Share

Terpaksa Menikahi Calon Kakak Ipar
Terpaksa Menikahi Calon Kakak Ipar
Penulis: Cacak Endik

Danang Kecelakaan

“Kok seperti ada yang kurang ya pagi ini, tapi apa ya? Kayaknya hatiku kayak ada yang mengganjal. Seperti sedih tapi tidak tahu apa sebabnya. Apakah ini sebuah firasat atau hanya perasaanku semata,” gerutu Raja sambil memegang handuk di tangan kanannya dan satu peralatan mandi di dalam gayung plastik di tangan kirinya.

Senin pagi tanggal satu awal bulan Januari dua ribu dua puluh tiga. Sayup semilir angin pagi masih membawa segar udara alam nan alami. Gemercik sebelah belakang desa di mana rumah Pak Khotim orang tua Raja dan Danang tinggal.

Walau pagi awal bulan di awal tahun kali ini terasa teramat damai di desa Kembang Lor. Tetapi entah kenapa hati, perasaan dan otak Raja begitu tidak tenang.

Seakan ada sesuatu yang mengganjal dan sesuatu hal ihwal yang akan terjadi yang tidak benar hasilnya. Tetapi Raja jua tidak mengerti apakah yang akan terjadi atau hal buruk apa yang akan terjadi entah padanya atau pada keluarganya.

Raja masih melamun di dalam kamar mandi. Pandangannya menatap cermin persegi berukuran lima kali lima centi meter. Tepat menempel di samping tatakan peralatan mandi lainnya.

“Kok jadi dek-dekan ya hatiku denyutnya kok malah kencang. Perasaan hari ini tak ada agenda yang cukup membuat aku harus berpikir ekstra. Apa sih perasaan aneh ini, seakan ada yang hilang tapi apa ya?” gumam Raja berkumur-kumur setelah menggosok giginya.

“Dek sedang apa kau lama amat. Cepat sedikit kenapa aku ada proyek darurat ini. Kalau proyek ini tidak aku ambil, bisa-bisa tak ada tabungan aku setelah menikah nanti. Dek cepat sedikit woi!” teriak Danang yang sedang menunggu giliran mandi pagi di depan pintu kamar mandi.

Selintas seperti ada sebuah petir menghantarkan satu aliran setrum yang teramat hebat menuju otak Raja. Sejenak Raja tertegun antara sadar dan tak sadar.

Dalam bayangan Raja di depan cermin di dalam kamar mandi. Sebuah mobil hitam tengah melaju kencang tak terkendali akibat rem blong. Lalu semua buyar saat mobil hitam tersebut menabrak truk kontainer besar.

“Allahuakbar, bayangan apa itu tadi? Apa benar ini satu pertanda dari kegelisahan hatiku pagi ini. Bukankah itu mobil Abang Danang, apa bayanganku ini nyata? Ah mungkin sekedar bayangan saja,” gerutu Raja memulai mengguyur tubuhnya dengan air di dalam bak mandi.

“Dek cepat kenapa? Sudah telat Abang ini,” teriak Danang agar Raja lekas menyelesaikan mandi paginya.

“Ia Abang sebentar sabar kenapa Bang! Orang baru masuk ada saja. Kenapa tidak mandi dari subuh sekalian ah,” sahut Raja agak kesal dari dalam kamar mandi seraya mempercepat mandinya dengan cara menggosok sabun ke seluruh badan sedapatnya.

“Bawel ya kamu Raja, sudah cepat keluar nanti Abang telat. Katanya kamu hari ini enggak ada acara. Tumben pagi-pagi sudah mandi kamu?” jawab Danang terus membujuk Raja agar cepat keluar dari dalam kamar mandi.

Brak,

Pintu terbuka agak dipaksakan cenderung dibanting oleh Raja. Rupanya Raja keluar dengan hanya berbalut handuk dan muka agak ditekuk.

