“Udah selesai?” tanya Latisha begitu Sagara masuk ke kamar.Sagara hanya mengangguk lalu berjalan mendekat, wajahnya dibuat semelas mungkin. “Senin nanti Daniel mulai kerja. Kamu harus bantu saya awasin dia,” ujarnya sambil naik ke ranjang bersandar di headboard ranjang seperti dirinya.Latisha menyergit bingung. “Kenapa harus diawasi segala?”“Saya takut dia berulah.” Nada Sagara terdengar seperti orang tua yang khawatir anaknya nakal di sekolah.Latisha terkekeh, menatap wajah suaminya yang terlalu serius. “Berulah gimana? Dari yang saya lihat, Mas Daniel baik kok, Pak. Mas Daniel justru lebih humoris daripada Bapak, jadi saya rasa lebih mudah beradaptasi dan menyesuaikan diri di kantor."Sagara mendengus kecil. “Jangan bandingkan saya sama dia.”“Loh, kan bener,” sahut Latisha sambil menahan senyum. Ia memang belum lama mengenal Daniel, tapi menurutnya, adik iparnya itu jauh dari kesan merepotkan. Justru lebih hangat dan ramah dibandingkan Sagara yang kadang terlalu kaku.“Kamu tah
“Mas,” panggil Daniel dari balik pintu ruang kerja. “Hm,” gumam Sagara tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di mejanya. Daniel mengintip sebentar sebelum melangkah masuk. Ia menarik kursi lalu duduk tepat di hadapan kakaknya. “Kenapa?” tanya Sagara akhirnya, nada suaranya tetap tenang seperti biasa. “Aku tadi ketemu Clara,” ucap Daniel hati-hati. Kali ini Sagara mengangkat kepalanya. Tatapannya lurus, datar, namun sama sekali tidak terguncang. “Saya sudah tahu kalau dia kembali,” jawabnya ringan, seolah nama itu tak lagi punya kuasa sedikit pun atas dirinya. Daniel menatap lekat, berusaha membaca ekspresi kakaknya. Ada sedikit rasa aneh, karena dulu hanya dengan mendengar nama Clara saja, Sagara pasti sudah berubah murung. Tapi sekarang… ia terlihat biasa saja. Daniel cukup lega sekaligus heran. “Tisha?” tanyanya ragu. “Mereka sudah bertemu,” Sagara menyandarkan tubuh ke kursi. “Dan saya rasa, Latisha tidak masalah dengan masa lalu saya itu.” Tentu saja tidak sepenuhnya
Latisha duduk di salah satu kursi pajangan, menatap katalog sofa yang terbuka di pangkuannya. Matanya sudah bolak-balik pada dua pilihan warna abu-abu dan krem. Sejujurnya, ia malas harus memikirkan detail rumah baru. Tapi entah kenapa, berada di toko furnitur bersama Sagara malah membuatnya bersemangat.Sagara berdiri di sampingnya, kedua tangannya masuk ke saku celana, matanya tak lepas memperhatikan ekspresi istrinya. Wajah Latisha berubah-ubah setiap menit: kadang cemberut, kadang bingung, lalu tiba-tiba berbinar seolah mendapat pencerahan… lalu kembali menghela napas panjang.“Pak, yang abu apa krem ya?” tanya Latisha akhirnya, suara terdengar ragu. Rumah mereka memang identik dengan warna hitam dan putih. Kedua pilihan itu sama-sama masuk.Sagara menunduk sedikit, melirik katalog di tangan Latisha. “Yang menurut kamu bagus, saya suka.”Latisha langsung mendengus, memutar kepala menatap suaminya dengan kesal. “Pak, saya juga butuh saran. Jangan lempar bola ke saya mulu. Keduanya
Hari itu Latisha tenggelam dalam tumpukan rapat penting. Berkas-berkas berserakan, suara diskusi belum juga reda, sementara pikirannya sudah mulai lelah. Di tengah kesibukan itu, ponselnya bergetar pelan. Sekilas matanya menangkap sebuah nama di layar, Pak Sagara.Jantungnya refleks berdetak lebih cepat. Pria itu jarang sekali menghubunginya lewat pesan, jadi melihat namanya muncul di notifikasi membuat rasa penasarannya melonjak. Ia segera meraih ponsel di atas meja, membuka pesan itu.Pak Sagara| Datang ke ruangan saya.| Saya sudah beli makan, kita makan siang bersama.Me| Tumben?Pak Sagara| Bisa langsung ke ruangan saya. Saya sudah lapar.Sudut bibir Latisha terangkat. Ia bahkan sampai menggigit pipi bagian dalamnya, menahan senyum yang terus mengembang. Ternyata perkataan Sagara semalam bukan sekadar janji kosong.“Saya boleh bantu kamu untuk pulih, dan mendapatkan cinta kamu?”“Saya tidak tahu,” jawab Latisha lirih saat itu.Sagara hanya menarik napas dalam, lalu menatapnya
"Aku tidak membenci cinta, aku hanya takut jatuh terlalu dalam… karena jatuh membuatku sadar betapa kerasnya tanah saat aku terhempas."~Latisha~.."Kenapa nggak bilang dulu?" suara Latisha terdengar pelan, tapi jelas sarat dengan perasaan yang campur aduk. Mereka sudah berada di kamar, hanya berdua. Lampu redup menyorot wajahnya yang masih menyimpan rasa curiga.Sagara yang duduk di ujung ranjang menarik napas panjang sebelum menjawab. "Kamu tahu, kan? Kejutan itu bukan buat diumumin. Saya cuma pengin nunjukin kalau saya punya usaha… punya effort buat bertahan sama kamu."Kalimat itu membuat Latisha bangkit dari posisi tidurnya. Ia duduk bersila, menatap Sagara lurus-lurus dengan sorot mata penuh tanda tanya."Yakin, Pak?" tanyanya, datar namun menusuk.Sagara mengernyit, agak bingung dengan intonasi istrinya. "Kenapa nanya gitu?"Latisha tersenyum miring, pahit. "Bapak ingat nggak, hubungan kita satu bulan terakhir ini jauh dari kata baik-baik aja? Kita bahkan nyaris bercerai. Dan
Latisha mendongak, menatap Sagara penuh selidik. Suaranya bergetar ketika menyebut satu nama, "Mbak Clara?"Tentu saja, setelah semua kejadian akhir-akhir ini, ia tidak bisa begitu saja menaruh percaya pada orang lain. Sagara mungkin terlihat meyakinkan, namun rasa takutnya masih lebih kuat."Clara?" alis Sagara terangkat, sorot matanya bingung."Bukankah bapak mau balikan—""Saya dan Clara sudah selesai tujuh tahun lalu," potong Sagara tegas, matanya tak lepas dari Latisha, seolah ingin memastikan istrinya mengerti. Ada ketegasan sekaligus ketulusan yang terasa dalam ucapannya.Namun Latisha tetap terdiam. Ada sesuatu di kepalanya yang terus bergolak. Ia ingin percaya, tapi luka-luka masa lalu membuat langkahnya tertahan.Sagara menarik napas panjang, lalu menatap Latisha dengan ekspresi yang sulit ditebak antara jengkel dan sayang. "Saya kadang penasaran, sebenarnya apa sih yang muter di kepala kamu ini?" gumamnya sambil mengetuk lembut dahi Latisha dengan jemarinya.Latisha hanya m