“Ini tehnya, Sayang.” Bas meletakkan secangkir teh di atas meja teras. Tepat di samping meja itu, istrinya duduk di atas kursi roda.
“Terimakasih, Bas. Seharusnya aku yang membuatkanmu teh.” Amanda tersenyum namun terlihat rona kesedihan di matanya. Ia ingat, dulu setiap sore ia selalu menyambut kepulangan Bas dengan secangkir teh dan sepiring pisang goreng.
Semenjak sakit, tubuhnya semakin lemah, ia jadi mudah capek dan lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat. Kalaupun ingin memasakkan sesuatu untuk suaminya, hanya sebatas mengarahkan dan mbok Nem-lah yang mengeksekusi. Pernah suatu hari ia ingin membuatkan minuman untuk Bas, kecelakaan kecil terjadi, air panas yang seharusya ia tuang ke cangkir malah membasahi kakinya. Semenjak itu Bas melarang istrinya membuat sesuatu di dapur kalau tidak ada yang mendampingi.
“Kenapa harus begitu?” Lelaki tiga puluh lima tahun itu mengambil posisi duduk di satu sisi meja lainnya lalu meneguk tehnya.
“Karena aku istrimu.”
“Hmm, kau meremehkanku ya, kau anggap aku tak bisa membuat teh seenak buatanmu?”
Amanda tertawa kecil mendengar Bas berseloroh, lalu ikut meneguk teh buatan suaminya. MasyaAllah, nikmat.
“Teh buatanmu tentu saja enak,” katanya sembari tersenyum.
“Ya, tentu saja, kau tidak akan menemukan teh seperti ini dimanapun. Ada satu resep rahasia di dalamnya.”
“Oh, ya? Apa itu Bas?”
“Cinta,” jawab Bas sambil menatap dalam istrinya. Amanda hanya tertawa mendengar gombalan suaminya. Dari dulu, Bas selalu romantis. Semenjak Amanda sakit, jadi semakin romantis.
“Terimakasih, Sayang, kau selalu membuatku bahagia.” Satu tangan Amanda mengusap pipi Bas yang dibalas suaminya itu dengan mengeggam tangan sang istri.
“Kau juga Amanda. Aku selalu bahagia bersamamu.”
Sesaat sepasang suami istri itu saling menatap. Lalu Amanda menarik tangannya yang ada dalam genggaman Bas, menarik napas berat dan berujar, “Tapi Bas, ada sesuatu yang membuatku gelisah belakangan ini.”
"Sayang, ingat kata dokter. Kamu tidak boleh banyak pikiran. Apa yang membuatmu gelisah? Ceritakanlah."
“Hmmm, Bas, aku ingin tanya. Menurutmu, bagaimana Ayana?”
“Ayana? Kenapa tiba-tiba bertanya tentangnya? Aku hanya bertemu dia sebentar, sebelum berangkat dan saat pulang kantor. Ceritakan padaku, apakah dia merawatmu dengan baik? Oh, aku tahu kamu pasti ingin memecatnya tapi tidak tega, kan? Biar aku saja. Besok aku akan menunggunya datang dan memecat nya. Sudah cukup selama ini kita beri dia kesempatan."
"Bukan, Bas. Bukan." Amanda tertawa. "Kau ini berlebihan sekali. Ayana merawatku dengan baik, Sayang. Tadi dia belajar membuat roti canai kesukaanmu.”
Bas berdecak. “Belajar masak, belajar ngaji, belajar merawat tanaman, dia pikir rumah kita tempat kursus apa? Biar kutegur dia besok, tugasnya merawatmu di sini, malah merepotkanmu dengan minta diajarin ini itu.” Bas meneguk tehnya lagi untuk menenangkan diri. Gadis itu kenapa selalu mengesalkan, sih, gumamnya dalam hati.
“Jangan, Bas. Aku menyukainya. Aku senang dia mau belajar dariku. Aku merasa berguna dan dibutuhkan."
“Kau bicara apa, Manda? Selama ini aku selalu membutuhkanmu.”
“Iya Bas, aku tahu. Maksudku aku senang bisa melakukan hal yang berguna untuk orang lain siapapun itu. Kata Pak ustad, ilmu yang bermanfaat itu amalnya tidak akan terputus, meski kita sudah meninggalkan dunia ini.”
Bas menarik napas, dan menghempaskannya perlahan. Dipandangi istrinya itu dalam-dalam. “Baiklah, Sayang, apapun itu asal kau bahagia.”
