Latisha membeku di tempat. Tatapannya terkunci pada mobil putih yang baru saja berhenti di seberang jalan. Saat pintunya terbuka dan sosok yang tak asing melangkah keluar, napasnya tercekat.
Danu. Dengan kemeja putih tergulung di lengan dan potongan rambut cepak rapi khas abdi negara, pria itu berjalan cepat ke arahnya. “Latisha,” panggilnya, suara pelan tapi sarat tekanan. “Aku bisa jelasin semuanya.” Latisha hanya menatapnya tanpa ekspresi. Luka yang ditorehkan Danu belum sempat mengering. “Lo masih mau menjelaskan apa lagi? Setelah lo tidur sama sahabat gue sendiri?” Raut wajah Danu mengeras, napasnya tertahan. “Itu nggak seperti yang kamu pikir, Ca. Aku bisa jelasin semuanya... tolong, kasih aku kesempatan.” “Lo pikir gue masih butuh penjelasan?” potong Latisha, suaranya gemetar, tapi nadanya tajam. “Gue udah cukup hancur, Dan. Dan sekarang lo muncul, seolah semuanya bisa lo perbaiki cuma dengan permintaan maaf?” Danu menunduk sejenak, lalu menatap Latisha dalam-dalam. “Aku masih cinta sama kamu. Pernikahan kita tinggal hitungan hari, Ca. Kita masih bisa perbaiki semuanya.” Latisha menggeleng pelan, tapi tegas. “Enggak. Gue nggak mau dan gue nggak akan kembali ke titik itu.” Mata Danu kini menajam, berpaling ke arah pria yang berdiri di dekat Latisha. Sorotannya penuh curiga. “Dia siapa?” tanyanya tajam. “Dia yang bikin kamu batalin pernikahan kita?” “Jangan lempar kesalahan ke orang lain,” sahut Latisha. “Lo yang selingkuh, lo yang ngehancurin semuanya. Bukan dia.” Danu menghela napas berat. “Aku nggak bisa terima ini, Ca.” Langkahnya mendekat, nada bicaranya meninggi. Tapi sebelum ia terlalu dekat, Sagara melangkah maju. Satu langkah tenang, tapi menggetarkan. Ia berdiri di antara Latisha dan Danu, seperti tembok kokoh yang tak bisa ditembus. “Lo siapa?” bentak Danu. “Jangan ikut campur urusan gue!” Sagara memandang Danu dengan tatapan tajam, dan wajah dingin namun tetap tenang, tapi auranya cukup untuk menundukkan ruangan. “Saya Sagara,” katanya. “Calon suami Latisha.” Hening sejenak. Danu tertawa sinis. “Calon suami? Haha, lucu! Dia itu calon istri gue!” “Dia sudah tidak memilih kamu,” jawab Sagara, tenang namun tegas. Ucapannya menampar, membuat emosi Danu mendidih. Danu maju setengah langkah, nyaris menantang. “Lo pikir lo siapa, hah?” Latisha buru-buru berdiri di antara keduanya, mencoba menghentikan konfrontasi. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa— “Kalian semua masuk. Bicarakan ini di dalam.” Suara berat dan tegas itu membuat Latisha menoleh. Di teras rumah, sang papa berdiri dengan wajah dinginnya. Tanpa sepatah kata pun, Latisha menatap Sagara, lalu meraih tangannya dan menariknya masuk ke dalam rumah, sepenuhnya mengabaikan Danu yang masih berdiri membeku di luar. Suasana di dalam rumah terasa lebih dingin dari udara malam yang menyelimuti luar. Ketegangan menggantung di udara, seolah semua napas tertahan. Langkah kaki mereka bergema pelan di ruang tamu yang sunyi. Pak Atmaja duduk di kursi utama. Tatapannya tajam, penuh wibawa. Ia menilai satu per satu: Danu yang masih menyisakan amarah, Sagara yang duduk tenang dan kalem di sebelah putrinya. “Latisha,” ucapnya dengan suara tenang, tapi tak bisa disangkal nadanya menuntut penjelasan. “Papa ingin dengar langsung dari kamu. Apa yang sebenarnya terjadi?” Latisha menarik napas dalam-dalam. Suaranya lirih, tapi tegas. “Papa pasti sudah dengar kalau Icha membatalkan pernikahan Icha