เข้าสู่ระบบPagi hari yang sangat cerah, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela, menyinari ruang makan dengan hangat. Angel dan Angga tengah menikmati sarapan pagi mereka. Udara terasa tenang, namun ketegangan samar menyelimuti Angel yang berusaha terlihat santai.
“Sayang, Gimana menurut kamu tentang Putri?” Tanya Angel Angga, yang sedang mengupas kulit pisang dengan gerakan lambat dan hati-hati, mengangkat wajahnya. “Putri? Menurutku… dia anak yang baik, Sopan. Kenapa memangnya?” Jawab Angga. “Bagus kalau begitu.”batin Angel tersenyum, senyum yang sedikit terlalu lebar. mencondongkan tubuh sedikit. “Kamu cocok kan sama dia? Maksudku, kamu nggak ada keberatan sama sekali, kan?” Ucap Angel. Angga berhenti mengupas pisang, pandangannya tertuju pada Angel. Jeda sesaat itu membuat Angel menahan napas. "Iya, cocok-cocok aja sih," jawab Angga santai, melanjutkan aktivitasnya. "Kenapa sih kamu kelihatan tegang banget, Sayang? Aku nggak akan menolak calon yang sudah kamu pilihkan ko" Ucap Angga. Angel menghela napas lega, senyumnya kini tampak lebih tulus. “Syukurlah kalau kamu cocok. Jadi, mau kapan ijab qobulnya? Biar cepet sah, dan kita bisa segera dapat anak. Aku nggak sabar liat kamu punya anak kandung” Suara Angel penuh semangat, meski dibalik semangat itu tersimpan rencana besarnya. Angga tersentak. Anak? Secepat itu? Ia teringat percakapannya kemarin malam dengan Ibunya. Skenario yang harus ia jalankan. Ia harus mengulur waktu dan mencari celah. Angga memaksa dirinya untuk tetap tenang, menyembunyikan getaran dalam suaranya. “Sayang…” Angga meletakkan pisang yang sudah terkupas separuh. Ia mengambil tangan Angel, menggenggamnya. “Kamu nggak perlu urus masalah ijab qobul ya. Biar aku saja yang urus.” Angel langsung menarik tangannya, raut wajahnya berubah curiga. “Lho, kenapa, Sayang?!” Suaranya sedikit meninggi. “Ini cuma nikah siri, Angga! Nggak perlu surat-surat yang ribet. Aku cuma tinggal hubungi penghulu ‘di bawah tangan, beres dalam sehari! Kenapa kamu tiba-tiba mau ambil alih?!” Tanya Angel. “Bukan begitu maksud aku, Angel,” Angga berusaha berbicara dengan nada paling menenangkan. “Ini masalah prinsip, Sayang. Masalah agama, dan keabsahan di mata Tuhan.” Ucap Angga. “Maksudnya?” Tanya Angel. “Dia… Putri itu anak yatim piatu, kan?” Angga bertanya, matanya menatap Angel lurus. “Iya, terus? Itu nggak ada hubungannya dengan ijab qobul kilat kita!” balas Angel, nada ketidakpercayaannya kentara. “Kamu tau wali nikah dia siapa?” Angga bertanya lagi, nadanya sedikit memberat, seolah ini adalah pertanyaan yang sangat serius. Angel terdiam, ia menggelengkan kepala perlahan. “Nah, kamu aja kagak tau, Sayang,” Angga berkata, nadanya kini penuh penekanan. “Makanya itu, biar aku saja yang urus. Aku nggak mau main-main dengan hukum nikah. Kalau kamu yang urus, takutnya kamu salah, asal nyari wali saja. Entah itu wali hakim yang nggak berhak, atau bahkan wali palsu.” Angga menarik napas dalam-dalam. “Nanti aku yang tidak sah menikahinya, aku juga yang dosa. Aku nggak mau ibadahku rusak hanya karena terburu-buru.” Ucap Angga menjelaskan Angel