“Oh, ya, tadi pagi aku memarahinya lagi. Sudah datang terlambat, pakai acara ngobrol dulu dengan Yudis lama sekali, membuatku kesal saja.”
Amanda tergelak.
“Kenapa kau galak sekali padanya, Bas? Anak seusia dia, harusnya masih kuliah dan nongkrong di kafé bareng teman-temannya. Dia hanya butuh teman ngobrol,” bela Amanda.
“Apa kau… cemburu?” Amanda lalu mengamati wajah suaminya
“Cemburu?” Bas tertawa sampai terbatuk-batuk. “Yang benar saja! Kenapa aku harus cemburu? Aku hanya kuatir dia tidak merawatmu dengan baik."
“Itulah, Bas. Selama ini kau selalu memikirkan siapa yang merawatku, bagaimana denganmu? Siapa yang merawatmu?”
“Kenapa denganku? Aku baik-baik saja, tidak butuh perawat.”
“Bas, dulu aku bisa melayanimu, memasakkan makanan kesukaanmu, merawatmu ketika sakit, menemanimu jalan-jalan dan acara kantor, tapi sekarang…”
“Sayang, kau ini bicara apa?" Bas cepat-cepat memotong. "Kalau soal memasak, sudah ada Mbok Nem. Dan juga ada Yudis yang menemaniku ke mana-mana. Itu cukup.”
“Tidak Bas. Mbok Nem dan Yudis itu beda. Bagaimana kalau kamu ... menikah lagi?"
“Astagaa!" Bas mengusap wajah dengan kedua tangan. Belum pernah Amanda mengatakan ini sebelumnya. Kenapa tiba-tiba ...
"Sepertinya kau lelah, Sayang. Bicaramu jadi ngelantur begini. Ayo istirahat!" Bas beranjak, hendak mendorong kursi roda istrinya ke kamar, namun sentuhan lembut sang istri menahannya.
"Tidak, Sayang. Aku baik-baik saja dan dengan sadar mengucapkannya. Kamu tahu Bas, aku mencintaimu, hingga sering berpikir, bagaimana jika aku sudah tak ada nantinya."
"Sayang ..." Bas memeluk wanita yang sudah dinikahinya selama lima tahun itu. "Jangan mendahului takdir Tuhan. Jangan memikirkan hal yang belum pasti terjadi.”
“Kematian itu pasti, Bas. Entah waktuku tinggal sebentar atau masih lama, aku hanya ingin menjalani hidup dengan tenang, dan aku merasa tenang jika kau menikah lagi dengan perempuan yang tepat, Bas.”
“Tidak Manda. Aku sudah berjanji akan setia padamu dan tidak akan mengingkari itu.”
“Kalau kau setia padaku, menikahlah dengan wanita pilihanku, Bas. Menikahlah dengan ... Ayana."
*
Ayana memperhatikan sekeliling ketika sampai di depan rumah Bosnya. Hanya ada Yudis yang sedang mempersiapkan mobil. Segera Ayana menghampirinya.
“Yudis!” Ayana memanggil setengah berbisik. Ia takut ketahuan oleh Bas dan dimarahi lagi seperti kemarin.
Yudis menghentikan aktivitasnya membersihkan mobil. Ia menoleh ke arah pemliki suara. “Oh, kau, Ayana!” Pemuda itu tersenyum.
“Kau sudah sarapan?” tanya Ayana
“Sudah."
“Makan sedikit lagi tak apa-apa, kan.” Ayana mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebelum berangkat, ia membeli sebungkus getuk singkong yang dijual tetangga. Ia lalu duduk di tepi trotoar tepat di mana depan mobil bosnya terparkir yang diikuti oleh Yudis.
“Kau datang lebih pagi hari ini Ay?” tanya Yudis sambil menikmati getuk singkong yang dibawa Ayana.
“Ya biar kita bisa lebih lama ngobrol denganmu." Ayana terkekeh.
“Dis, boleh kutanya sesuatu?” tanya gadis sembilan belas tahun itu lagi
“Tanya apa?”
“Hmm, nanti sajalah!” Ayana sebenarnya ingin minta pendapat Yudis tentang permintaan Amanda tempo hari, tapi urung dilakukan. Ia berpikir, mungkin saja Amanda tak serius saat itu. Hanya sedang melankolis saja.
“Ah, kau ini bikin aku penasaran saja, Ay!”
"Tak usah penasaran, aku hanya ingin tanya apakah getuknya enak?”
“Bohong! Ekspresi wajahmu serius sekali tadi!” Yudis tak percaya dengan jawaban Ayana.