“Eh kamu ini ya Abang susah dibilangi rupanya ya. Tidak bisakah kamu tidak mengejar proyek-proyekmu yang jumlahnya berjibun itu. Apa tidak ada orang lain yang bisa disuruh menangani proyekmu itu dua hari ke depan. Lusa kan kamu mau menikah sama Mbak Aisyah. Kata orang tua dahulu pamali calon pengantin kelayapan sepuluh hari sebelum menikah,” oceh Raja mengomel tak karuan pada Danang dan masih di depan pintu belum beranjak. Sehingga menghalangi Danang untuk masuk ke dalam kamar mandi.

“Halah kamu ini sama saja dengan Nenek ya bisanya mengoceh saja tentang pamali. Tahun dua ribu dua puluh tiga loh ini Dek masih saja percaya takhayul kayak begitu. Sudah minggir aku mau mandi kamu jangan menghalangi jalan, awas!” jawab Danang sambil ikut marah-marah agak mendorong Raja ke samping.

Brak,

Kali ini pintu ditutup paksa oleh Danang agak keras. Sehingga suaranya terdengar sampai ruang tengah. Bu Juariah yang baru pulang dari berbelanja sayur-mayur dan ikan segar. Teramat kaget dan lekas berlari menuju arah kamar mandi.

“Astagfirullah kalian ini Raja, Danang, tidak bisakah kalian akur satu hari saja. Apa lagi kamu Raja, lusa Abangmu mau menikah dan dia akan tinggal di rumah barunya. Berarti tidak tinggal sama kita lagi, masih saja Abangnya dibuat marah!” omel Ibu Juariah masih menenteng dua keresek penuh barang belanjaan dapur.

“Lah kok aku lagi yang kena marah Bu. Abang yang mulai bukan aku, orang kalau mau keburu pergi itu mandi dari tadi. Kalau bisa dari subuh sekalian biar kedinginan terus rematik!” oceh Raja sambil berlalu menuju kamarnya.

“Ada apa sih Ibu pagi-pagi sudah ribut saja? Sudah begitu saja kok diributkan. Buatkan Bapak kopi seperti biasanya Bu,” ujar Pak Khotim datang dari halaman belakang. Rupanya ia baru saja memberi makan ayam-ayam kesayangannya.

“Ini lagi Bapak orang masih baru saja pulang belanja sudah disuruh buat kopi. Sekali-kali buat sendirikan bisa dasar Bapak!” gerutu Bu Juariah kembali berjalan menuju dapur yang tak jauh dari kamar mandi.

“Bu buat kopi bukan ngedumel. Bapak tunggu di teras kopinya seperti biasa sedikit gula,” teriak Pak Khotim yang sudah berada di teras.

“Ia, ia Ndoro Juragan sabar pasti dibuatkan kok tenang,” sahut Bu Juariah dari arah dapur.

Beberapa menit berselang Raja sudah siap dengan setelan baju untuk jalan keluar. Pagi ini Raja agak rapi dalam memakai busana.

Kemeja hitam kesukaannya telah menempel pas di badannya. Serta celana jin bergaya anak muda pas berpadu dengan sepatu hitam kasual. Tidak lupa tas selempang satu di pundak telah ia kenakan jua.

“Loh bukannya hari ini tahun baru tanggal merah toh. Kamu mau ke mana Nak sudah rapi seperti itu pagi-pagi begini?” tanya Pak Khotim sambil duduk dan menyeruput segelas kopi tak jauh dari Raja mengenakan sepatunya.

“Bapak ini kayak tidak tahu Raja saja. Kerja anakmu paling ganteng ini, lebih ganteng dari Abang tentunya ya kan, hehe. Kerjaku bukan formal seperti Abang di kantoran. Aku punya cara tersendiri dan pandangan tersendiri dalam bekerja Bapak. Pagi ini ada janji dengan teman-teman novelis di kafe tengah kota,” jawab Raja sambil menyelesaikan ikatan tali sepatunya.

