Share

Terpaksa Menikahi Putra Konglomerat
Terpaksa Menikahi Putra Konglomerat
Penulis: Igamurti Ndekano

KARNA BALAS BUDI

"Aku tidak pernah menginginkan kamu apalagi pernikahan ini sejak awal. Kamu hanya akan menjadi tanggung jawabku, bukan orang yang aku anggap sebagai pendampingku."

Ele mendengar ucapan itu keluar dari bibir Efendy Chislon Abimanyu. Laki-laki dua puluh lima tahun itu tengah menatapnya datar. Elle menunduk di atas kursi rodanya.

Kemarin, mereka sudah mengucapkan janji suci pernikahan atas dasar pemenuhan janji Effendy pada mendiang ibunya. Dan ini adalah kali kedua mereka bertemu kembali setelah pernikahan selesai dilangsungkan.

Effendy tidak meminta pendapat Eleanor dalam pernikahan mereka sama sekali. Dia hanya menyeret Ele masuk dalam altar, di mana janji suci seharusnya diucapkan tanpa paksaan.

Effendy duduk di atas sofa di tengah ruang tamu kediamannya, terlihat mengamati Eleanor dengan pandangan menilai. Melihat Eleanor tidak jua memberi tanggapan, Effendy menyilangkan kakinya dengan angkuh. Ruang tamu luas keluarga Abimanyu itu berselimut sepi yang kosong, memperjelas kecanggungan dan jarak di antara keduanya.

"Kenapa kamu tidak menjawab?" Effendy tersenyum miring. "Jangan bilang kamu juga mengharapkan pernikahan ini."

"Aku... Hanya merasa tidak enak," ujar Ele dengan nada tertahan.

Ele dapat melihat sorot meremehkan dalam pandangan Effendy. Alih-alih sedih, Ele lebih terlihat merasa bersalah. "Kalau Tuan tidak menginginkan pernikahan ini, seharusnya Tuan tidak menikahiku dan menyiksa diri Tuan sendiri."

Effendy mengubah posisinya, dari yang menyilangkan kaki menjadi duduk tegap. Tampak pria itu agak terganggu mendengar cara Eleanor menyebutnya.

Laki-laki itu mengeleng ke arahnya. "Eleanor..." Effendy mengingat nama yang diucapkannya kemarin di tengah-tengah altar di depan pendeta saat mereka mengucapkan janji suci. Eleanor mengangguk samar.

"Aku melakukan ini atas permintaan ibuku. Aku tidak bisa mengingkari janji pada perempuan yang paling aku cintai di dunia ini. Maka, jika aku sekalipun harus menikahi seorang wanita murahan, aku akan tetap menikahinya jika itu yang diinginkan ibuku," desisnya dingin.

"Maka nikmati saja peranmu. Ingat, tidak boleh ada kontak fisik di antara kita, kau tidak boleh mengakui statusmu dan tidak boleh memunculkan dirimu saat aku bersama dengan kolegaku maupun teman-temanku."

"Apa ini yang Nyonya Theresa mau?” tanya Ele dengan perasaan yang sesak.

"Jangan menanyakan hal yang tidak perlu kau tanyakan," cetus Effendy.

Mendengar jawaban dingin itu, perasaan Ele membeku.

Ele menyelamatkan ibunda Effendy dari kecelakaan saat Nyonya Theresa nyaris ditabrak mobil. Dia mengutamakan naluri kemanusiaannya meski pada akhirnya dia harus berakhir di kursi roda. Dan Ele tidak tahu bahwa wanita yang ditolongnya adalah Therese Gallia Abimanyu, istri mendiang konglomerat Indonesia, Astakara Abimanyu.

Setelah Ele monolongnya, Nyonya Theresa selalu mengunjunginya setiap hari di rumah sakit.

Sayangnya, Nyonya Theresa meninggal bulan lalu karena penyakit kanker yang dideritanya. Sebelum meninggal, perempuan itu menitipkan pesan pada putra tunggalnya, Effendy Chislon Abimanyu untuk menikahi Ele.