dengan Danu. Alasannya… karena Danu selingkuh. Sama sahabat Icha sendiri.” Ia berhenti sejenak menahan emosi. “Jadi, Icha mohon… kali ini papa dukung keputusan Icha.” Pak Atmaja menatap putrinya, lalu mengalihkan pandang ke Danu. Ia tak bicara, tapi sorot matanya cukup membuat Danu menunduk. Belum sempat suasana mencair, suara lembut namun menusuk terdengar dari sisi kanan. “Tapi Danu masih mau memperbaiki semuanya, Cha,” sela Hana tajam. “Ma…” Latisha memejamkan mata, suaranya nyaris bergetar. “Han, diam dulu.” Atmaja mengangkat tangan, memotong tegas. Sejak dulu, perceraian mereka menyisakan luka dan jarak. Tapi satu hal yang tak pernah berubah: mereka sama-sama mencintai Latisha, dengan cara yang berbeda. “Jangan larang aku bicara, Mas. Aku yang membesarkan Icha! Jadi aku tau mana yang terbaik untuk anak aku.” Hana bersikeras. “Atau kamu lupa kalau dia juga anakku?” Atmaja menatap mantan istrinya tajam. “Dulu kamu yang bilang, kamu akan biarkan dia memilih jalannya sendiri.” Hana terdiam. Sesaat, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Ia menoleh ke arah putrinya, lalu ke Sagara yang masih tenang. Atmaja kembali pada Latisha. “Kamu yakin dengan keputusan ini?” Latisha mengangguk. “Icha yakin pa," jawab Latisha yakin, "Icha tidak membatalkan pernikahannya, tapi Icha ingin mengganti mempelai laki-lakinya." Seketika, ruang tamu terasa bergetar oleh keberanian kalimat itu. “Ini Mas Sagara,” ucap Latisha, menoleh pada pria di sampingnya dengan tatapan mantap. “Pria yang Icha pilih.” Atmaja menatap Sagara cukup lama, seolah ingin membaca lebih dari sekadar wajah yang tenang itu. “Sudah kenal berapa lama?” Sebelum Latisha sempat menjawab, Sagara membuka suara lebih dulu. Nadanya tenang, penuh kendali. “Hampir satu tahun, Pak. Kami satu kantor, tapi selama ini hubungan kami hanya sebatas rekan kerja.” Pak Atmaja mengernyit. “Lalu, bagaimana bisa kamu yakin menikahi putri saya, jika hubungan kalian bahkan belum melampaui status profesional?” Pertanyaan itu tajam, menusuk langsung ke inti. Latisha menoleh ke Sagara, cemas. Tapi ekspresi Sagara tetap tak berubah. Diam, menunggu waktu yang tepat untuk menjawab. Namun ketegangan pecah oleh suara lain. “Tapi saya tunangannya, Om!” Danu akhirnya meledak. “Kami sudah merencanakan pernikahan ini berbulan-bulan! Undangan, gedung, catering… semuanya sudah siap!” Pak Atmaja menoleh perlahan ke arah Danu, pandangannya tajam, dingin. “Dan di tengah semua persiapan itu… kamu tidur dengan sahabat anak saya?” Suaranya pelan, tapi tajam seperti bilah pisau. Wajah Danu pucat. Tapi tetap mencoba membela diri. “Om… semua itu hanya kesalahpahaman.” “Kamu menyebut tidur di satu kamar hotel dengan sahabat Latisha sebagai kesalahpahaman?” tanya Pak Atmaja, tak sedikit pun mengangkat suara, tapi justru makin membuat suasana mencekam. “Kami hanya… nggak sengaja ketemu di sana, Om. Dan kami nggak melakukan apa-apa.” Danu buru-buru menjelaskan. Namun kata-katanya terdengar lemah, nyaris putus asa. Latisha mengepalkan tangan, rahangnya mengeras menahan amarah. Tapi sebelum ia sempat membalas, suara ayahnya kembali terdengar. “Saya mengenal Danu sejak lama. Saya tahu latar belakangnya,” ucap Pak Atmaja, suaranya berat dan serius. Tatapannya lalu beralih pada pria di sebelah Danu. “Tapi kamu, Sagara... saya tak tahu apa pun tentangmu. Maka, biarkan saya menilai sendiri, di antara kalian berdua.” Ia lalu menoleh ke arah mantan istrinya. “Han, bawa