Mereka berdua lalu sama-sama tergelak dan saling melempar candaan, sampai sebuah suara menghentikan obrolan mereka.
“Ayana!”
Kedua muda-mudi itu spontan menoleh.
"I-iya. Saya, Pak?"
“Kita harus bicara!” Tanpa menunggu jawaban, Bas membalikkan badan, berjalan ke arah rumah, sementara Ayana mengikuti dari belakang.
“Duduklah,” titah Bas ketika mereka sampai di teras.
“Apa ... Amanda mengatakan sesuatu padamu?” tanya Bas ketika mereka berdua telah sama-sama duduk di kursi teras.
“Mengatakan sesuatu?” Ayana balik bertanya, setiap hari tentu saja bos wanitanya itu mengatakan sesuatu padanya, mengatakan apa yang dimaksud Bas? Apa yang dimaksud tentang pernikahan? Ayana menerka-nerka dalam hati.
“Tentang pernikahan. Tentang ... ia.. ingin aku ... menikahimu,” jawab Bas sedikit terbata. Ia merasa tak enak hati sendiri menyebutkannya
“Oh, i.. iya Pak,” jawab Ayana gugup.
“Kau tahu, kan, betapa aku mencintai istriku?”
Ayana menelan ludah. “Iya, Pak, tentu. Bapak tidak mungkin menyetujui, kan. Saya pikir Ibu juga tak serius mengatakannya. Ibu mungkin hanya ... sedang emosional saja.”
“Tidak. Amanda serius," potong Bas. "Dan aku ... setuju.”
“Ma-maaf. Gimana, Pak?” Ayana merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Menikahlah denganku Ayana, akan aku berikan apapun yang kau minta.”
Ayana menatap bosnya tak percaya. Apapun yang kuminta?
“Kecuali satu," sambung Bas. " Tolong, jangan minta aku untuk mencintaimu!”
Ramaikan kolom komen ya, Gaess yg minta lanjuut.
Kedua orang di kamar itu kompak menoleh saat Ayana membuka pintu.“Ayana ....” Bas memanggil lirih.Matanya dan Ayana sempat saling pandang beberapa detik sebelum istri kecilnya itu membalikkan badan lalu membanting pintu.Ayana berlari keluar rumah, tangisnya pecah. Baru kemarin Pak Bas mengusirnya dari kamar, menolak ditemani dan disuapinya, tapi perempuan itu, siapa dia? Kenapa Pak Bas bisa dengan mudah menerimanya?“Ayana mau ke mana?”Yudis yang sedang membersihkan mobil langsung melempar kanebo di tangan, begitu melihat ada yang tak beres dengan istri Tuannya.Gegas ia mengejar Ayana. “Minggir Yudis, aku mau lewat!” seru Ayana ketika tubuh tinggi laki-laki itu menghadang di depannya.“Jangan pergi lagi Ayana, semua mengkhawatirkanmu.”“Bohong!”Ayana berusaha melewati Yudis, namun cekalan tangan Yudis menahannya.“Yudis!!!” Sebuah teriakan membuat Yudis dan Ayana menoleh.“Berani kau sentuh lagi istriku?” Bas melangkah dengan cepat dan beringas ke arah mereka. Cepat-cepat Yudis
“Kondisi vital pasien semakin melemah, Pak. Hanya keajaiban Allah yang bisa menyelamatkan. Silakan Bapak masuk untuk mentalqin Ibu.”Kalimat dokter barusan membuat Bas tercekat. “Istri saya pasti bisa selamat, Dok. Lakukan apa saja yang bisa menyematkannya, Dok! Tolong!” Bas mengguncang bahu dokter yang sudah dikenalnya cukup baik itu.“Maafkan saya, Pak, hidup mati di tangan Allah.”“Tolong, Dok, tolong!” Kali ini Bas menggenggam erat tangan sang dokter.Ayana mengusap-usap punggung suaminya, mencoba menenangkannya. “Ayo Pak, kita temui ibu mumpung masih ada waktu.”Ia membimbing Bas masuk ke dalam kamar Amanda.“Sayang, bangun Sayang, kita harus membesarkan anak kita bersama!” Bulir bening mulai membasahi pipi Bas yang menggenggam erat tangan sang istri.“Pak, bisikkan kalimat tauhid di telinga ibu, Laailahaillallah…” Ayana mengingatkan.Sudah dua kali ia berada di sisi orang yang sedang menghadapi sakratul maut, yaitu saat meninggal kakek dan ayahnya. Saat itu, selain ia dan ibunya,
