“Kok seperti ada yang kurang ya pagi ini, tapi apa ya? Kayaknya hatiku kayak ada yang mengganjal. Seperti sedih tapi tidak tahu apa sebabnya. Apakah ini sebuah firasat atau hanya perasaanku semata,” gerutu Raja sambil memegang handuk di tangan kanannya dan satu peralatan mandi di dalam gayung plastik di tangan kirinya.
Senin pagi tanggal satu awal bulan Januari dua ribu dua puluh tiga. Sayup semilir angin pagi masih membawa segar udara alam nan alami. Gemercik sebelah belakang desa di mana rumah Pak Khotim orang tua Raja dan Danang tinggal.Walau pagi awal bulan di awal tahun kali ini terasa teramat damai di desa Kembang Lor. Tetapi entah kenapa hati, perasaan dan otak Raja begitu tidak tenang.Seakan ada sesuatu yang mengganjal dan sesuatu hal ihwal yang akan terjadi yang tidak benar hasilnya. Tetapi Raja jua tidak mengerti apakah yang akan terjadi atau hal buruk apa yang akan terjadi entah padanya atau pada keluarganya.Raja masih melamun di dalam kamar mandi. Pandangannya menatap cermin persegi berukuran lima kali lima centi meter. Tepat menempel di samping tatakan peralatan mandi lainnya.“Kok jadi dek-dekan ya hatiku denyutnya kok malah kencang. Perasaan hari ini tak ada agenda yang cukup membuat aku harus berpikir ekstra. Apa sih perasaan aneh ini, seakan ada yang hilang tapi apa ya?” gumam Raja berkumur-kumur setelah menggosok giginya.“Dek sedang apa kau lama amat. Cepat sedikit kenapa aku ada proyek darurat ini. Kalau proyek ini tidak aku ambil, bisa-bisa tak ada tabungan aku setelah menikah nanti. Dek cepat sedikit woi!” teriak Danang yang sedang menunggu giliran mandi pagi di depan pintu kamar mandi.Selintas seperti ada sebuah petir menghantarkan satu aliran setrum yang teramat hebat menuju otak Raja. Sejenak Raja tertegun antara sadar dan tak sadar.Dalam bayangan Raja di depan cermin di dalam kamar mandi. Sebuah mobil hitam tengah melaju kencang tak terkendali akibat rem blong. Lalu semua buyar saat mobil hitam tersebut menabrak truk kontainer besar.“Allahuakbar, bayangan apa itu tadi? Apa benar ini satu pertanda dari kegelisahan hatiku pagi ini. Bukankah itu mobil Abang Danang, apa bayanganku ini nyata? Ah mungkin sekedar bayangan saja,” gerutu Raja memulai mengguyur tubuhnya dengan air di dalam bak mandi.“Dek cepat kenapa? Sudah telat Abang ini,” teriak Danang agar Raja lekas menyelesaikan mandi paginya.“Ia Abang sebentar sabar kenapa Bang! Orang baru masuk ada saja. Kenapa tidak mandi dari subuh sekalian ah,” sahut Raja agak kesal dari dalam kamar mandi seraya mempercepat mandinya dengan cara menggosok sabun ke seluruh badan sedapatnya.“Bawel ya kamu Raja, sudah cepat keluar nanti Abang telat. Katanya kamu hari ini enggak ada acara. Tumben pagi-pagi sudah mandi kamu?” jawab Danang terus membujuk Raja agar cepat keluar dari dalam kamar mandi.Brak,Pintu terbuka agak dipaksakan cenderung dibanting oleh Raja. Rupanya Raja keluar dengan hanya berbalut handuk dan muka agak ditekuk.“Eh kamu ini ya Abang susah dibilangi rupanya ya. Tidak bisakah kamu tidak mengejar proyek-proyekmu yang jumlahnya berjibun itu. Apa tidak ada orang lain yang bisa disuruh menangani proyekmu itu dua hari ke depan. Lusa kan kamu mau menikah sama Mbak Aisyah. Kata orang tua dahulu pamali calon pengantin kelayapan sepuluh hari sebelum menikah,” oceh Raja mengomel tak karuan pada Danang dan masih di depan pintu belum beranjak. Sehingga menghalangi Danang untuk masuk ke dalam kamar mandi.