Icha ke dalam. Aku perlu bicara dengan mereka berdua.” Latisha langsung menoleh, wajahnya bingung. “Pah…” Namun Pak Atmaja hanya menatapnya sejenak, sebelum kembali berkata dengan lebih tegas, “Han.” Hana, yang sedari tadi duduk dengan gelisah, akhirnya berdiri. Ia menyentuh lengan Latisha pelan, memberi isyarat agar anaknya mengikuti. Latisha menurut, meski langkahnya berat. Ia menoleh sekilas ke arah Sagara—pria itu masih duduk tenang, seolah tak tergoyahkan oleh situasi yang menegangkan. Padahal Latisha sendiri nyaris tak bisa bernapas. Ia takut papanya akan menginterogasi Sagara, menggali hal-hal yang mungkin belum siap dijawab. Dan yang paling ia takutkan adalah keputusan Papanya tak sejalan dengan harapannya. Dengan perasaan yang campur aduk, Latisha akhirnya meninggalkan ruang tamu, membawa resah dan harap yang saling bertabrakan di dadanya.“Ca, itu siapa?” tanya Nadya sambil mencondongkan tubuh sedikit ke arah Latisha. Pandangannya tertuju pada seorang pria yang berdiri di samping Sagara, rambutnya dikuncir rapi ke belakang, wajahnya tegas namun santai.“Namanya Daniel,” jawab Latisha dengan nada ringan. Ia tahu, sosok itu memang mudah mencuri perhatian. Daniel memiliki rambut gondrong yang selalu ia ikat saat acara formal seperti ini, memberinya kesan rebel tapi tetap rapi.“Wujudnya bad boy banget,” gumam Nadya sambil meneliti penampilan pria itu dari atas sampai bawah. Kemeja putihnya sedikit oversize, dua kancing teratas dibiarkan terbuka, dan cara ia berdiri pun lebih mirip seniman ketimbang karyawan kantoran.“Lo kenal?” tanya Nadya sambil melirik ke arah Latisha, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.Latisha menggeleng santai. “Enggak, cuma tau aja. Suami gue sempat nyebut kemarin,” jawabnya, lalu kembali fokus menatap layar komputer.Sementara itu, pandangan Nadya belum beranjak dari sosok pria yang sedang ber
“Maaf ya, Pak.” Suara pelan itu membuat Sagara menoleh. Keningnya sedikit berkerut, menatap wajah istrinya yang tampak ragu.“Untuk?” tanyanya singkat.“Semuanya,” jawab Latisha lirih. Entah kenapa, sampai sekarang pun rasa bersalah itu masih saja menempel di hatinya. Ia tahu, pernikahan mereka dimulai dari keadaan yang tidak biasa, walaupun Sagara yang menawarkan pernikahan itu, tetap saja Latisha merasa telah menyeret pria itu ke dalam pusaran masalahnya.Sagara menghela napas perlahan, lalu berbalik sepenuhnya menghadap istrinya. Tatapannya hangat, dalam, dan tenang.“Saya tidak pernah merasa kamu punya salah. Tapi kalau pun ada, saya sudah memaafkannya,” ucapnya lembut.Latisha mengerucutkan bibirnya, cemberut kecil.“Kenapa? Mau dicium?” goda Sagara dengan nada santai.Latisha langsung menggeleng kuat, wajahnya memerah.“Kesalahan saya banyak, tahu, Pak,” ujarnya, mencoba menutupi rasa gugupnya dengan nada manja.Sagara tersenyum tipis, sudut bibirnya terangkat.“Oh ya? Coba seb
"Ma..."Suara lembut itu membuat Hana menoleh pelan. Ia yang sejak tadi duduk di ruang tengah dengan televisi menyala namun tak benar-benar ditonton, mendapati sosok yang sudah lama tidak ia lihat."Icha..." gumamnya lirih, seolah tak percaya kalau putrinya benar-benar datang ke rumah."Mama apa kabar?" tanya Latisha dengan senyum kecil, langkahnya ragu tapi penuh harap."Seperti yang kamu lihat, Mama baik," jawab Hana datar. Ia mencoba bersikap biasa, seolah kedatangan Latisha tidak menggetarkan dadanya. Padahal hatinya berdebar hebat, karena rindu yang ditahan selama berbulan-bulan itu kini terasa menyesakkan.Latisha menarik napas, lalu duduk di samping ibunya. “Icha bawain cookies kesukaan Mama, loh.” Ia membuka kotak kertas berwarna cokelat muda, aroma mentega dan cokelat segera menguar di udara.Dulu, setiap kali Hana lelah sepulang kerja, Latisha kecil selalu datang membawa toples cookies hangat. “Supaya Mama senyum lagi,” katanya waktu itu. Namun, hubungan mereka berubah dingi
