Share

2. Kenyataan Pahit

Hartanto, Siti Aminah, Almira dan Siska saling pandang. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu.

"Sudahlah Adara, jangan menolak lagi. Jangan berdebat dengan orang tua, sebagai anak yang berbakti kamu harus menurut, apa kamu mau berdosa?!" Almira menyibakkan rambut kecokelatannya.

"Ngaaak! Aku gak mau."

Adara berlari keluar dari rumahnya. Sedih dan kesal membuatnya lupa memakai sandal. Ia berlari tanpa alas kaki.

"Keterlaluan. Kenapa harus selalu aku? Kenapa sikap mereka selalu berbeda jika padaku? Sebenarnya aku ini anak mereka bukan, sih?"

"Aku akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Agar mereka tak menemukanku."

Adara menggerutu seorang diri sambil terus berlari. Sesekali ia mengernyit kesakitan. Kakinya menginjak bebatuan dan kerikil tajam.

Dari halaman rumahnya ia berlari ke arah selatan menuju jalanan beraspal. Hari sudah mulai gelap ketika ia sampai di halte bus.

Adara menghempaskan tubuhnya, duduk di kursi besi memanjang biru. Ia mencoba merogoh kedua sisi kantong celana. Tak menemukan apa-apa ia menundukkan kepala, kebingungan.

Gegabah. Ia berlari tanpa membawa uang sepeserpun. 

"Bagaimana ini?"

Adara tak ingin pulang ke rumah. Kembali dipojokkan dan menerima posisi sulit. Ia tak mau dipaksa menikah.

Rintik hujan mulai jatuh membasahi tanah. Adara mendesah perlahan, semakin resah.

"Hujan …." Ia berdiri dari duduknya, mendongak menatap langit. Berjalan ke depan lalu menengadahkan tangan. Ia menampung air hujan dengan kedua jemari tangan. 

Kakinya kembali melangkah. Kini, Adara berada di luar halte. Ia merentangkan kedua tangan, membiarkan tubuhnya kehujanan di bawah rintik air.

Ia sesenggukan, pundaknya bergetar. Mengingat semua kejadian dalam hidupnya. Ia selalu bernasib malang.

Adara mendongakkan kepala. Sebuah payung bermotif pelangi menaunginya. Ia menengok ke belakang dan terperanjat.

"Siapa kamu?" Adara mundur beberapa langkah. Menjauh dari sosok yang memayunginya. Lampu penerangan jalan yang temaram membuatnya tak begitu melihat dengan jelas.

"Jangan takut. Aku tidak berniat jahat."

"Kenapa kamu disini? Jangan-jangan kamu mengikuti aku, ya?"

"Tolong jangan berpikir macam-macam. Saya hanya melaksanakan tugas."

"Tugas? Tugas apa? Siapa yang menugaskanmu?" Kening Adara berkerut. Ia menatap sang lelaki dengan tajam, "Kamu mau menculik aku, ya?"

Lelaki dengan setelan celana kain dan sweater panjang berwarna biru itu maju, "Jangan berpikiran macam-macam. Saya hanya ditugaskan untuk memberikan ini."

Lelaki tadi mengulurkan sebuah paper bag.

"Apa ini?"

"Mari kita berteduh dulu, Nona." Lelaki tadi kembali memayungi Adara. Menuntunnya menuju halte bus.

Mereka kini duduk di dalam halte. Karena masih curiga dan merasa tak mengenal si lelaki Adara mengambil jarak dua meter dari tempat duduk si lelaki. Malam-malam hujan seperti itu sudah tidak ada yang berkeliaran dan menaiki angkutan umum. Semua orang sudah memiliki kendaraan pribadi.

Untuk beberapa saat suasana di dalam halte itu sedikit canggung. Adara menatap paper bag di pangkuannya. 

"Bukalah, itu untukmu. Pakailah saat aku menjemputmu besok."

"Besok? Menjemput aku? Siapa kamu sebenarnya?"

"Maaf, saya lupa memperkenalkan diri." Lelaki berpostur tinggi tegap tadi mengulurkan tangan, "Aku Julio Pratama. Keponakan sekaligus asisten di kediaman keluarga Ibrahim."

Adara kembali mengernyitkan alis, "Keluarga Ibrahim?"

Anak ketiga dari keluarga Hartanto Wijaya itu masih belum mengerti apa yang dikatakan lelaki yang mengaku bernama Julio Pratama. 

"Maksudnya? Tolong jelaskan semuanya dengan sejelas-jelasnya."

"Jadi begini, Andriansyah Ibrahim adalah majikan saya. Dia yang menyuruh saya memberikan ini. Besok saya akan menjemput nona pukul sepuluh pagi. Silakan pakai pakaian di dalam paperbag ini."