“Kamu itu ya selalu saja begitu, kapan sih kamu bisa akur sama Abangmu? Kasihan Abangmu nanti kalau pas pernikahannya malah kamu ajak bertengkar lagi. Nanti kalau kalian sudah tidak tinggal satu rumah bagaimana, apa tidak kangen kamu Raja sama Abangmu?” ucap Pak Khotim seraya menyulut satu batang rokok yang sudah menempel di bibirnya yang sudah menghitam.

“Eh Bapak kenapa Danang tidak dicegah tadi? Bapak ini. Bukannya tadi Ibu sudah menyuruh Bapak untuk mengingatkan Danang. Supaya mobilnya jangan dipakai dahulu,” oceh Bu Juariah datang dari dalam rumah sambil mengomel.

“Loh memangnya kenapa toh Buk. Wong mobil dipakai Danang saja loh kok enggak boleh Ibu ini?” jawab Pak Khotim heran.

“Bukannya tidak boleh Bapak, tapi itu mobil kemarin kan remnya blong belum Bapak betulkan. Aduh bagaimana ini Danang nanti kenapa-kenapa lagi dia. Raja cepat susul Abangmu dulu Nak. Ibu takut Abangmu kenapa-kenapa di jalan nanti. Bapak sih ah!” oceh Bu Juariah marah bercampur khawatir tak karuan.

Tiba-tiba ada satu tetangga yang berlari agak tergopoh-gopoh menuju ke tempat mereka. Wajahnya tampak begitu syok seakan melihat sesuatu kengerian yang teramat sangat.

“Pak Khotim, Bu Juariah gawat-gawat!” ucap tetangga yang baru datang dengan tergesa-gesa.

“Sabar-sabar Bu Jumilah, pelan-pelan dahulu. Coba katakan ada apa, apanya yang gawat?” tanya Raja mencoba menenangkan tetangga yang baru datang yang ia panggil dengan nama Bu Jumilah.

“Gawat Mas Raja, tadi saya dan suami saya baru saja dari kecamatan. Sampai di gang depan lampu merah depan itu Pak Khotim. Saya melihat mobil hitam persis milik Pak Khotim tabrakan dengan truk kontainer. Mobilnya penyok-nyok Bu Juariah. Saya saja enggak berani melihatnya dan buru-buru kemari mengabari kalian. Sudah ya saya takut dan tak bisa bayangkan orang yang ada di dalamnya,” oceh Bu Jumilah lekas pergi kembali.

“Loh Danang!” teriak Bu Juariah tiba-tiba pingsan.

“Ya Allah, Ibu pakai acara pingsan segala. Raja coba kamu lihat ke depan gang, apa benar itu mobil kita yang di bawa Abangmu Danang, lekas Nak!” ucap Pak Khotim agak membentak Raja sebab terlalu khawatir pada Danang.

Raja jua tampak begitu gopoh dan tak karuan. Walau setiap harinya ia selalu bertengkar dengan Danang. Tetapi sejatinya ia teramat menyayangi Abangnya tersebut.

“Allahuakbar Mas Danang, bukanya sudah aku bilang jangan dulu kelayapan. Kamu memang ya selalu menganggap semua itu takhayul lah, kolot lah, orang dulu lah. Kalau sudah seperti ini bagaimana, Mas Danang!” Raja masih menggerutu walau motornya sudah ia starter. Lalu sesegera mungkin ia melaju dengan kecepatan agak kencang menuju ke depan gang. Tempat di mana terjadinya kecelakaan seperti yang disampaikan Bu Jumilah.

Komen (15)
goodnovel comment avatar
WIDIA FITRI
pamali .. ya terkadang dianggap remeh do th modern tp tdk salah jg jika kt waspada.
goodnovel comment avatar
Arma Putra
awal yang sangat epick jadi itu Danang meninggal ya
goodnovel comment avatar
Dian Sono
wau bab pertama memukau menurutku ini cantik sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status