Tatapan murka itu tak sedetik pun menyingkir dari mata Ayana. Kesal, kecewa, dan marah membaur satu. Kesal, saat mendengar dokter lain menggantikannya untuk mengoperasi Tuan Janson. Kecewa pada dokter Harold yang sudah bertindak sewenang-wenang dan menyalahi aturan. Marah, karena ternyata Andres adalah orang yang menggantikan dirinya. Benar-benar sial, Ayana merasa hari ini Tuhan tidak mengizinkannya untuk merasa sedikit tenang.
Langkah tak sabar Ayana menunjukkan bahwa gadis itu ingin segera menuntaskan permasalahan ini dengan Andres. Pecundang itu selalu bisa membuat darah Ayana mendidih. Gadis itu sama sekali tidak memedulikan tatapan heran orang-orang. terserah jika orang mau menyebutnya kejam, angkuh, atau jahat sekali pun. Tujuan Ayana kali ini hanya dua yaitu, meminta penjelasan pada dokter Harold dan ingin memberi peringatan pada si pencuri pasien.
"Kali ini kamu harus benar-benar mati, Andares!" umpat Ayana sebelum membuka pintu.
Ayana sudah tiba di depan ruangan Andres, ia memutar kenop pintu dengan perlahan. Namun siapa sangka, ketika Ayana akan membukanya, ada seseorang dari arah berlawanan yang sudah menarik pintu itu ke dalam. Tak ayal tubuh Ayana tertarik dan ia pun jatuh menimpa seseorang. Kejadian itu mengundang perhatian orang-orang di sekitar, tak lama mereka pun sibuk pada kegiatannya masing-masing. Ayana terbelalak, saat menyadari tubuhnya berada di atas tubuh pria itu. Mata mereka sudah saling bertautan, memancarkan ekspresi yang kontras dari keduanya.
"Caramu berkunjung sangat unik dokter Ayana," ujar Andres usil, pria itu masih bertahan di posisinya.
Tubuh mungil Ayana bukanlah beban berat yang harus segara disingkirkan. Lebih dari itu, Andres merasa kejadian ini sangat menyenangkan. Hiburan di pagi hari, mengapa gadis ini selalu saja membuatnya tak bosan untuk sekadar melayangkan godaan.
"Aku baru saja mau menemuimu. Mungkin ini ya yang namanya sehati?” lanjut Andres sambil menyimpan kedua tangannya di belakang leher.
"Sialan, kamu pasti sengaja!"
Ayana bangkit, dan sempat mendorong pundak Andres, hingga punggung Andres kembali membentur lantai.
"Sengaja apanya, aku bahkan tidak tahu kalau kamu mau berkunjung ke ruanganku.”
Andres sudah bangkit, ia berdiri dengan gagah di depan Ayana. Beberapa saat kemudian pria itu terlihat menepuk pakaian serba biru yang dikenakannya.
"Jangan banyak omong!" bentak Ayana, Andres agak terenyak lalu memutar bola matanya jengah.
"Aku datang ke sini bukan untuk mendengar bualanmu. Cepat jelaskan apa yang terjadi dengan proses operasi Tuan Janson?”
Kening Andres berkeurt, “Jelaskan apanya?”
Ayana menarik surai kecokelatannya ke belakang. Berbicara dengan orang ini memang memerlukan tingkat kesabaran yang tinggi dan itu sangat sulit untuk Ayana lakukan. Bagaimana dia bisa menahan emosi lebih lama sedangkan setiap kata dan tingkah laku Andres kerap membuatnya naik darah.
"Aku yakin kamu enggak bodoh. Kamu pasti tahu apa yang aku maksud. Cepat jelaskan atau aku hajar kamu!”
“Wow, sukanya main hajar ternyata. Aku tidak keberatan dihajar olehmu tapi jangan di sini, terlalu banyak orang, tidak akan seru. Nanti kita cari tempat sepi, ya?”
Ayana menendang tulang kering kaki Andres sampai laki-laki itu menahan ringisannya. Dia malu kalau harus teriak di tempat umum.
"Cih cukup basa-basinya, aku mau tanya kenapa kamu merebut pasienku? Tuan Janson adalah pasienku sejak awal, aku yang akan mengoperasinya lalu kenapa tiba-tiba kamu campur tangan?”
