Share

Pemakaman Danang

Gemercik hujan semalam masih tersisa di area permakaman desa Kembang Lor. Tanahnya masih terlalu basah untuk sekedar diinjak oleh alas kaki.

Sehingga para pelayat haruslah teramat berhati-hati dalam melangkahkan kaki di antara berjajarnya pemakaman. Mereka masih berkerumun dalam suasana berkabung. Dalam pembaringan terakhir Danang Waluyo bin Khotim Waluyo.

Ada isak dan tangis bersama gerimis yang terus mengucur deras dari langit. Ada mendung masih tertambat menggelayut ogah-ogahan di atas desa. Seolah menggambarkan suasana hati di setiap anggota keluarga.

“Mas Danang! Tidak Mas Danang, kenapa semua bisa terjadi. Dua hari lagi cita-cita kita naik pelaminan akan terwujud Mas. Dua hari lagi kita akan resmi menjadi suami istri secara sah Mas. Kenapa sekarang kau malah meninggalkanku. Aku harus bagaimana tanpamu Mas. Bagaimana dengan pernikahan kita Mas?” teriak Aisyah Rindu Fatimah menangis begitu menjadi-jadi di atas pusaran pembaringan terakhir Danang.

Bahkan beberapa kali Pak Bandi dan Bu Dian kedua orang tua Rindu. Mencoba untuk menenangkannya, tetapi tetap saja. Tetap Rindu begitu syok dan begitu terpukul atas kematian Danang yang secara tiba-tiba.

Bahkan seakan dia tidak menerima semua yang terjadi. Rindu lah orang yang paling terpukul selain keluarga Danang sendiri atas kematian Danang yang begitu cepat.

“Sudah Ndok Rindu biarkan Masmu tenang di atas sana. Relakan semua sudah terjadi dan ini semua sudah garis takdir dari Yang Maha Esa. Masmu Danang sudah pergi Ndok, ayo kita pulang. Tenangkan hatimu terlebih dahulu baru kita bicarakan kembali dengan keluarga Pak Khotim baiknya bagaimana?” bujuk Bu Dian memapah Rindu yang kembali pingsan. Setelah beberapa saat lalu sudah berulang kali pingsan.

“Pak Khotim dan Bu Juariah maaf kami tak bisa berlama-lama lagi. Kami mohon undur diri, kasihan anak kami Rindu, Pak, Buk. Dia sangat terpukul atas kepergian Nak Danang. Biar kami menenangkan Ndok Rindu terlebih dahulu. Mungkin satu atau dua hari lagi saya sendiri akan datang bertamu ke rumah Pak Khotim. Guna memusyawarahkan bagaimana baiknya,” ucap Pak Bandi yang jua merasa tersentak dan begitu bingung.

Sebab resepsi acara pernikahan dan semua yang sudah direncanakan di depan mata. Terancam buyar dan urung diselenggarakan. Sebab semua undangan juga sudah tersebar.

“Baik Pak Bandi saya dan keluarga memaklumi akan itu dan saya harap Pak Bandi dan keluarga memaafkan kami, saya terutama. Sebab kelalaian saya semua ini terjadi, saya lupa akan membenarkan rem mobil yang sudah agak aus. Kalau dibolehkan dan dikembalikan waktu tentu saya ingin menggantikan diposisi Danang pagi itu,” jawab Pak Khotim.

Pak Khotim masih dengan air mata derasnya sambil duduk pas di samping nisan Danang. Pak Khotim merasa bodoh dan kecewa pada dirinya sendiri. Dia merasa dirinya yang bersalah, karena lupa mengganti rem mobil yang sudah saatnya diganti.

“Bukan salah Pak Khotim dan bukan salah siapa pun. Semua sudah terjadi sebagai takdir dari Nak Danang. Semua sudah ada garis yang menentukan Pak. Mari Pak saya mewakili keluarga Ndok Aisyah mohon pamit, Assalamualaikum,” ucap salam dari Pak Bandi serasa membuat badai di keluarga Pak Khotim. Seakan semua ini kesalahan titik berat pada keluarga Pak Khotim. Akibatnya dua keluarga harus sama-sama menanggung imbasnya.

“Waalaikumsalam, oh ia Pak Bandi, mungkin apabila Bapak tak bisa ke rumah Pak Bandi untuk berunding. Biar saya yang datang Pak, mungkin bersama Paman atau saudara Bapak yang lebih tua. Pak Bandi jangan khawatir kami yang akan datang ke rumah Pak Bandi,” ucap Raja menambahkan keterangan penguatan akan ucapan Bapaknya.

“Baik Nak Raja terima kasih atas keterangannya, mari Nak Raja,” ucap Pak Bandi lalu keluarga Aisyah berangsur-angsur pergi.

Begitu jua dengan keluarga Pak Khotim. Satu demi satu mereka kembali pulang meninggalkan area pemakaman. Hujan jua sudah mulai agak reda, sebab matahari sudah menampakkan tajinya sebagai penerang alam semesta.

Pak Khotim yang memang begitu terpukul dan merasa bersalah. Diminta untuk segera pulang oleh beberapa keluarga besarnya. Begitu jua dengan Bu Juariah yang sungguh sangat menyayangi Danang ditemani beberapa keluarga untuk pulang.

Kini tinggallah Raja sendirian di samping pemakaman terakhir Danang. Sebuah pemberhentian dari kehidupan dunia. Sebuah pembaringan akhir yang bertuliskan di muka Nisan. Danang Waluyo Bin Khotim Waluyo dengan waktu tanggal satu Januari dua ribu dua puluh tiga.