“Halah kamu ini sama saja dengan Nenek ya bisanya mengoceh saja tentang pamali. Tahun dua ribu dua puluh tiga loh ini Dek masih saja percaya takhayul kayak begitu. Sudah minggir aku mau mandi kamu jangan menghalangi jalan, awas!” jawab Danang sambil ikut marah-marah agak mendorong Raja ke samping.Brak,Kali ini pintu ditutup paksa oleh Danang agak keras. Sehingga suaranya terdengar sampai ruang tengah. Bu Juariah yang baru pulang dari berbelanja sayur-mayur dan ikan segar. Teramat kaget dan lekas berlari menuju arah kamar mandi.“Astagfirullah kalian ini Raja, Danang, tidak bisakah kalian akur satu hari saja. Apa lagi kamu Raja, lusa Abangmu mau menikah dan dia akan tinggal di rumah barunya. Berarti tidak tinggal sama kita lagi, masih saja Abangnya dibuat marah!” omel Ibu Juariah masih menenteng dua keresek penuh barang belanjaan dapur.“Lah kok aku lagi yang kena marah Bu. Abang yang mulai bukan aku, orang kalau mau keburu pergi itu mandi dari tadi. Kalau bisa dari subuh sekalian biar kedinginan terus rematik!” oceh Raja sambil berlalu menuju kamarnya.“Ada apa sih Ibu pagi-pagi sudah ribut saja? Sudah begitu saja kok diributkan. Buatkan Bapak kopi seperti biasanya Bu,” ujar Pak Khotim datang dari halaman belakang. Rupanya ia baru saja memberi makan ayam-ayam kesayangannya.“Ini lagi Bapak orang masih baru saja pulang belanja sudah disuruh buat kopi. Sekali-kali buat sendirikan bisa dasar Bapak!” gerutu Bu Juariah kembali berjalan menuju dapur yang tak jauh dari kamar mandi.“Bu buat kopi bukan ngedumel. Bapak tunggu di teras kopinya seperti biasa sedikit gula,” teriak Pak Khotim yang sudah berada di teras.“Ia, ia Ndoro Juragan sabar pasti dibuatkan kok tenang,” sahut Bu Juariah dari arah dapur.Beberapa menit berselang Raja sudah siap dengan setelan baju untuk jalan keluar. Pagi ini Raja agak rapi dalam memakai busana.Kemeja hitam kesukaannya telah menempel pas di badannya. Serta celana jin bergaya anak muda pas berpadu dengan sepatu hitam kasual. Tidak lupa tas selempang satu di pundak telah ia kenakan jua.“Loh bukannya hari ini tahun baru tanggal merah toh. Kamu mau ke mana Nak sudah rapi seperti itu pagi-pagi begini?” tanya Pak Khotim sambil duduk dan menyeruput segelas kopi tak jauh dari Raja mengenakan sepatunya.“Bapak ini kayak tidak tahu Raja saja. Kerja anakmu paling ganteng ini, lebih ganteng dari Abang tentunya ya kan, hehe. Kerjaku bukan formal seperti Abang di kantoran. Aku punya cara tersendiri dan pandangan tersendiri dalam bekerja Bapak. Pagi ini ada janji dengan teman-teman novelis di kafe tengah kota,” jawab Raja sambil menyelesaikan ikatan tali sepatunya.“Kamu itu ya selalu saja begitu, kapan sih kamu bisa akur sama Abangmu? Kasihan Abangmu nanti kalau pas pernikahannya malah kamu ajak bertengkar lagi. Nanti kalau kalian sudah tidak tinggal satu rumah bagaimana, apa tidak kangen kamu Raja sama Abangmu?” ucap Pak Khotim seraya menyulut satu batang rokok yang sudah menempel di bibirnya yang sudah menghitam.“Eh Bapak kenapa Danang tidak dicegah tadi? Bapak ini. Bukannya tadi Ibu sudah menyuruh Bapak untuk mengingatkan Danang. Supaya mobilnya jangan dipakai dahulu,” oceh Bu Juariah datang dari dalam rumah sambil mengomel.