Dan, disinilah Eleanor sekarang, dinikahi seorang pria yang bahkan baru di awal pernikahan mereka tampak sudah ingin menyuguhkan “neraka”. Eleanor menggigit bibirnya pelan.

"Di rumah ini ada delapan orang maid, dua diantaranya yang akan mengurusi keperluanmu. Jika kau butuh sesuatu, hubungi mereka, jangan melapor atau menghubungiku jika tidak benar-benar urgent. Kau mengerti?"

"Ya," jawab Eleanor pendek.

Effendy berdiri dan meninggalkan Elle yang duduk di atas kursi roda itu. Dia menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Sekejap kemudian tubuhnya yang tegap dan tinggi menghilang di balik lekukan tangga.

"Mari Nona, saya antar ke kamar."

Ele tampak sedikit terkejut saat saat suara seorang perempuan menyeruak di belakangnya. Dia menoleh kebingungan.

Seorang wanita muda dengan pakaian maid tersenyum ke arahnya.

Sang maid mendorong kursi roda Ele memasuki sebuah kamar yang lumayan luas dengan nuansa cream yang memukau. Ranjangnya luas, mengingatkan Ele pada ranjang para putri di film-film disney.

"Ini adalah kamar Anda Nona," ungkap sang maid ramah sembari menyibak gorden jendela kamar yang cukup lebar.

Pemandangan taman samping kediaman Abimanyu langsung tampak begitu gorden disingkapkan.

"Saya Maritha, maid pribadi Anda."

Eleanor mengangguk. "Dengan keadaanku yang sekarang, aku rasa kehadiranmu akan sangat membantuku," balas Eleanor sembari tersenyum.

Maritha terlihat tulus, dia membawa ekspresi tenang dan dewasa. "Saya akan membantu Anda membersihkan diri." Dengan dipapah oleh Maritha, Eleanor masuk ke dalam bath up berisi air setelah pakaian luarnya sudah ditanggalkan.

Ele mengenakan selembar kain yang melilit tubuhnya dari bawah bahu hingga pertengahan paha. Itu permintaan Ele sendiri yang merasa tidak nyaman untuk sepenuhnya terbuka, meski Maritha seorang perempuan.

Tak lama kemudian, Eleanor sudah selesai membersihkan diri, berpakaian rapi dan meminta Maritha membiarkannya seorang diri dulu.

Eleanor duduk di depan jendela kaca kamarnya di atas kursi roda, menatap  taman yang tersiram matahari sore yang lembut.

Seumur hidupnya, Ele tidak pernah bermimpi akan berakhir di sini. Dia adalah orang yang tidak suka terlibat masalah dan menjalani kehidupannya dengan monoton, tidak suka tantangan dan tanpa neko-neko. Yang membuatnya harus berakhir disini bermula pada sifatnya sendiri yang begitu mudah tersentuh dengan kesulitan orang.

Memang tidak masuk akal. Eleanor tidak pernah menyesal membantu Nyonya Therese, namun dia sungguh tidak mengharapkan konsekuensi bahwa ia akan berakhir dinikahi oleh laki-laki yang tidak mencintainya. Apakah hidupnya akan baik-baik saja?

Ele menggelengkan kepalanya dan mendadak berjengit ketika ponsel di saku bajunya berdering. Itu dari Tristan, editornya.

"Hallo? Bagaimana keadaanmu, Le?" tanya Tristan, suaranya menunjukkan khawatir.

Mendengar pertanyaan itu, suasana hati Ele semakin bertambah muram. “Aku baik, Mas.”

"Aku harap kamu bisa selesaikan tulisanmu, El. Harapannya sih bulan depan sudah launching, penggemarmu sudah tidak sabar dengan series terbarumu."

"Iya, aku sedang mengerjakannya."

"By the way, di mana kamu? Aku menjenguk ke panti, ke apartemenmu, atau rumah sakit tapi kamu tidak ada."