"Kamu atau saya duluan?" suara Sagara terdengar pelan namun mantap.Latisha mengerutkan dahi, bingung. "Apa?""Mandi," jawab Sagara singkat."Oh… Bapak duluan aja," ucap Latisha buru-buru. Suaranya terdengar kecil, nyaris tenggelam oleh degup jantungnya sendiri."Oh... Bapak duluan aja," sahut Latisha cepat. Ia masih saja belum bisa sepenuhnya percaya dengan apa yang sedang dijalaninya.Mulai hari ini, ia resmi menjadi istri dari Sagara yang sesungguhnya tanpa adanya kesepakatan lagi.Sesuatu yang dulu tak pernah terbayangkan. Bahkan Latisha sempat merasa hidupnya akan benar-benar berakhir ketika pernikahannya dengan Danu gagal. Tapi ternyata, Tuhan menunjukkan jalan lain. Jalan yang membawanya ke titik ini, menjadi seoranh istri dari seorang pria bernama Sagara.Ia bangkit pelan dari duduknya, berjalan ke arah lemari. Tangannya ragu-ragu saat hendak mengambil pakaian ganti untuk Sagara. Meski hanya hal kecil, ia ingin membalas kebaikan pria itu dengan caranya sendiri. Menjadi istri ya
“Udah selesai?” tanya Latisha begitu Sagara masuk ke kamar.Sagara hanya mengangguk lalu berjalan mendekat, wajahnya dibuat semelas mungkin. “Senin nanti Daniel mulai kerja. Kamu harus bantu saya awasin dia,” ujarnya sambil naik ke ranjang bersandar di headboard ranjang seperti dirinya.Latisha menyergit bingung. “Kenapa harus diawasi segala?”“Saya takut dia berulah.” Nada Sagara terdengar seperti orang tua yang khawatir anaknya nakal di sekolah.Latisha terkekeh, menatap wajah suaminya yang terlalu serius. “Berulah gimana? Dari yang saya lihat, Mas Daniel baik kok, Pak. Mas Daniel justru lebih humoris daripada Bapak, jadi saya rasa lebih mudah beradaptasi dan menyesuaikan diri di kantor."Sagara mendengus kecil. “Jangan bandingkan saya sama dia.”“Loh, kan bener,” sahut Latisha sambil menahan senyum. Ia memang belum lama mengenal Daniel, tapi menurutnya, adik iparnya itu jauh dari kesan merepotkan. Justru lebih hangat dan ramah dibandingkan Sagara yang kadang terlalu kaku.“Kamu tah
“Mas,” panggil Daniel dari balik pintu ruang kerja. “Hm,” gumam Sagara tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di mejanya. Daniel mengintip sebentar sebelum melangkah masuk. Ia menarik kursi lalu duduk tepat di hadapan kakaknya. “Kenapa?” tanya Sagara akhirnya, nada suaranya tetap tenang seperti biasa. “Aku tadi ketemu Clara,” ucap Daniel hati-hati. Kali ini Sagara mengangkat kepalanya. Tatapannya lurus, datar, namun sama sekali tidak terguncang. “Saya sudah tahu kalau dia kembali,” jawabnya ringan, seolah nama itu tak lagi punya kuasa sedikit pun atas dirinya. Daniel menatap lekat, berusaha membaca ekspresi kakaknya. Ada sedikit rasa aneh, karena dulu hanya dengan mendengar nama Clara saja, Sagara pasti sudah berubah murung. Tapi sekarang… ia terlihat biasa saja. Daniel cukup lega sekaligus heran. “Tisha?” tanyanya ragu. “Mereka sudah bertemu,” Sagara menyandarkan tubuh ke kursi. “Dan saya rasa, Latisha tidak masalah dengan masa lalu saya itu.” Tentu saja tidak sepenuhnya