"Kamu bertanya pada orang yang salah, Sayang. Kalau mau tahu tentang itu harusnya jangan tanya padaku.”
Andres mencolek dagu Ayana dan mendapat tepisan kasar dari gadis itu. Andres terkekeh lucu. “Coba kamu tanya dokter Harold, tanyakan kenapa dia memutuskan mengganti dokter yang akan mengoperasi pasien VIP itu. Apakah aku terlalu hebat atau mungkin ... kemampuanmu yang terlalu standar untuk pasien VIP?”
Andres meramu ekspresi yang benar-benar memuakkan. Ayana ingin melenyapkan wajah itu jika ia bisa.
"Ini ulahmu, kan?" tuduh Ayana tak berdasar.
Andres membentuk seulas senyum. Lengkungan bibir yang tak bisa dibilang indah. Lebih dari itu, ia mulai bosan dengan perbincangan alot ini.
"Memang sulit ya bicara dengan manusia berotak batu. Bebal, tidak bisa diberi tahu.”
Perdebatan semakin memanas, sungguh, mereka sudah terjebak dalam atmosfer kemarahan yang pekat. Andres yakin Ayana tidak akan menyerah sampai salah satu dari mereka kalah. Pria itu mendecih singkat, hawa panas menggerogoti hatinya. Gadis yang satu ini memang sulit diajak berdamai. Kepala batu!
"Karena aku tidak akan pernah memberi kesempatan pada orang munafik untuk memperdayaku.”
Andres mengangguk paham, baiklah, dia menyerah. Ia sudah terlalu banyak membuang waktu untuk bermain dengan Ayana. Masih banyak pekerjaan penting yang harus ia kerjakan ketimbang beradu argumen dengan gadis itu. Sampai mulutnya berbusa pun Ayana tidak akan percaya pada penjelasannya.
"Jangan terlalu angkuh, Ayana, kamu tidak pernah tahu kapan keangkuhan itu akan menghancurkanmu.”
Andres berlalu melewati Ayana, belum sampai tiga langkah kakinya bergeser pria itu berbalik dan mengungkapkan sesuatu yang mengoyak harga diri Ayana.
"Dokter Harold tidak akan mengambil keputusan ini seandainya dia benar-benar percaya padamu. Renungkan saja, mungkin masalahnya ada padamu. Jangan sembarangan menyalahkan orang lain. Kamu tahu, seseorang yang tidak mawas diri adalah pecundang yang sebenarnya."
Nada bicara Andres menguarkan sensasi dingin yang mampu membekukan waktu. Ayana tertegun, ia ingin membalas perkataan Andres, tapi lidahnya kelu. Usai berucap dingin, Andres meleburkan kembali suasana dengan senyuman manis tulus dari hatinya.
"Aku duluan, Tuan Janson pasti sudah menantikan dokter tampan ini di ruang operasi."
Andres menepuk pundak kiri Ayana lalu melengos begitu saja.
“Sial!”
Ayana mendesah kasar, lalu memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Dia belum menyerah, tujuan berikutnya adalah ruang kendali operasi, dr. Harold pasti ada di sana.
Tuan Janson adalah salah satu investor utama di rumah sakit Downtown, tidak heran seluruh tim medis ingin memberikan perawatan dan pelayanan terbaik guna kesembuhan pria paruh baya itu. Hal ini pula yang menjadi alasan dr. Harold turun langsung untuk mengawasi jalannya proses operasi yang akan dilakukan oleh Andres.
