat. “Kalau lo jatuh, gue bakal jadi tangan yang narik lo berdiri lagi. Setuju?”

Latisha mengangguk pelan, memeluk balik. Air matanya jatuh diam-diam. Bukan karena lemah, tapi karena akhirnya ada yang benar-benar ngerti rasanya.

“Aduh... tapi tetap aja, Ca. Gila sih lo nikah sama bos sendiri. Ini tuh kayak plot drama Korea, bedanya lo nggak jadi cewek ceria yang ditaksir duluan,” ujar Nadya, mencoba mencairkan suasana.

Latisha tertawa kecil sambil menyeka air matanya. “Iya, dan cowoknya bukan tipe hangat yang suka perhatian. Dia lebih kayak... kulkas dua pintu—dingin maksimal.”

“Haha! Kulkas dua pintu!” Nadya ikut tergelak. “Tapi lo tau nggak? Justru yang kelihatannya dingin itu, biasanya paling manis kalau udah jatuh cinta. Siapa tau lo dapet jackpot, Ca.”

Latisha menggeleng, senyum tipis masih tersisa di wajahnya. “Gue nggak mau ngarep terlalu jauh, Nad. Sekarang mah gue jalanin aja.” Ia menarik napas sebentar, lalu melanjutkan, “Tapi tolong... jangan bilang siapa-siapa dulu ya. Gue belum siap kalau orang kantor mulai bisik-bisik. Untungnya, gue belum sempet sebar undangan. Dan sejauh ini... cuma lo yang tau.”

Nadya mengangguk meyakinkan. “Tenang, Ca. Rahasia lo aman sama gue."

Lalu, dengan ekspresi menggoda, Nadya mencondongkan tubuh dan berbisik, “Tapi... lo juga harus inget, Pak Saga itu suamiable banget sih, Ca.”

Latisha mengerutkan kening, “Suamiable?”

Nadya mengangguk mantap. “Iya! Gimana nggak? Meski dingin dan keliatan nggak tersentuh, dia tuh ganteng, kharismatik, dan... ya lo tau lah, kantongnya tebel. Dingin sih, tapi yaa... worth it lah.”

Latisha tertawa pelan. “Isi kepala lo emang nggak jauh-jauh dari tampang dan dompet.”

“Loh, kita sebagai wanita harus realistis, Ca,” balas Nadya santai. “Cinta doang nggak cukup kalau tiap akhir bulan lo harus makan mie instan dan gelap-gelapan karena suami lo lupa bayar listrik.”

Latisha tertawa pelan, untuk pertama kalinya hari itu bibirnya membentuk senyuman tulus. Entah bagaimana, dukungan dan celotehan konyol Nadya terasa menenangkan.

____

Saat Latisha melangkah keluar dari kantor, matanya langsung menangkap mobil hitam mengilap yang sudah terparkir rapi di depan. Itu mobil Sagara. Seperti yang dikatakannya tadi siang—dia akan datang malam ini, ke rumah Latisha, untuk bertemu ibunya.

Latisha menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada rekan kerja yang melihat. Setelah merasa cukup aman, ia berjalan pelan menuju mobil itu, langkahnya ragu-ragu.

Ini kali pertama Latisha masuk ke mobil Sagara. Semua orang di kantor tahu, pria itu sangat tertutup, bahkan tidak pernah mengizinkan siapa pun duduk di kursi penumpangnya. Sifatnya dingin, jarang bicara, dan selalu menjaga jarak. Sagara bukan tipe pria yang mudah didekati, bahkan untuk sekadar basa-basi di pantry.

Begitu Latisha duduk di kursi penumpang, keheningan langsung menyelimuti ruang sempit di dalam mobil. Tak ada sapaan, tak ada senyum. Hanya suara AC dan detak jantungnya sendiri yang terdengar lebih keras dari biasanya.

"Alamat kamu?" suara bariton itu memecah diam.

Latisha menoleh cepat, lalu segera menjawab, “Jalan Cempaka nomor 17, Pak.”

Setelah itu, kembali senyap. Latisha mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menenangkan pikiran yang penuh dengan tanda tanya. Banyak hal tentang Sagara yang belum ia mengerti. Pria itu katanya sudah kepala tiga, namun selama ini tak pernah terlihat dekat dengan siapa pun. Tidak pernah ada wanita yang menjemputnya, atau dibicarakan sebagai kekasihnya. Namun nama Sagara sering menjadi topik hangat di kalangan perempuan—entah itu karena statusnya sebagai direktur muda, atau karena wajah dan sikapnya yang misterius.

Yang membuat Latisha semakin bingung adalah: dari sekian banyak wanita yang terang-terangan mengejar pria itu—anak konglomerat, sosialita, bahkan model papan atas—mengapa dia malah memilih Latisha?

"Pak Sagara..." Latisha memberanikan diri memulai percakapan.

