Share

KAU MENGGANGGUKU

Suara dingin itu membuat Ele tersentak kaget.

Dia menoleh, masih dalam posisinya tersungkur di lantai. Effendy berdiri dengan gelas kosong di tangannya. Laki-laki itu tampak sedikit tampan dengan piyama hitam dan rambut cokelatnya yang jatuh terburai di dahi.

Ele terhipnotis, seakan melupakan keadaannya yang dalam situasi menyedihkan. Herannya, setelah beberapa kali melihat Effendy, ini pertama kalinya Ele menyadari bahwa lelaki itu tampan. Mungkin karna selama ini Ele hanya melihat sifat dingin dan kakunya saja.

Melihat darah di telapak tangan Ele, Effendy menghela napas berat. Sorot matanya yang dingin kini terlihat capek.

Dia menaruh gelasnya di atas meja pantry, lalu membungkuk. "Apa yang ingin kau lakukan di dapur?" tanyanya.

"Aku hanya ingin minum air..."

Effendy menghela napas gusar. "Kau tahu fungsi tombol di samping ranjangmu?"

"Aku hanya tidak ingin mengganggu Maritha. Ini adalah jam istrahat..." jawab Ele, sekarang dia sudah duduk di atas lantai, menekan luka di tangannya agar darahnya tidak merembes.

"Kau tidak ingin mengganggu Maritha, tapi kau menggangguku sekarang," dengusnya.

Sebelum Ele tersadar, tubuhnya sudah melayang. Dia mengerjap terkejut saat menyadari dirinya sudah berada dalam gendongan laki-laki yang berstatus suaminya itu. Hanya sebentar, tubuhnya sudah ditaruh kembali di kursi rodanya.

Effendy mendorong kursi rodanya, menuju kamar Ele. Ia sebenarnya ingin bilang kalau dia masih haus dan ingin minum, tapi sekarang dia tak berani memandang ke belakang atau bersuara karena merasakan aura gelap yang memancar dari sosok Effendy.

Tiba di sisi tempat tidur, tanpa mengatakan apa pun, Effendy mengangkat tubuhnya lagi.

Aroma tubuh laki-laki itu tercium oleh Ele. Aroma yang menenangkan kalau tidak melihat wajah jutek Effendy.

Lelaki itu menekan tombol hijau di sisi tempat tidur Eleanor.

"Ini gunanya untuk memanggil maid, biarkan maid melakukan tugasnya. Dengan begitu, tidak akan ada banyak masalah merepotkan yang terjadi," ujar Effendy, membuat Ele menggigit bibirnya tidak enak.

"Maafkan saya, Tuan."

Maritha muncul di ambang pintu kamar, wajahnya masih terlihat sedikit berantakan. Sang maid tampak kaget melihat majikannya berada di kamar tersebut.

"Ada sedikit kekacauan di dapur. Obati lukanya, dan siapkan air minum di atas nakas setiap malam." Setelah memberi titah, Effendy berlalu dari sana.

Maritha lekas menghampiri Ele dengan raut cemas dan dengan sigap mengambil kotak P3K dari laci, kemudian mengobatinya.

Eleanor semakin merasa bersalah melihat mata bengkak Maritha yang dipaksa bangun dari tidurnya.

"Maaf sudah mengganggu tidurmu, Maritha," ujar Ele setelah tangannya terbalut kasa.

"Jangan meminta maaf, Nona. Ini adalah tugas saya. Untunglah tadi Tuan tidak marah karena saya lalai--"

Eleanor menggeleng. "Bukan kesalahanmu. Aku yang ceroboh karena bersikap mampu. Padahal--"

Mendadak tenggorokannya terasa kering, Ele tak mampu mengatakannya. Tapi ia juga tak ingin menyusahkan banyak orang. Kakinya yang hampir lumpuh ini tentu bukanlah kehendaknya. Termasuk kecelakaan yang hampir membahayakan nyawanya.

Ele tidak ingin hidup seperti ini, tetapi ia tak bisa menyalahkan takdirnya.

Air mata hampir mendesak keluar, dan Maritha tampak mengerti akan kegundahan hatinya.

"Lain kali, jika Nona membutuhkan bantuan, Nona bisa menekan tombol itu, ya."

"Saya tidak terbiasa merepotkan orang lain. Maafkan saya, ya. Justru saya membuat semuanya semakin kacau."

Maritha tersenyum sambil menepuk tangannya pelan. Maritha kemudian keluar. Tak sampai lima menit, Maritha sudah masuk kembali ke kamarnya, bersamaan dengan nampan yang berisi teko porselen dan segelas air minum. Benda itu diletakkannya di atas nakas.