Lima menit berlalu, akhirnya Ayana tiba di ruang kontrol operasi yang berada di lantai sepuluh. Beberapa dokter sudah siap mengamati proses operasi Tuan Janson di ruangan itu."Dokter Harold, kita harus bicara," tukas Ayana mengalihkan perhatian orang-orang ketika ia menghampiri dr. Harold."Dokter Ayana, kenapa kamu masih di sini?" Kaget dokter Harold sontak membuat Ayana mengernyit."Operasinya sebentar lagi akan dimulai. Sebaiknya kamu cepat bersiap!"Segala pertanyaan yang telah disiapkan Ayana menguap. Mungkinkah dokter Harold sedang mempermainkannya?""Apa maksud Anda?" tanya Ayana bingung."Seharusnya kamu sudah masuk ke ruangan itu dan melakukan tugasmu. Kenapa kamu masih di sini?”“Justru itu yang ingin saya tanyakan pada Anda, Dokter. Apa-apaan ini, kenapa Anda menggantikan saya dengan dokter Andres tanpa pemberitahuan apa pun sebelumnya.”“Kita bicarakan masalah itu nanti, sekarang cepat kamu
"Maaf Dok, semua ini memang salah saya."Ayana menunduk sesal. Ia tahu kata maaf tidak akan memperbaiki keadaan. Hanya saja Ayana tetap melakukannya, setidaknya dengan meminta maaf bisa sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya. Ayana sedang berada di ruang kerja dokter Harold, terletak di lantai enam belas dengan ukuran cukup luas membuat siapa saja bisa melihat pemandangan kota New York yang padat dan tidak pernah tenang."Duduklah dokter Ayana,” titah dokter Harold ramah.Pria berambut ikal halus ini memang terkenal ramah. Semarah apa pun atau sebesar apa pun rasa kecewanya terhadap seseorang, ia tidak pernah menunjukkannya secara gamblang. Semampunya dokter Harold selalu berusaha menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya. Ayana tergelak, ia menuruti perintah dokter Harold untuk duduk meski ragu."Sekali lagi maafkan saya.""Jika kamu menyesal, ubahlah sifat burukmu itu Ayana."Dokter Harold meletakan kedua tangan kekarnya di ata
"Sudah lama?" tanya Ayana menghampiri Willy."Belum, hanya lima belas menit. Satu jam pun aku sanggup untuk menunggumu, Ayana."Willy mulai menggombal, Ayana tersipu lantas memukul pelan dada bidang prianya. Willy mengunci tangan mungil itu di sana, mengikis jarak antara dirinya dengan Ayana kemudian merengkuh kekasihnya erat."Ahh, aku rindu sekali pelukan wanita manja ini," tutur Willy, menyimpan dagunya pada puncak kepala Ayana."Aku juga rindu kamu,Wil. Kamu tahu, akhir-akhir ini Andres kembali berulah. Aku selalu dibuat kesal setengah mati olehnya," rajuk Ayana sambil mengeratkan pelukannya.Gadis itu menenggelamkan wajah lelahnya pada dada bidang sang kekasih; mencium aroma maskulin khas prianya yang teramat ia suka."Dia memang menarik, aku jadi ingin kenal lebih dekat dengannya.”"Itu ide tergila yang pernah aku dengar. Sebaiknya kamu tarik kata-katamu barusan,Wil. Kamu pasti menyesal.""Kenapa?
"Kamu masih kesal padanya?" tanya Willy.Saat ini ia dan Ayana sedang berada dalam perjalanan pulang. Setelah sebelumnya pasangan kekasih itu sempat meluangkan waktu mereka untuk makan malam di restoran langganan mereka yang ada di kawasan Soho, Manhattan."Tentu, dia pasti merekam kita saat ciuman tadi,Wil. Bagaimana kalau dia menyebarkan foto atau video ciuman kita? Aku harus bagaimana?”"Tidak usah dipikirkan, tenang saja, semua itu tidak akan terjadi. Dokter Andres tidak akan melakukannya.""Kamu tidak tahu saja betapa menyebalkannya pria itu, dia orang sinting yang rela melakukan apa saja demi melihatku kesulitan.""Dokter Andres benar, sepertinya kamu memang tahu banyak tentangnya.”"Oh God, jangan bilang kamu cemburu padanya,Wil?""Jika benar, memangnya kenapa?"Ayana terkekeh geli. Wanita itu tidak habis pikir bagaimana bisa Willy cemburu akan hubungan uniknya dengan Andres. Ini seperti