masih diam. Di wajahnya terlihat jelas ia sedang berhitung dan menimbang. Angga melihat keraguan Angel dan melanjutkan penjelasannya dengan mantap. “Jadi, biarkan aku yang telusuri ini. Aku harus cari paman, atau saudara laki-laki dari pihak ayahnya yang sah, yang bisa menjadi wali nasab untuk Putri. Ini butuh waktu, Angel. Harus benar-benar diteliti silsilahnya.” Ucap Angga Batin Angel bergemuruh. “Sial! Kenapa dia tiba-tiba sok agamis banget tentang masalah wali? Biasanya dia nurut-nurut aja! Tapi… dia benar. Kalau pernikahannya nggak sah di mata agama, dia nggak akan mau punya anak dari Putri. Dan kalau nggak punya anak… rencana gue untuk dapet harta warisan bakal gagal total!” Batin Angel, menggigit bibir bawahnya. “Nggak, nggak… kali ini biarin dia aja deh yang urus. Dia kan taat banget agamanya. Lebih baik gue iyain daripada dia curiga dan malah batalin semua. Harta Angga jauh lebih penting daripada harga diri gua!” Batin Angel. Angga memperhatikan Angel melamun dengan wajah tegang. Ia menyentuh tangan Angel lagi, kali ini lebih lembut. “Sayang, gimana? Boleh aku yang urus? Aku janji akan secepat mungkin. Aku hanya ingin semuanya halal dan sah di mata Tuhan,” tanya Angga dengan nada membujuk. Angel menghela napas panjang, tatapannya menunjukkan kekalahan. “ Yasudah… kamu saja yang urus,” ucap Angel dengan suara yang terdengar pasrah dan sedikit kesal. Angga tersenyum kecil, sebuah senyum lega yang ia tutupi dengan segera. “Oke, Sayang. Thank you sudah mengerti.” Ia pura-pura berpikir sejenak. “Oh ya, tolong kirimkan nomornya Putri ya. Biar aku bisa menghubunginya. Aku harus bicara langsung untuk mencari tau tentang silsilah dan wali-walinya. Aku nggak mau kamu capek-capek mengurus hal serumit ini.” Angga berusaha terdengar sesantai mungkin, seolah meminta nomor telepon hanyalah urusan birokrasi kecil. “Iya, aku kirimkan nomornya ke kamu ya,” ucap Angel, meraih handphonenya dengan sedikit gerakan kasar. “Oke,” jawab Angga singkat, hatinya melonjak kegirangan. Betapa jantungnya berdetak kencang saat berbohong seperti itu, rasanya seperti berlari maraton sambil menahan napas. “Sayang, udah aku kirimin ya nomornya,” ucap Angel, nadanya masih sedikit dingin. “Iya oke,” jawab Angga, kini lebih rileks. Angel mengubah ekspresinya menjadi jauh lebih lembut, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Sayang…” Ucap Angel dengan manja, menyandarkan kepalanya ke bahu Angga. “Ya?” Ucap Angga. “Aku mau minta uang lagi. Aku mau shopping.” Ucap Angel. Angga menghela napas. “Kan tinggal pake CC aja, Angel. Itu CC limitnya gede banget, Sayang” Ucap Angga. “Ahhh, aku maunya uang di Transfer ke aku aja,” Angel merajuk, menggoyangkan tangan Angga. “Aku nggak mau pake CC! Aku maunya uang cash di rekeningku!” Ucap Angel. Angga menarik napas dalam-dalam dan membuangnya. Ia tahu perdebatan ini tidak akan ada habisnya. Daripada membuang energi, lebih baik ia segera menuruti. Ia meraih ponselnya. “Udah aku Transfer,” ucap Angga, lelah. “Ingat, Angel. Jangan boros-boros.” Lanjut Angga. “Yeah! Makasih Sayang! Kamu memang suami yang paling baik sejagat raya!” Ucap