Adara masih belum juga mengerti apa yang terjadi. Ia tak tahu bahwa sebelum meminta pendapat padanya Ayahnya Hartanto sudah mengajukan dirinya sebagai calon pengantin keluarga Ibrahim.

Hartanto sang ayah sudah memberikan semua data persyaratan pernikahan milik Adara. Seminggu lagi pernikahan itu akan segera terjadi. Tak memerlukan jawaban Adara, ia bersedia atau tidak. Dirinyalah yang terpilih menjadi pengantin pengganti.

"Jadi Ayah sudah menetapkannya? Ia memilihku?" lirih Adara. Suaranya sangat pelan nyaris tak terdengar.

"Sebenarnya, kakak pertamamulah yang seharusnya menjadi pengantin Tuan Muda kami. Sejak kecil mereka sudah dijodohkan."

"Apa?" Adara langsung menoleh ke arah lelaki yang berjarak dua meter darinya.

"Hari semakin malam, sebaiknya kamu pulang sekarang. Mari saya antarkan," tawar Julio Pratama.

Tanpa Adara ketahui sore tadi Julio memang akan pergi ke rumah keluarganya. Tak disangka Adara berlari keluar dari rumah saat ia akan berbelok ke halaman rumah keluarganya.

Julio Pratama mengikuti gadis itu dari belakang. Terus memperhatikan gerak-geriknya dari dalam mobil yang diparkir sekitar lima meter dari halte.

"Mari, saya antarkan Nona pulang." Julio Pratama berdiri dari duduknya.

Adara masih diam terpaku. Otaknya masih mencerna semua perkataan utusan keluarga Ibrahim itu.

"Jadi, mereka memang sengaja menumbalkan aku untuk menggantikan tempat kakak pertama menikahi anak majikanmu itu, hah?"

"Pada dasarnya memang seperti itu." Julio Pratama berkata sambil melangkah lebih dulu. Ia masuk ke sebuah mobil sedang hitam di pinggir halte bus. 

"Ayo, masuklah!" kata lelaki dengan setelan sweater biru itu lagi.

Sejenak Adara memindai sekeliling. Setelah hujan jalanan lengang dan sepi. Ia menurut, melangkah pelan menuju mobil hitam yang berhenti tepat di hadapannya.

Di dalam mobil baik Adara atau pun Julio Pratama tak banyak berkata. Mereka saling diam.

Saat mobil telah terparkir di depan rumah Adara, ia langsung masuk tanpa berkata apa pun. Sebaliknya, Julio Pratama merasa tak perlu masuk ke rumah untuk bertemu keluarga Adara.

"Dari mana saja kamu?" hardik Siti Aminah.

"Adara …."

"Apa kamu mau melarikan diri dari rumah ini, dasar anak tidak tahu diuntung," tuduh wanita berperawakan tinggi dan langsing itu.

"Kalian jahat, Ibu dan Ayah pilih kasih!" teriak Adara.

Tetes air hujan berjatuhan perlahan dari pakaian dan rambut Adara. Siti Aminah memelototi paper bag yang dibawa gadis berusia tujuh belas tahun itu.

"Dari mana kamu? Apa yang kamu bawa itu?" Tatapan sinis Siti Aminah menyapu rata seluruh wajah Adara.

"Aku belum ingin menikah."

"Aku tak ingin menikah dengan orang yang tak kukenal."

"Batalkan pernikahan ini, Bu?" brondong Adara. Ia mengeluarkan semua isi di hati yang lama dipendam.

Julio Pratama membuka pintu mobil. Ia jengah sedari tadi mendengarkan keributan di dalam rumah Adara.

"Permisi, selamat malam," ucap Julio Pratama dengan ramah.

Siti Aminah terkesiap. Ia mengerutkan keningnya menatap tamu tak diundang itu, "Siapa kamu?"

Siti Aminah mulai mengaitkan kedatangan laki-laki di depan pintu dengan Adara yang baru saja datang dalam keadaan basah kuyup.

"Oh, jadi karena tak mau menikah dengan lelaki yang harus kamu nikahi kamu memilih berzina dengan lelaki ini? Betul begitu?"

Bola mata Siti Aminah menatap tajam Adara dan Julio pratama bergantian.

"Tidak, tidak, bukan begitu Ibu." Adara segera membantah.

Siti Aminah menarik rambut panjang Adara. Menariknya menjauh dari dekat pintu. Ia segera berteriak dengan kencang, "Ayah, cepatlah kemari. Lihatlah anak kesayanganmu ini!" 

"Sakit Ibu, lepaskan!" Adara meronta kesakitan.

"Dasar anak sialan."

"Ada apa ini?"

***Terpaksa Menikahi Tuan Muda***

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status