“Hm,” sahut Sagara tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

Latisha menarik napas panjang. Sejujurnya, dia tidak terlalu menyukai tipe pria seperti Sagara—dingin, tak banyak bicara, dan nyaris tak bisa ditebak. Ia pernah membayangkan punya suami yang hangat, humoris, dan satu frekuensi dengannya. Tapi nyatanya, kini dia malah duduk di samping pria yang sama sekali jauh dari impiannya.

“Apa orang tua Bapak tahu soal rencana ini?”

Pertanyaan itu rasanya wajar. Ini bukan hanya tentang mereka berdua, tapi tentang menyatukan dua keluarga—dari dua dunia yang berbeda.

“Keluarga saya mendukung apa pun pilihan saya,” jawab Sagara tanpa ragu.

“Tapi saya cuma karyawan biasa, Pak. Bukan dari keluarga berada seperti Bapak,” Latisha kembali menekankan. Dalam hatinya, masih terselip kekhawatiran: bagaimana kalau keluarga Sagara menolaknya?

“Kita bicarakan nanti, setelah bertemu orang tua kamu,” balas Sagara singkat, lalu memutar setir masuk ke dalam kompleks perumahan Latisha.

Itu berarti mereka sudah hampir sampai. Detak jantung Latisha semakin cepat, seiring dengan kekhawatiran yang terus menghantui pikirannya. Bagaimana reaksi mamanya? Akankah wanita itu menerima Sagara? Atau justru mempertanyakan pilihan putrinya yang tiba-tiba?

Mobil perlahan berhenti di halaman rumah. Di dalam kabin, keheningan menggantung, hanya tersisa bunyi lembut AC dan detak jantung Latisha yang kian kencang. Pikirannya berlarian ke mana-mana—tentang pertemuan ini, tentang ibunya, tentang masa depan yang belum sempat ia bayangkan bersama Sagara.

Namun ia tetap diam, membiarkan dirinya larut dalam kecamuk rasa yang tak bisa dijelaskan.

“Mau tetap diam di situ?” suara Sagara terdengar tenang, namun cukup untuk membuyarkan lamunan panjang Latisha.

Latisha tersentak kecil. “Ah... iya.” Dengan buru-buru, ia membuka seatbelt, lalu meraih tasnya dan membuka pintu mobil. Angin malam menyambutnya saat ia melangkah keluar.

Tapi langkahnya langsung terhenti.

Pandangan matanya jatuh pada sebuah mobil putih yang terparkir tak jauh dari sana. Mobil yang terlalu ia kenal. Mobil yang membawa banyak kenangan pahit yang berusaha ia kubur.

Wajahnya menegang. Nafasnya tercekat.

“Mas Danu?” gumamnya nyaris tak terdengar, tapi rasa di dadanya langsung menyesak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 31

    "Setelah menikah, kamu jadi lupa sama mama, ya?" tuduh Hana dengan wajah kesal, nadanya tajam, seolah Latisha adalah anak durhaka yang meninggalkan ibunya begitu saja.Siang itu, Latisha mampir ke toko kue mamanya. Sudah hampir sebulan ia tak sempat berkunjung, tenggelam dalam kesibukan kantor dan segala kerumitan hidup barunya."Bukan gitu, Ma. Icha lagi banyak kerjaan akhir-akhir ini," Latisha membela diri, berusaha terdengar lembut meski tubuhnya lelah. Tangannya sibuk menata kue di etalase, mencoba mengalihkan ketegangan."Suami kamu kan bos. Kenapa kamu masih kerja? Harusnya kamu santai, tinggal di rumah. Biarin aja suami kamu yang urus semua."Latisha menghela napas panjang, sudah hafal dengan pola pikir mamanya. Ini bukan kali pertama mereka memperdebatkan hal yang sama.Hana melipat tangan di dada, tatapannya menyelidik. "Kalau kamu dulu nurut sama mama, hidup kamu nggak akan sesulit ini, Icha. Kamu udah bisa hidup enak sama calon suami yang mama pilihkan. Kamu tuh kebangetan.

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 30

    Latisha membuka pintu apartemennya dengan sisa tenaga. Bahunya terasa pegal, langkahnya berat, dan pikirannya penuh. Hari ini benar-benar menguras energi—pekerjaan menumpuk, tenggat mepet, dan Nadya yang sejak siang tak berhenti menggodanya soal Sagara.Ia menjatuhkan tas sembarangan ke sofa lalu merebahkan diri, menatap langit-langit apartemen sambil menghela napas panjang."Aduh… capek banget. Tapi kalau nggak kerja, nggak bisa jajan," gumamnya sambil memijat pelipis sendiri.Matanya setengah terpejam, mulutnya menggerutu pelan. "Kenapa harus berubah sih… Kalau gue lupa batasan, gimana coba? Ujung-ujungnya gue juga yang sakit. Udah gitu, Nadya juga nyebelin banget hari ini."Latisha menutup wajahnya dengan bantal, mencoba mengusir semua pikiran yang berlarian di kepalanya. Ia ingin tidur, atau setidaknya istirahat barang sebentar.Baru beberapa detik matanya terpejam, tiba-tiba terdengar bunyi pintu yang terbuka dari arah depan.Deg.Latisha sontak bangkit, jantungnya berdetak cepat