Ele terdiam. Ia memang sengaja tidak memberi tahu siapa-siapa. Termasuk Tristan, orang terdekatnya. Ele melakukan itu hanya karena ia tidak ingin orang-orang semakin khawatir padanya.

Biarlah, Ele yang akan menyelesaikan ini sendiri.

"Aku tidak bisa bilang sekarang, Mas. Kalau tiba waktunya aku akan beri tahu, ya."

Terdengar Tristan menghela napas panjang. "Baiklah, aku tunggu naskahnya, Sayang."

"Iya."

Pembicaraan terputus. El menatap layar ponselnya sedang pikirannya berjalan ke mana-mana.

Elle bekerja menjadi penulis. Bukan penulis yang terkenal sekali, tapi setidaknya bukunya sudah berjejer di toko buku. Genre bukunya bertema horror, thriller, dan ada beberapa bertema teen fiction, dan biasanya dia membuat series yang selalu ditunggu-tunggu oleh pembaca setianya.

Ele hanya lulus SMA, dia juga tidak di adopsi dan seiring beranjak dewasa, Ele membantu mengurus panti asuhan. Berawal dari kegemarannya membaca dan mencoba menulis, Elle akhirnya bisa menulis dan memiliki usaha penerbitan sendiri, Hadasa Publish, tentunya dibantu dengan dana dari Tristan juga.

Untungnya, promosi gencar yang mereka lakukan melalui media sosial dan forum-forum berjalan lancar hingga menghasilkan. ratusan ribu peminat dan penggemar novel karya Eleanor.

Ele tersenyum saat membayangkan itu. Ia sangat berterima kasih pada Tristan, pria yang lebih tua tiga tahun darinya, dan sudah menjadi sosok kakak baginya.

Dengan pelan, Eleanor menggulir kursi rodanya menuju laptopnya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, lalu membuka laptopnya dan memeriksa naskahnya yang sempat tertunda dia lanjutkan karena kecelakaan itu.

***

Ele terbangun tengah malam, layar laptopnya masih menampilkan ketikan naskah yang dia buat. Rupanya Eleanor tertidur di depan laptopnya. Dia merasa haus. Perempuan itu mengucek matanya dan memeriksa ponsel, pukul satu dini hari. Ele celingak-celinguk dan ternyata Maritha tidak menyediakan air minum di kamarnya.

Ele bergerak bangkit, kursi rodanya berada tepat di sisi ranjang.

Dengan piyama birunya, Ele menumpukan berat badannya pada kedua tangan kemudian mengangkat tubuhnya sendiri ke atas kursi roda.

Ia lalu memencet tombol di bagian lengan kursi dan kursi roda mulai bergerak maju menuju pintu. Dengan sabar, Ele membawa dirinya menuju dapur. Itu cukup jauh karena ukuran kediaman Abimanyu memang cukup luas, meski tidak dikatakan sebagai mansion.

Ele akhirnya sampai di dapur, namun permasalahannya sekarang dia baru menyadari kalau gelas itu berada di rak yang lumayan tinggi.

Dengan penuh tekad, Ele berpegangan pada meja pantry dan menurunkan kakinya pelan-pelan. Dia berusaha menarik napas panjang dan kemudian mencoba berdiri.

Sayangnya, kakinya terasa lemas dan nyeri. Eleanor mengulurkan tangan berusaha membuka rak, diikuti ringisan pada wajahnya karena kakinya semakin nyeri.

Ele berhasil membuka rak tersebut, tapi kakinya tak cukup kuat. Tangannya hanya dapat menyentuh gelas, dan detik berikutnya bunyi pecahan gelas terdengar diikuti dengan tubuhnya yang ambruk karena kehilangan keseimbangan.

Eleanor meringis. Telapak tangannya teriris pecahan gelas. Namun, bukan itu yang dia khawatirkan. Bukan lukanya, melainkan gelas milik seseorang yang telah dia pecahkan.

“Apa kau memang suka merepotkan orang?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status