Willy Tolimson, pria itu masih sibuk berkutat dengan segudang pekerjaan yang di San Capital Corporation, perusahaan milik keluarganya. Ia menjabat sebagaimanajer keuangan di sana. Terlahir dari pasangan Calvin Tolimson dan Dyana, membuat kehidupan Willy begitu diberkati dengan materi yang melimpah. Sejak kecil pria muda bertalenta ini memang sudah diarahkan untuk belajar bisnis dan mengelola perusahaan.Tidak seperti kebanyakan anak konglomerat lain yang merasa terkekang atau terbebani oleh keinginan orang tuanya. Willy justru sangat menikmati kehidupannya. Ia mencintai keluarganya, juga segala aturan yang berlaku di sana. Terlepas dari segala kesenangan hidup yang Willy punya, pria itu tengah menatap kertas undangan pernikahannya dengan lekat. Ia memejamkan mata dan menghempaskan tubuhnya ke sebuah sofa panjang yang ada diruang kerja pribadinya."Apa yang harus kulakukan?" desahnya frustrasi.Menjelang hari pernikahan yang tinggal satu minggu lagi suasana
"Selamat pagi," sapa beberapa penghuni di ruang kerja tim satu departemen HPB.Mereka menyambut Ayana dengan baik meski ada beberapa yang tak menganggap kehadirannya. Ayana tersenyum kikuk. Ia belum terbiasa bekerja di tim itu walau sudah satu minggu ia bergabung di sana."Dokter Ayana, katanya minggu depan dokter akan menikah, ya?” tanya Gerald, salah seorang dokter di sana."Iya, benar. Kalian mau datang?" tanya Ayana mencoba seramah mungkin.“Bolehkah? Kalau tidak keberatan tentu kami mau datang ke pernikahan Anda, Dok,” sahut Gerald langsung disepakati tiga rekannya yang ada di sana, mereka juga tertarik untuk datang ke pernikahan Ayana.“Tentu saja boleh, nanti aku berikan undangan pada kalian, tunggu saja. Oh ya, dokter Andres mana?” tanya Ayana tiba-tiba membuat tiga orang di sana saling tatap heran.Kabar perseteruan Ayana dan Andres sangat melegenda di rumah sakit itu, jadi wajar kalau setiap departemen
Ayana sedang sibuk menyiapkan acara pernikahannya. Mulai dari vendor, EO, dekorasi, dan hal-hal terkecil untuk pernikahannya diatur oleh gadis itu. Willy dan orang tuanya sedang ada di Indonesia, tiga hari sebelum pernikahan Willy pamit ke Indonesia pada Ayana untuk mengurus bisnis di sana.Sejauh ini semuanya berjalan sesuai dengan rencana, tidak ada kendala berarti yang memusingkan sang empunya hajat. Jika dipersentasekan mungkin persiapan pernikahan Ayana sudah mencapai angka 95%. Ayana sangat bahagia, tidak menyangka jika hubungannya dengan Willy yang baru berjalan satu tahun ini bisa berujung di pelaminan. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi istri yang baik untuk Willy. Kepala gadis itu sudah dipenuhi oleh rencana-rencana indah yang siap ia realisasikan usai menyandang status sebagai istri sah Willy Tolimson.Sudah satu minggu Ayana tidak berhubungan dengan Willy. Rencananya Willy dan keluarga baru akan terbang ke New York besok pagi. Mengingat acara per
Katedral St. Patrick08.35 amKatedral St. Patrick, bangunan bergaya Neo-Gothic ini terletak di kawasan Midtown Manhattan, New York City. Sekitar setengah jam perjalanan dari kediaman Ayana yang berada di pemukiman Civic Center. Gereja rancangan James Renwick Jr. Dan Wiliiam Rodrigue ini akan menjadi saksi penyatuan cinta Ayana dan Willy. Ya, tepat di hari sabtu agung ini keduanya akan mengucap janji suci. Dihadiri puluhan orang, yang terdiri dari kerabat juga rekan kerja keluarga Ayana.Tidak banyak kerabat Willy yang hadir. Semua tamu sudah memasuki gedung katedral. Duduk di kursi panjang yang berjejer di ruang utama. Katedral ini memang sudah sangat mewah. Tanpa perlu dihias secara berlebihan tempat agung bagi umat Kristen dan Khatolik itu sudah sangat memanjakan mata. Sebuah piano klasik berwarna hitam legam sudah ditempatkan di dekat altar, Daniel –bocah cilik itu yang akan memainkannya nanti. Khusus untuk acara penti