Detik ini waktu dan jam ini, akhirnya aku merasa setuju akan acara turun ranjang. Betapa ayu istriku walau tanpa memandangku. Sungguh pandanganku tak mampu lepas dari lentik bulu matanya. Aku rasa bola mata itu mendekati kata sempurna. Begitu indah bagai kesempurnaan mata bulan. Bahkan pada akhirnya menggenggam tangan Rindu membuat hatiku bergetar keras. Bukankah malam di dua hari yang lalu aku sudah bersamanya. Ah aku rasa tidak kali ini sangat berbeda. Rasanya aku benar-benar jatuh cinta kali ini. Bukankah bila menimbang kadar alami. Rindu lebih alami daripada Bunga, tapi kenapa bila nama Bunga diadakan. Semua rasa pada Rindu tertumpuk malu-malu. Seakan mengintip saja dibalik pintu hati bagian ruang paling belakang. Lalu nama Mas Danang menghalangi di bagian luar bagai tembok tinggi menjulang. Kami melangkah berdua menuju satu tempat sakral di masa depan. Akad segera dilaksanakan malam ini jam setengah dua belas pas di malam Jumat pada tanggal awal Muharam. Sudahlah entah hadir
“Nak, Nak Raja bangun Nak, kok tidur di ruang tamu. Tidur di dalam saja Nak Raja, tidak baik pengantin baru tidur di luar kamar,” Ayah mertuaku Pak Bandi membangunkan aku yang tertidur di kursi ruang tamu. Beberapa jam yang lalu memang aku tengah membantu Ayah mertua mengembalikan kursi dan meja tamu pada tempat awalnya. Mungkin sebab letih aku jadi tanpa sengaja tertidur di atas kursi ruang tamu. Lalu aku bermimpi tentang sosok Rindu yang keluar kamar dengan memakai daster putih dan rambut acak-acakan. “Ternyata hanya sebuah mimpi, semoga bukan kenyataan dan hanya ada di dalam mimpi saja sosok itu,” gumamku tanpa menyadari kalau Ayah mertua masih berada di depanku. Beliau tampak memandangku dengan tatapan aneh. Sebab aku tengah berbicara sendiri agak mengecilkan suaraku. “Apa Nak, apa yang kau katakan tentang mimpi. Memang kamu tadi bermimpi tentang apa?” Ayah mertua malah menanyakan tentang mimpiku. Mana mungkin aku mengatakan pada beliau jikalau aku baru saja bermimpi tentang so
Subuh sudah usai dari kalimat dua salam rahmat keselamatan yang aku lantunkan. Setelah dua tangan tengadahku satukan dan doa, zikir serta Shalawat aku langit kan. Rapi sajadah aku lipat kembali, sarung dan mukena aku taruh lagi di gantungan dalam almari. Aku melihat Rindu masih terpejam matanya. Wajahnya tampak terlalu lelah, sebab semalam aku ajak ia membuat keringat nikmat. Walau demikian aku tetap bertanggung jawab akan hal itu. Tidak aku biarkan istriku tertidur salam keadaan junub. Aku basuh dan bersihkan seluruh badannya beberapa saat lalu. Tak lupa aku bantu ia untuk berwudu dengan niat yang aku bisikkan di telinga kanannya. Entah cara ini dibenarkan atau tidak, entah dibolehkan atau tidak yang penting niatku membantu wanitaku membersihkan badan dari najis yang aku buat semalam. Dalam keadaan kondisi Rindy yang masih sakit akan mentalnya. Semoga Allah menerima caraku dan tentu memaklumi kondisinya. “Dek sebenarnya kau terlalu indah untuk menjadi milikku. Tetapi entah semu
Denting pagi mengalun riuh rendah di sekitar rumah Rindu. Ada suara kicau burung pipit sedang berdiskusi di atas bunga padi yang hampir disiangi sebelah barat. Gemercik aliran kali jernih dengan benturan bebatuan. Menambah merdu not-not lagu dan irama ocehan rimbunnya pohon bambu sebelah timur. Celoteh gelak tawa para tetangga dengan mayoritas para Ibu berbelanja. Menambah gemuruh suasana pagi di depan rumah Rindu. Bercanda ringan para pelajar putih dan biru serta agak berat langkah pemuda-pemudi berseragam putih abu-abu. Ikut serta hiasi pemandanganku di luar pagar Rumah Rindu. “Sebenarnya rumah ini begitu indah ya Ayah. Lihatlah suguhan orkestra alam raya maya pada di sekitar kita ini. Bukankah Sang Pencipta langit dan bumi telah menyuguhkan nyanyian perdu pagi alam?” aku tersenyum kecil menatap mertuaku tengah menyeruput aroma secangkir kopi hitam. “Benar Nak Raja semua ini anugerah yang tak dapat ternilai oleh rupiah sekali pun. Semua begitu teduh alami dan apa adanya. Apa di