“Loh memangnya kenapa toh Buk. Wong mobil dipakai Danang saja loh kok enggak boleh Ibu ini?” jawab Pak Khotim heran.“Bukannya tidak boleh Bapak, tapi itu mobil kemarin kan remnya blong belum Bapak betulkan. Aduh bagaimana ini Danang nanti kenapa-kenapa lagi dia. Raja cepat susul Abangmu dulu Nak. Ibu takut Abangmu kenapa-kenapa di jalan nanti. Bapak sih ah!” oceh Bu Juariah marah bercampur khawatir tak karuan.Tiba-tiba ada satu tetangga yang berlari agak tergopoh-gopoh menuju ke tempat mereka. Wajahnya tampak begitu syok seakan melihat sesuatu kengerian yang teramat sangat.“Pak Khotim, Bu Juariah gawat-gawat!” ucap tetangga yang baru datang dengan tergesa-gesa.“Sabar-sabar Bu Jumilah, pelan-pelan dahulu. Coba katakan ada apa, apanya yang gawat?” tanya Raja mencoba menenangkan tetangga yang baru datang yang ia panggil dengan nama Bu Jumilah.“Gawat Mas Raja, tadi saya dan suami saya baru saja dari kecamatan. Sampai di gang depan lampu merah depan itu Pak Khotim. Saya melihat mobil hitam persis milik Pak Khotim tabrakan dengan truk kontainer. Mobilnya penyok-nyok Bu Juariah. Saya saja enggak berani melihatnya dan buru-buru kemari mengabari kalian. Sudah ya saya takut dan tak bisa bayangkan orang yang ada di dalamnya,” oceh Bu Jumilah lekas pergi kembali.“Loh Danang!” teriak Bu Juariah tiba-tiba pingsan.“Ya Allah, Ibu pakai acara pingsan segala. Raja coba kamu lihat ke depan gang, apa benar itu mobil kita yang di bawa Abangmu Danang, lekas Nak!” ucap Pak Khotim agak membentak Raja sebab terlalu khawatir pada Danang.Raja jua tampak begitu gopoh dan tak karuan. Walau setiap harinya ia selalu bertengkar dengan Danang. Tetapi sejatinya ia teramat menyayangi Abangnya tersebut.“Allahuakbar Mas Danang, bukanya sudah aku bilang jangan dulu kelayapan. Kamu memang ya selalu menganggap semua itu takhayul lah, kolot lah, orang dulu lah. Kalau sudah seperti ini bagaimana, Mas Danang!” Raja masih menggerutu walau motornya sudah ia starter. Lalu sesegera mungkin ia melaju dengan kecepatan agak kencang menuju ke depan gang. Tempat di mana terjadinya kecelakaan seperti yang disampaikan Bu Jumilah.Gemercik hujan semalam masih tersisa di area permakaman desa Kembang Lor. Tanahnya masih terlalu basah untuk sekedar diinjak oleh alas kaki. Sehingga para pelayat haruslah teramat berhati-hati dalam melangkahkan kaki di antara berjajarnya pemakaman. Mereka masih berkerumun dalam suasana berkabung. Dalam pembaringan terakhir Danang Waluyo bin Khotim Waluyo. Ada isak dan tangis bersama gerimis yang terus mengucur deras dari langit. Ada mendung masih tertambat menggelayut ogah-ogahan di atas desa. Seolah menggambarkan suasana hati di setiap anggota keluarga. “Mas Danang! Tidak Mas Danang, kenapa semua bisa terjadi. Dua hari lagi cita-cita kita naik pelaminan akan terwujud Mas. Dua hari lagi kita akan resmi menjadi suami istri secara sah Mas. Kenapa sekarang kau malah meninggalkanku. Aku harus bagaimana tanpamu Mas. Bagaimana dengan pernikahan kita Mas?” teriak Aisyah Rindu Fatimah menangis begitu menjadi-jadi di atas pusaran pembaringan terakhir Danang. Bahkan beberapa kali Pak Bandi