Angel senang, ia segera mencium pipi Angga dengan penuh semangat. “Iya, sama-sama,” jawab Angga. “Aku siap-siap dulu ya! Mau shopping sama teman-teman aku. Doakan aku dapat baju-baju cantik! Oke, muachh!” Ucap Angel, bergegas meninggalkan Angga, meninggalkan jejak parfum mahalnya. Angga hanya memandangi punggung Angel yang menjauh. Tangannya segera meraih ponselnya, mencari kontak yang baru saja dikirimkan Angel. "Putri," bisiknya pelan, senyum tulus merekah di bibirnya. Bersambung…Aku berjalan menuju ruang utama Masjid An Nur, langkahku terasa berat seperti dirantai. Angga sudah duduk di depan penghulu, tampak rapi dengan jas hitamnya. Angel, dengan kebaya mewahnya, duduk di samping Angga, memancarkan aura kemenangan yang dingin. Saat pandanganku menyapu ruangan, aku berhenti. Napasku tercekat. Di barisan tamu, ada sepupu bernama Imam dan di samping Imam (sepupuku), duduklah sesosok pria yang sangat kukenal. Uwa Iwan. Kakak kandung almarhum Ayahku. “Uwa Iwan!” sapaku, segera berjalan cepat menghampirinya, rasa terkejut dan haru membuat tenggorokanku tercekat. Aku langsung mencium tangannya. Tangannya hangat, menenangkan. “Putri…” Uwa Iwan menggenggam tanganku erat. Matanya menunjukkan rasa iba yang dalam. “Uwa... Uwa bisa ada di sini?” tanyaku, bingung sekaligus lega. Bagaimana Angga bisa menghubungi beliau? Angel bilang semua akan siri, tanpa wali resmi! Uwa Iwan tersenyum tipis, “Angga sudah menceritakan semuanya ke Uwa, Put. Dia datang dan menjelaskan
Beberapa hari keemudian,Akhirnya Nenekku sudah dibolehkan pulang kerumah. Rasa syukur yang tak terhingga membanjiri hatiku. Aku sangat senang.“Sini, Nek, pelan-pelan. Aku bantu,” ujarku lembut, memapah tubuh ringkihnya yang keluar dari TaksiSetelah Nenek duduk nyaman di sofa, aku langsung bergerak cepat. Aku merapikan semua barang-barang dari rumah sakit, membereskan sisa-sisa kekacauan di kamar.“Pokoknya Nenek harus sehat terus ya, Nek. Janji! Jangan sakit-sakit lagi. Aku cuma punya Nenek doang di dunia ini,” Ucapku, menarik Nenek ke dalam pelukan yang erat dan penuh haru. Air mataku sedikit menetes.Nenek membalas pelukanku, mengusap punggungku perlahan.“InsyaAllah Put, Nenek akan jaga kesehatan. Maaf ya, Sayang... Maaf sudah menyusahkanmu terus,” suaranya terdengar serak.Aku melepaskan pelukan, menatap mata tuanya yang penuh kasih. “Tidak, Ko Nek! Jangan pernah ngomong begitu! Dulu juga hanya Nenek yang merawatku seorang diri, banting tulang buat aku. Sekarang, ini waktunya
Aku dan Angga tiba di restoran yang letaknya dekat dengan tempatku bekerja. Suasana tenang, alunan musik lembut mengiringi kami menyantap hidangan yang sudah tersaji. Aku mencoba fokus pada makanan, tapi tatapan mataku selalu berakhir di wajah Angga. Jarak yang sangat dekat ini membuat sarafku tegang.Dia tampan, baik, perhatian, dan aku belum melihat kekurangan apapun yang ada di dirinya. Bahkan aura ‘suami orang’ itu samar-samar. “Tapi, kenapa dia mau menikah siri denganku? Padahal wanita jauh lebih cantik dariku banyak sekali diluaran sana ”batinku.“Mungkin dia memang benar-benar terpaksa karena istrinya yang meminta, tapi kenapa dia memerhatikanku layaknya seperti calon istri sesungguhnya? Tatapannya... itu bukan tatapan keterpaksaan,” pikiranku terus berkecamuk, mencoba mencari celah logika dari situasi ganjil ini.Angga yang sedari tadi sudah menyadari kegelisahan dan tatapan curi-curiku, akhirnya bersuara, memecah keheningan yang makin mencekam.“Kenapa, Put? Kamu enggak suka,