Bunga tampak ayu dibalut mukena warna biru berenda ungu. Parasnya teduh dibasahi air wudu yang masih menetes beberapa di dagunya. Jemarinya lentik memetik butiran tasbih di tangan kanan. Bibir tipis manisnya terus mengucap lafaz istigfar secara berulang-ulang hingga hitungan sembilan puluh sembilan. Lalu menggenapinya sampai hitungan seratus istigfar. “Astagfirullah Hal Adzim, Astagfirullah Hal Adzim,” begitulah dalam matanya yang terus menghayati dengan terpejam. Duduk iktiraf setelah dua kali sujud di rakaat terakhir belum ia ubah. Duduk di atas sajadah warna merah bata belum jua berubah. “Ndok ayu Bunga Rahayu anakku, apa boleh Ibu mengganggu keheningan zikirmu sayang. Ibu hendak menanyakan sesuatu hal padamu tentunya” ucap Ibu Fatma dan dialah bidadari yang melahirkan gadis teramat manis seperti Bunga. Bunga sekejap menoleh pada Ibunya yang duduk di sampingnya baru masuk beberapa saat lalu. Beliau baru saja menyelesaikan subuh bersama Abah Madun Ayah dari Bunga. Sebelum menj
“Jangan Om, jangan Om, jangan sakiti aku, tolong...!” Rindu terus menangis selayaknya anak kecil yang tengah ketakutan. Rindu sudah tak bisa merangkak atau bergeser mundur lagi. Sebab di belakangnya sudah berdiri tegak pagar pembatas paling belakang kebun kosong milik Pak Lurah. Mata Rindu akhirnya mengingat sesuatu hal di masa lalunya. Bahkan dia mengulas balik di kala ia masih memakai seragam putih biru. Sama persis seperti pagi ini kondisinya. Saat itu para preman di sekitarnya sekarang. Juga ada di masa lalunya dan sama ingin membuat noda pada Rindu. “Hai Aisyah Rindu Fatimah anak dari Abang Bandi. Dari dahulu saat daerah ini masih dipegang Abangku. Ayahmu itu selalu usil pada keluarga kami. Hingga akhirnya Abangku dipenjara karena Ayahmu. Bahkan dia Abangku tercinta mati di penjara lima tahun yang lalu. Sekarang akan aku balaskan dendam Abangku. Akan aku nodai anak dari Bandi tua jelek itu,” wajah menyeringai Komar Si Codet agaknya sangat ingin segera mengeksekusi Rindu yang se
Brem, brem, Beberapa motor trail dan motor modifikasi tampak mengiringi motor matik milik Pak Bandi yang dikendarai Raja saat membonceng Rindu pulang. Mereka gang Codet beserta para anak buahnya yang malah ikut mengantar Raja dan Rindu pulang. “Loh itu Pak mereka, bukannya itu Raja dan Rindu. Kenapa mereka malah bersama Bang Codet dan anak buahnya?” Bu Dian seketika ketakutan berwajah khawatir dengan tingkah bingung tak karuan. Plok, plok, plok, “Memang istimewa menantu kita, memang takdir Rindu tidak salah lagi bersama Raja. Memang takdir Allah tidak pernah salah berjalan. Lihat Ibu menantu lelakimu itu sangat istimewa. Bapak saja butuh bertahun-tahun untuk sekedar menggeser pangkalan Bang Codet keluar gang kita. Tapi hanya butuh waktu setengah jam Raja menaklukkan semuanya sangat istimewa,” Pak Bandi menghampiri Raja dan terus memujinya. “Bapak kok malah bangga ini loh! Apa memang benar-benar tidak masalah Bang Codet membuntuti Raja dan Rindu?” Bu Juariah masih sangat khawa
“Allahuakbar, Allahuma Shalli Ala Muhammad, sudah pagi lagi ya?” mataku kembali terbuka menatap ke arah Rindu yang masih saja tertidur. Sejenak aku palingkan pandangan ke arah jendela ternyata sudah terang.“Loh kok jendelanya sudah terbuka ya? Apa mungkin Ayah mertua atau Ibu Mertua tadi ke mari membukanya. Tapi mana bisa bukankah tadi setelah subuh aku menguncinya kembali. Lalu siapa yang membuka jendela sepagi ini?” aku mulai membuat spekulasi-spekulasi dalam otakku tentang siapa yang membuka jendela. Aku masih merebah di samping Rindu yang masih saja terlelap. Seperti biasanya aku sibakkan rambut yang tergerai beberapa helai di keningnya. Lalu dengan lembut aku mengecup keningnya secara perlahan. “Mungkinkah Rindu terbangun lalu membuka jendela. Tapi mana mungkin Rindu bisa melakukan hal itu. Makan, minum, mandi, buang air, bahkan mengganti bajunya saja aku yang membantunya. Apa ia Rindu yang membukanya? Aku rasa bukan,” aku terus berpikir keras tentang segala kemungkinan terbuk