Malam sudah terlalu larut untuk sekedar memejamkan mata bagi Raja. Tetapi otaknya masih berkecamuk tentang kenangan bersama Danang. Pagi tadi terasa benar adanya ucapan kedua orang tuanya. Bahwa kedua orang tuanya selalu melerai pertengkaran-pertengkaran kecil. Antara Danang dan Raja sejak sedari kecil dengan kata-kata. Nanti kalau kalian berpisah dan tak bersama lagi kangen loh. Nyatanya malam ini kerinduan yang menyayat pada Danang sangat terasa di otak dan hati Raja. Bahkan waktu sudah melewati jam dua belas malam pas lebih lima belas menit. Raja tak kunjung jua beranjak dari berdirinya di muka kamar Danang. Menghadap ke dalam kamar sambil terus mengulas balik semua album kenangan. Semua tentang kebersamaan kemarin, kemarin lusanya, kemarin lampaunya. Sempat jua terlintas sore yang tadi tanpa sengaja. Raja mendengarkan percakapan antara Pak Khotim Ayahnya dan Pak Bandi Ayah Rindu. Walau sedikit ia mendengarkan lalu ia berlalu pergi menemui para tamu yang hendak ikut berdoa di pe
“Raja bagaimana keadaanmu sekarang? Oh ia aku membawakan buah. Tadi juga aku meminta Ibu untuk aku membuatkan segelas susu hangat untukmu. Mari Raja aku bantu untuk minum,” ucap Bunga sambil membantu Raja meminum segelas susu buatan Bunga. “Raja selain desakan Bunga, kami kemari juga atas desakan Pak Broto. Beliau ingin ikut menjengukmu pagi ini, kami sudah bilang kepada beliau kalau kau ingin istirahat seminggu. Tetapi beliau memaksa untuk ikut dengan kami kemari,” ucap Agung yang tengah berdiri di samping Bunga. Pak Broto adalah yang memiliki agensi penyalur tulisan-tulisan atau novel dari Raja dan kelima kawannya. Beliau yang mempunyai Channel orang dalam untuk novel dari Raja dan kawan-kawannya menjadi sebuah naskah sinetron. “Selamat Pagi maaf Ibu Juariah saya lancang masuk tanpa permisi. Tapi saya tadi sudah meminta izin pada Pak Khotim untuk masuk ke dalam kamar ini. Tidak apa ya Bu Juariah, saya hanya ingin mengetahui kondisi rekan saya Raja saja,” tutur Pak Broto yang lang
Kantor PT. Broto, Siang yang panas di atas area perkantoran kota Bangzo. Bahkan aspal di setiap depan blok setiap kantor terasa bagaikan memuai saja. Sementara itu di dalam area perkantoran milik Pak Broto. Terdengar sebuah pintu dibanting dan terbuka secara paksa. Brak, “Bandot tua sudah kesal aku dengan tingkah lakumu Broto. Aku berhenti dan aku sudah tidak tahan menutupi perilaku bejatmu itu!” terlihat Bunga dengan pakaian tampak acak-acakan keluar dari dalam ruangan Pak Broto. Berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju ke meja kerjanya. Sekali ambil tas dan beberapa peralatannya terkemas sudah. Tampak kedua mata bunga teramat marah. Bahkan saking marahnya ia sampai meneteskan air mata merasa begitu jengkel. Agung yang begitu terkejut sontak berdiri diikuti Ambar dan sepasang pengantin baru Roni dan Siti. Mereka lantas mencegat langkah Bunga untuk keluar dari kantor. Bukan untuk mencegahnya berhenti bekerja, tetapi hanya sekedar bertanya ada apa. “Bunga kenapa, ada apa, apa bando
Malam terlalu larut untuk pulang sebaiknya menginap saja Nak Raja. Begitulah ucapan Bu Dian kepadaku di saat aku ingin berpamitan pulang dari rumahnya. Sempat aku melirik Rindu yang hanya tertunduk lesu dengan tatapan mata kosong di ujung sofa ruang tamu. Kasihan dia betapa sungguh terpukul hatinya akan kematian Mas Danang. “Apakah baik Bu saya menginap malam ini di sini. Sedangkan tetangga-tetangga Ibu sudah kepalang tahu. Jikalau Rindu akan menikah dengan Mas Danang. Apakah tiada kecurigaan berlebihan oleh mereka bila mengetahui aku menginap malam ini,” aku coba menolak dengan cara halus tanpa mengurangi rasa sopan santun dan segala hormat pada seorang Ibu tua di depanku ini. Lalu Pak Bandi segera berdiri mendekati kami yang tengah berdiskusi tentang pulang atau menginap di balik pintu. Aku sudah dapat menebak apa yang beliau katakan. Tentunya beliau juga akan mencegahku untuk pulang dan menginginkan aku menginap saja. “Benar Nak Raja malam sudah sangat gelap untuk berkendara se