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 29

    Di tengah riuh suasana kantor, pagi itu rapat dadakan digelar. Telepon berbunyi di setiap sudut ruangan, mesin fotokopi tak berhenti bekerja, dan langkah-langkah tergesa terdengar bersahutan. Semua orang tampak sibuk, berlarian menyelesaikan tugas masing-masing. Deadline mepet, dan seperti biasa, tekanan di kantor semakin menggila setiap akhir bulan.Latisha memeluk tumpukan dokumen di dadanya sambil berjalan cepat ke ruang meeting. Nadya menyusul di belakangnya dengan wajah cemas."Ca, lo yakin semua data udah kelar? Gue masih belum dapet laporan bagian finance," ujar Nadya sambil terengah-engah.“Udah gue kejar semalem. Cuma bagian summary-nya belum gue cek ulang. Gue butuh lo bantu review pas di dalam,” jawab Latisha sambil terus berjalan cepat.Begitu mereka sampai, pintu ruang rapat sudah hampir tertutup. Sagara sudah duduk di ujung meja, wajahnya seperti biasa—datar, nyaris tanpa emosi.Latisha menarik napas dalam-dalam sebelum masuk, mencoba menenangkan diri.“Maaf, Pak, sediki

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 28

    "Mau berangkat bareng?" tanya Sagara, suaranya datar tapi cukup jelas terdengar di antara suara angin pagi yang masih malas berhembus.Latisha menoleh sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan."Nggak usah, Pak. Saya bisa berangkat sendiri."Padahal dalam hati, ia ingin. Tapi... perasaan itu selalu ia tahan. Ada batas tak kasat mata yang terus ia jaga. Entah karena canggung, entah karena takut terlalu berharap.Sagara melirik jam tangan di pergelangan kirinya. "Yakin?"Latisha spontan menunduk melihat jam tangannya juga. Sudah hampir pukul tujuh. Kalau harus pesan kendaraan umum sekarang, bisa-bisa dia datang terlambat. Sagara masih diam, tapi langkahnya belum bergerak. Menunggu. Tenang tapi terasa menekan."Dia nggak mau maksa dulu gitu, ya..." gerutu Latisha dalam hati, menggigit bibir bawahnya kesal sendiri."Saya berangkat dulu."Nada suara Sagara tetap datar, sopan, tapi terasa berjarak. Ucapannya seperti sebuah pagar yang tak bisa Latisha lewati.Latisha mendesah pelan.Seb

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 27

    “Latisha.”Refleks, tubuhnya menegang. Ia menoleh cepat, nyaris terlonjak kaget. Panik melintas sekejap di wajahnya.“Sial! Gue ketahuan?” batinnya mendesah, canggung.Sagara memutar tubuh perlahan, bersandar pada kursinya. Tatapannya mengarah padanya—tenang, tapi sulit ditebak. “Belum tidur?”Latisha cepat-cepat menyusun ekspresi santai. “Eh… belum. Tadi cuma mau ambil air,” katanya sambil tersenyum canggung.Sagara mengangguk tipis. “Kamu bisa tidur duluan. Saya masih ada yang harus diselesaikan.”Namun langkah Latisha tak kunjung bergerak. Pandangannya terarah pada jam dinding, lalu kembali pada Sagara yang terlihat lelah tapi tetap memaksa duduk tegak.“Tapi ini udah tengah malam, Pak. Waktunya istirahat…” ucapnya pelan. Meski lirih, suaranya cukup jelas untuk didengar.Sagara menatapnya sesaat. Ada jeda. Seolah sedang mempertimbangkan—apakah itu bentuk perhatian atau sekadar basa-basi.“Sebentar lagi,” jawabnya akhirnya, singkat.Latisha diam sejenak, lalu memberanikan diri melan

  • Terpaksa Menikahi Atasanku   BAB 26

    Ruang meeting siang ini dipenuhi suara presentasi dan gemerisik kertas. Namun di antara semua kesibukan itu, ada dua orang yang terlihat sangat berjarak.Mereka duduk bersebelahan, seperti biasa. Tapi kali ini, tak ada saling lempar pandang. Tak ada interaksi kecil yang mencairkan suasana. Hanya sunyi.Sagara membuka laptopnya, mengetik cepat tanpa sedikit pun menoleh ke arah Latisha.Latisha duduk tegak, mencatat dengan rapi, tapi jari-jarinya sesekali berhenti. Bukan karena tak paham, tapi karena pikirannya terpecah-ke arah pria di sampingnya, yang terasa begitu dekat namun nyatanya jauh."Lembar data tambahan sudah saya kirim ke email, Pak," katanya lirih, nyaris formal.Sagara hanya mengangguk, matanya tetap tertuju ke layar. "Oke. Terima kasih."Tak ada nada hangat di suaranya. Hanya suara atasan yang bicara pada rekan kerja. Dan Latisha mencatat itu baik-baik, meski tak menunjukkan apa pun di wajahnya.Nadya, yang duduk di ujung meja, melirik mereka bergantian-mengamati bahasa t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status