Maritha pun undur diri dan mengatakan akan membereskan kekacauan di dapur.

Lagi-lagi, Ele hanya bisa tersenyum sendu sambil duduk terdiam di atas pembaringannya.

"Ah, aku memang sangat merepotkan," keluhnya pelan.

Eleanor besar di panti asuhan, di mana sedikit keluhan adalah tabu dan ia dituntut mandiri semenjak kecil. Karena itulah dia tidak suka situasi di mana dia merepotkan orang lain.

Ele meraih gelas di atas nakas dan kemudian meneguknya pelan.

Pikirannya tiba-tiba melayang pada Effendy.

Untung pria itu berhasil menemukannya dan menolongnya. Jika tidak ada pria itu, bagaimana dengan nasibnya? Rumah sebesar itu, apakah akan terdengar jika ia berteriak meminta tolong?

Ele kira, Effendy akan memarahinya dan mengeluarkan kata-kata dingin dan sadis, tetapi pria itu malah dengan sigap membawanya ke kamar.

Dan Ele jadi teringat dengan tampilan Effendy yang tampan dan harum...

Sesaat, Ele menggeleng-gelengkan kepalanya.

***

Eleanor terbangun keesokan paginya. Dia merasa sekujur tubuhnya terasa pegal. Luka ditangannya masih berdenyut nyeri. Dia mendesis ngilu tanpa sadar, bertepatan dengan matanya yang tiba-tiba menangkap sosok asing di dalam kamarnya. Effendy Chislon Abimanyu berdiri bersedekap tak jauh dari ranjangnya, dan melihat ke arahnya.

Effendy menatapnya dengan datar dan lurus. “Apa itu sakit?”

“Apa?” tanya Ele bingung.

Effendy berdecak. Sebelum melanjutkannya, pria itu melengos, menghindari tatapannya. “Tanganmu yang terluka kemarin.”

Ele mengangguk-anguk. “Tidak, aku baik-baik saja kok,” ujar Ele sambil menunjukkan tangannya yang sudah dilapisi kain kasa. Maritha merawatnya dengan baik, sehingga Ele tidur tanpa merasa kesakitan atau terganggung.

Berbeda dengan Ele, Effendy semalam tak bisa tidur dengan nyenyak. Melihat Eleanor tampak tenang, tidak menangis atau kesakitan meski tangannya sudah berlumuran darah, itu mengusik hatinya.

Apa perempuan itu menahannya? pikir Effendy.

Tapi setelah melihat Ele tidur dengan tenang dan tampak baik-baik saja, Effendy menyesal telah mengkhawatirkannya.

“Bangun dan bersihkan dirimu. Jangan hanya bermalas-malasan.”

Eleanor mendelikkan matanya dalam diam. Namun, dia tak berani berbicara.

“Maid akan membantumu. Tolong tidak ceroboh dan kembali merepotkan orang lain.”

Usai mengucapkan kalimat dingin itu, Effendy berlalu meninggalkan kamar Eleanor.

Ele menunduk, badannya sedikit gemetar. Merepotkan? Benarkah dirinya seperti itu di mata Effendy, suaminya?

Selepas kepergian Effendy, Maritha pun masuk ke dalam kamar. “Nona, mari saya bantu untuk mandi.”

Ele tak menjawab, membiarkan Maritha bergerak, menyiapkan bajunya kemudian membawa sisir rambut ke arahnya.

“Nona, biar saya sisir rambutnya.”

Ele mendongak, dengan senyum tertahan ia menggeleng. “Tidak perlu.”

“Tidak apa-apa, Nona.” Maritha lalu menyisir rambutnya dengan pelan.

Entah mengapa yang dilakukan Maritha itu membuatnya ingin menangis. Maritha melakukannya dengan baik, tak ada paksaan, tetapi perkataan Effendy yang mengatakan dirinya merepotkan itu terus bergaung dalam pikirannya.

Seolah-olah setiap orang yang berada di dekatnya diharuskan untuk memperhatikannya. Ele yang biasa melakukan apa-apa sendiri, bahkan jarang merepotkan orang lain, kini merasa tidak enak hati.

Ele kemudian berkata, “Yang lumpuh adalah kakiku, bukan tanganku, Maritha. Jadi, tidak perlu menyisiri rambutku, aku bisa melakukannya sendiri kok.”

Gerakan tangan Maritha berhenti, ia mengangguk mengerti, kemudian pamit ke kamar mandi untuk menyiapkan air.

Dan bersamaan dengan kepergian Maritha, setetes air mata jatuh ke pipi Ele.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status