Esok pagi menjelang dan aku lekas pergi dari rumah Rindu sebelum subuh datang. Aku masih tidak terbayang betapa aku bersalah dengan mendiang almarhum Mas Danang. Bukankah Rindu hanya milik Mas Danang. Kenapa aku menyentuhnya bahkan untuk seluruh milik Mas Danang yang ada pada diri Rindu. Pagi ini belum teramat terang benar dan aku sudah meninggalkan Rumah Rindu teramat jauh. Namun saat ini aku berkendara dengan keadaan kalut bercampur bingung. Bagaimana bisa istilah Turun Ranjang ini ada di dalam satu adat istiadat tanah Jawa. Bagaimana bisa seorang yang tidak tahu menahu akan satu hubungan yang semestinya bukan milikku. Harus aku miliki dengan suka rela dalam keadaan tiada rasa cinta di dalamnya. Kabut masih menebal dan masih terlalu gelap saat aku melintasi jalan-jalannya. Sejenak roda dua yang aku kendarai menepi di satu trotoar jalan yang aku lintasi. Sekedar melepas penat dengan sebatang dan sebotol minuman kemasan yang dibawakan oleh Bu Dian saat aku berpamitan dengan belia
“Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” Bunga tampak ayu dibalut mukena biru berenda ungu di atas sajadah merah dengan motif bunga-bunga. Matanya teduh agak basah menetes hingga mukena. Kedua tangannya menengadah ke atas dengan segala harap dan memohon. Bibirnya yang masih tampak ranum mulai melafazkan kalimat-kalimat doa, zikir dan selawat. Bagaimana pun jua dia masih ada rasa sayang dan keinginan tetap bersama dengan Raja. Rasa cintanya tetap menggebu-gebu ingin bersatu sejiwa dengan Raja. Tetapi apa daya tangan tak sampai pada lengan Raja yang mungkin di waktu hampir terang ini Raja bersama Rindu jua. “Allah Ya Tuhanku maafkanlah aku bila meminta dengan menangis. Apabila Raja memang benar jodohku maka berilah hamba satu keajaiban untuk bersamanya. Namun apabila memang dia bukan milikku. Maka relakanlah hati ini untuk menjauh darinya,” usapan penuh keheningan dari dua telapak tangan Bunga. Mengusap wajahnya yang ayu alami. Tampak
“Bukankah itu Bunga di dalam taksi. Hendak ke mana dia pagi-pagi begini? Bukankah terlalu pagi untuk bepergian. Apa dia sudah mendapatkan pekerjaan lagi di kota lain?” aku coba memacu motorku agak mendekat ke arah taksi yang dinaiki oleh Bunga. Benar juga Bunga tampak tengah berpamitan pada teman-teman kosnya. Mereka seakan melepas bunga dengan lambaian tangan untuk yang terakhir kalinya. Sejenak aku letakkan motor menghadang laju taksi. Aku sudah tidak peduli hidup atau mati. Bahkan bila pagi ini memang aku harus mati, karena tertabrak taksi. Aku rela agar terlepas semua beban ruwet semrawut di dalam otakku. Aku mulai berdiri menantang maut di tengah jalannya. Bila memang Bunga akan pergi aku harus meminta maaf padanya. Mungkin juga ia pergi tak akan kembali ke kota ini lagi. Tentu aku tak ada kesempatan untuk bertemu dia lagi. Bahkan untuk mengucapkan kata maaf aku harus rela mengorbankan seluruh hidup dengan menantang maut. Sebenarnya lakon apa yang aku jalani? Sebenarnya milik