Tangan Raja meraih satu kepalan tanah atas makam Danang. Adik lelaki yang biasanya tegar, bahkan lebih tegar dari Sang Kakak. Akhirnya hati yang bak karang itu rapuh juga. Mata Raja mulai berair perlahan menetes di atas tanah makam.

“Mas Danang, kenapa kau lakukan ini padaku? Bukankah sudah aku bilang. Bukankah beberapa hari ini aku sudah mengoceh padamu. Jangan keluar dahulu dan ini bukan masalah takhayul. Bukan masalah orang dulu atau istilah kolot. Kau tak mengerti juga perkataanku dan kau anggap semua hanya bercanda,” ucap Raja kali ini lirih dan mulai tersedu-sedu.

“Mas aku yang lebih tahu masalah adat dan istiadat. Aku yang lebih memahami masalah kebudayaan dan kultur tanah Jawa. Sebab itu sudah keahlian turun-temurun yang diwariskan Mbah Buyut Dalang dahulu. Mas sih dulu enggak mau pernah ikut kalau diajak Bapak ke rumah Buyut. Sekarang kalau sudah begini kami harus bagaimana menghadapi keluarga bakal istri Mas itu?” Raja masih terus mengoceh sendirian di atas pusara Danang.

Tanpa ia duga dan ia sadari sudah ada lima remaja muda-mudi yang berdiri di belakangnya. Mereka adalah teman Raja para novelis yang sudah ada janji bertemu pagi ini untuk membahas satu novel mereka bersama. Dimanah novel itu telah dikontrak satu stasiun televisi nasional.

Mereka baru datang, karena baru mendapat kabar melalui kawan mereka yang baru saja melihat berita tayangan langsung lokal. Setelah mencari informasi dan kebenarannya, lalu mereka lekas menuju pemakaman desa Kembang untuk menemui Raja.

“Raja maaf kami telat datang, kami tidak tahu kejadiannya. Bahkan kami baru tahu setelah dikabari Agung yang tanpa sengaja melihat berita tayangan langsung atas kecelakaan yang menimpa Danang,” ucap Bunga duduk berjongkok di samping Raja. Seraya mengusap air mata Raja dengan sapu tangan yang ia bawa.

“Tidak apa-apa kalian tidak salah, semua sudah terjadi. Bahkan aku juga tak mengira semuanya terjadi secepat ini,” kata Raja masih terus menatap makam Sang Kakak.

“Raja kau ketua kami dalam naskah novel untuk kejar tayang. Saya selaku wakil ketua di departemen kita memohon ijin,” ucap Agung hendak meminta izin tapi dipotong dengan tatapan mata tajam cenderung melotot dari Bunga dan Agung mengurungkan niatnya. Serta menghentikan bicaranya seketika.

“Tidak apa Agung, kita teruskan saja tidak masalah itu. Tapi aku minta libur selama tujuh hari berkabung ini. Bukankah naskah yang kita musyawarahkan cukup untuk sinetron itu selama tujuh hari ke depan?” ucap Raja memastikan semuanya berjalan terkendali.

“Tenang saja Raja jangan terlalu dikhawatirkan. Kamu libur saja dahulu kamu juga memaklumi. Maaf ya Raja bukan maksud kami membicarakan hal itu di sini. Mas Agung tuh memang suka begitu, dia tidak tahu tempat dan situasi,” ucap Bunga mencoba menenangkan Raja.

“Ia maaf Raja aku salah,” timpal Agung.

“Sudah semua sudah terjadi, memang membuatku sangat terpukul dan aku butuh istirahat dahulu. Rehat barang tujuh hari ke depan, tetapi kalian harus tetap jalan. Sebab semua sudah ada pada kontrak, dan kau Bunga. Tolong jaga asa kita menembus nasional seutuhnya. Pulanglah kalian biarkan aku sendiri di sini dahulu,” ujar Raja.

“Tapi Raja aku ingin menemanimu di sini, aku ingin berbagi sedihmu di sini. Kau dahulu yang mengajariku ketegaran akan hidup. Aku tak mau lelaki itu yang membuat aku kagum terpuruk saat ini,” ucap Bunga yang memang sudah lama menaruh hati pada Raja.

“Tidak Bunga pergilah kau juga bersama yang lain. Mungkin nanti sore aku akan menghubungimu,” ucap Raja mencoba melepaskan tangan Bunga dari pundaknya.

“Ayo Bunga kita pergi, biarkan Raja sendiri. Kita harus memberi ruang untuknya, untuk terakhir kalinya menghabiskan waktu bersama Danang,” ucap siti mengajak Bunga pergi.

Mereka akhirnya pergi dengan rasa tidak tega pada Raja pagi itu. Bahkan Bunga masih terus menoleh ke arah Raja yang masih duduk berjongkok di depan makam Danang.

“Bunga saat inilah kesempatanmu dekat dengan Danang. Tengoklah dia setiap sore nanti di tujuh hari ke depan. Kau harus ikut di setiap pengajian untuk Danang. Agar keluarga Raja juga jadi simpati dan mulai mengenalmu,” ucap Siti sambil menstater mobilnya lalu pergi bersama keempat temannya yang lain meninggalkan area pemakaman.

Mga Comments (11)
goodnovel comment avatar
Arma Putra
sedihnya bro
goodnovel comment avatar
Dian Sono
ya Danang mati...
goodnovel comment avatar
BABY TV Indonesia
wah mulai seru ini
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status