Dengan waktu tempuh sekitar dua jam, akhirnya taksi yang ditumpangi Bas dan Ayana tiba di rumah sakit. “Pak, kita sudah sampai.” Ayana berbisik di telinga Bas. Suaminya itu memang sempat tertidur di tengah perjalanan tadi, selepas dokter kandungan meneleponnya dan mengatakan akan melakukan tindakan operasi demi menyelamatkan ibu dan bayi. Bas menurut, apapun yang menurut dokter terbaik, ia pasrah. “Bapak, kita sudah sampai!” ulang Ayana sambil menepuk pelan pipi Bas. “Hah, sudah sampai di mana kita, Ayana?” Bas membelalakkan matanya.“Rumah Sakit, Pak.”Suami tampannya itu tiba-tiba terlonjak, segera turun dari taxi. Yudis yang kebetulan tengah berada di lokasi parkir menghampiri tuannya.“Mana istriku, Yudis?” Bas mengguncang pundak Yudis.“Ibu sudah melahirkan, Tuan.”“Istriku … baik-baik saja, kan?”“Baik Tuan, hanya masih lemas dan belum bisa bangun dari tempat tidur. Saya mau pulang ambil beberapa pakaian Ibu.”“Alhamdulillah." Bas mengusap wajah dengan kedua tangannya, lalu m
Pukul lima pagi lebih sedikit. Di luar masih gelap, tapi suara musik yang membangkitkan semangat sudah terdengar. Agenda rombongan piknik hari ini adalah senam pagi.Bas mengulurkan tangan pada Ayana yang baru saja selesai mengikat tali sepatutnya. “Ayo!”Pasangan yang keluar kamar sambil bergandengan tangan itu, menjadi sorotan.“Suit-suit couple of the year udah keluar kamar tuuuh!” kata salah seorang yang sudah berada di pekarangan hotel semenjak tadi disambut sorak sorai yang lain.“Wah Ayana pagi-pagi udah keramas aja. Ngga dingin Ay!” goda seorang yang lain, gatel pengen komen melihat rambut Ayana yang basah.“Namanya juga pengantin baru, kalo perlu sehari tiga kali keramas juga dijabanin!”Semuanya tekekeh. Kecuali Stella tentu saja, yang memandang dua sejoli itu dengan tatapan penuh dengki.Ayana tersenyum canggung, apalagi Bas tiba-tiba mencium pucuk kepalanya di depan orang-orang. “Aaaaakkk." Karyawan cewek pada histeris, uwuw sekali, begitu menurut mereka.“Ngga usah lebay,
“Ciye Ayana, ciyeee …” Office boy dan office girl yang turut serta piknik dan duduk di bagian belakang bus menyoraki Ayana ketika gadis itu nampak berjalan bersama bos mereka. Ayana hanya melambaikan tangan sambil tersenyum. Tak terlalu lama Ayana mengenal teman-teman OB nya itu. Ia hanya bekerja sehari sebagai Office Girl di kantor Bas setelah itu alih profesi menjadi perawat Amanda. Tapi ada satu dua orang yang ia kenal cukup baik, karena selepas keluar dari kantor Bas, mereka masih saling bertukar kabar lewat chat WA.“Maaf, Pak, saya hanya menuruti perintah Ibu Amanda,” ucap Ayana ketika ia dan Bas telah duduk di bus. Ia merasa tak enak hati, takut kehadirannya tak diharapkan Bas.“Tak apa, aku senang kau ikut, aku merasa lebih aman bersamamu.”Bas risih terus-terusan didekati Stella, tapi mau bicara jujur pada Stellapun ia tak tega. Dengan adanya Ayana, pasti Stella jadi tau diri, tak akan pedekate lagi pada Bas, begitu pikirnya.“Ih, Bapak, emang saya satpam!” protes Ayana.Bas m
“Hmm… Harum sekali ....” ucap Bas begitu menginjakkan kaki ke ruang makan. Di sana kedua istrinya sudah berkumpul mempersiapkan sarapan. Ayana memasak sementara Amanda menata meja makan sambil duduk di kursi rodanya.“Ayana masak nasi goreng kemangi Bas,” jawab Amanda yang lalu mendapat satu kecupan Bas di keningnya.“Oh, ya?” Bas lalu beralih menuju dapur di mana Ayana sedang berdiri di depan kompor, mengaduk nasi dengan spatula di atas wajan.“Kelihatannya enak.”Ayana menoleh ketika Bas mengecup pipinya. Semenjak kedatangan Bu Ratih, memang sikap Bas sedikit demi sedikit mulai mencair terhadapnya. Pasti Bu Ratih memberi nasihat yang banyak pada anak lelaki semata wayangnya itu, tebak Ayana.Mencium kedua istrinya adalah rutinitas Bas setiap pagi sebelum berangkat kantor dan sore sepulang kerja. Tanpa perlu disuruh Amanda lagi, Bas akan memberikannya juga untuk Ayana. Terkesan tulus, tak lagi terpaksa seperti sebelumnya.Bas juga tak lagi menjadikan kehamilan Amanda sebagai alasan un
“Silakan tehnya Nyonya, Den Bagas…” Mbok Nem meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Satu untuk Bas, satu lagi untuk Bu Ratih ibunda Bas yang baru datang dari kota sebelah untuk mengunjungi anak mantunya. “Terimakasih, Mbok,” sahut Bu Ratih. “Mbok sekarang ke rumah Amanda saja ya, siapa tahu dia butuh sesuatu, saya mau di sini dulu bicara pada Bas.”“Baik, Nyonya.” Mbok Nem paham, ada hal penting dan pribadi yang akan dibicarakan Bu Ratih pada anaknya, maka iapun bergegas pergi.Bu Ratih mengambil cangkir tehnya, minum seteguk, lalu menarik napas panjang. “Bas… Bas…” Ia mengusap-usap penuh sayang kepala sang anak.“Ternyata, jatuh cinta bisa membuat orang sekacau ini, ya," ujarnya. "Meski sudah tua." Ia lalu tertawa kecil.Bu Ratih datang tepat saat Bas melayangkan tinjunya pada Yudis, tapi ia memilih untuk cepat-cepat datang ke rumah Amanda, memastikan bahwa mantunya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan suaminya. “Bukan masalah jatuh cinta, Bu, tapi aku ini suaminya. Di mana ha
Tiga puluh menit Bas dan Amanda duduk di meja makan, tapi Ayana tak jua datang untuk sarapan seperti biasa. Bas melirik arlojinya dengan gelisah.Kemana anak itu? Apa ia masih marah karena kejadian kemarin?“Coba kau tengok ke rumahnya, Bas.” Amanda memberi saran. Meski tidak diungkapkan ia tahu, suaminya menunggu Ayana. "Rumahnya? Rumah siapa?" tanya Bas, pura-pura tak paham."Tentu saja rumah Ayana, Bas. Kau menunggu dia, kan?" "Hah? Menunggu? Tidak sama sekali. Biarkan saja, mungkin dia belum lapar." Bas mulai menyuap sarapannya, berusaha terlihat tak peduli. "Bas, ayolah. Apa aku yang harus ke sana?" “Eh, jangan-jangan, Sayang. Biar aku saja kalau kau memaksa." Bas pun beranjak, menuju rumah Ayana.Tanpa mengetuk, Bas membuka pintu rumah lalu menuju kamar Ayana. Ia dapati Ayana masih meringkuk di atas ranjang dengan selimut.“Astaga, kau masih tidur?” Bas berdecak. Ia melangkahkan kaki mendekati ranjang.“Semalam kau pasti begadang gara-gara menonton drama Korea lagi, kan.” Lel
Pagi hari, Ayana sudah berpakaian rapi ketika tiba di rumah Amanda untuk sarapan. Sudah menjadi rutinitas mereka bertiga untuk sarapan bersama sebelum Bas berangkat ke kantor.“Cantik sekali Ayana,” puji Amanda begitu melihat adik madunya datang.Bas yang tengah mengupas apel untuk Amanda melirik, ingin mengatakan hal yang sama namun ia urungkan, cukuplah dalam hati saja.Ayana tersenyum, menarik kursi kosong di samping Amanda lalu duduk.“Biar saya, Pak!” Ia menengadahkan tangan kanannya, meminta apel yang dipegang Bas. “Bapak sarapan saja.”Bas menurut, diserahkannya apel itu pada Ayana tanpa kata, lalu mengambil roti tawar di atas meja dan mengolesnya dengan selai.“Kau sudah belajar semalam?” tanya Amanda. Hari ini Ayana akan berangkat untuk ujian masuk Universitas Negeri.“Sudah, Bu.”“Baguslah, semoga lulus, ya, Ayana. Kau bisa kuliah di tempat yang kau impikan.”“Terimakasih, Bu,” ucap Ayana lalu memberikan sepiring apel yang sudah ia kupas dan potong-potong pada Amanda. Setelah