Aku sudah berada didepan kantor Angga, setelah berputar dulu mengambil KK dari kontrakan. Gedung yang megah, bertolak belakang dengan kondisi keuangan dan perasaanku saat ini. Aku masuk dengan langkah berat menuju Receptionist.Dan sesuai instruksi, Angga sudah memberitahu Receptionist jika aku datang disuruh langsung diantar ke ruangannya.Seorang karyawan wanita mengantarku ke depan pintu kayu jati besar.Tok tok tok,“Permisi Pak Angga,” Ucap karyawan itu.“Iya,” ucap Angga dari dalam.“Ibu Putri sudah datang, Pak,” Ucap karyawan tersebut.“Silahkan masuk, Bu Putri. Terima kasih,” karyawan itu mempersilakan masuk kepadaku lalu meninggalkanku.Aku melangkah masuk, ruangan Angga sangat luas, elegan, dan terasa mewah. Angga sudah berdiri di balik meja kerjanya.“Siang Pak Angga,” sapaku, jam sudah menunjukkan pukul 11 kurang sedikit.“Iya, siang juga, Putri. Silakan duduk,” Ucap Angga dengan senyuman yang terlalu manis untuk situasiku saat ini.“Bisa saya pinjam KTP dan Kartu Keluarga
Aku masih berada di kamar rumah sakit, di sisi ranjang Nenek Ida yang sudah terlihat segar sehabis mandi. Aroma sabun bercampur dengan bau obat-obatan, menciptakan suasana yang intim namun getir. Aku dengan telaten menyuapkan sarapan bubur hangat ke mulut Nenek dan membantu beliau merapihkan pakaian.“Put, kamu tidak kerja hari ini?” Tanya Nenek Ida, matanya yang teduh menatapku penuh perhatian.Aku menyeka sudut bibir Nenek dengan tisu. “Kerja, Nek. Tapi aku masuk siang, jam dua nanti. Sengaja aku ambil shift siang biar bisa menemani Nenek sarapan dan bersih-bersih,” jawabku sambil berusaha menyembunyikan kelelahan yang mulai menjalar di punggungku.Nenek Ida memegang tanganku yang sedang merapikan selimut. Jari-jari beliau yang keriput terasa hangat.“Ya Allah, Putriku. Pasti kamu capek sekali ya, Nak. Harus bekerja keras, lalu pulang ke kontrakan, dan balik lagi ke Rumah sakit untuk menjaga Nenek. Maafkan Nenek ya, merepotkanmu terus.”Mendengar nada kasihan itu, hatiku terasa teri
Pagi hari yang sangat cerah, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela, menyinari ruang makan dengan hangat. Angel dan Angga tengah menikmati sarapan pagi mereka. Udara terasa tenang, namun ketegangan samar menyelimuti Angel yang berusaha terlihat santai.“Sayang, Gimana menurut kamu tentang Putri?” Tanya AngelAngga, yang sedang mengupas kulit pisang dengan gerakan lambat dan hati-hati, mengangkat wajahnya.“Putri? Menurutku… dia anak yang baik, Sopan. Kenapa memangnya?” Jawab Angga.“Bagus kalau begitu.”batin Angel tersenyum, senyum yang sedikit terlalu lebar. mencondongkan tubuh sedikit.“Kamu cocok kan sama dia? Maksudku, kamu nggak ada keberatan sama sekali, kan?” Ucap Angel.Angga berhenti mengupas pisang, pandangannya tertuju pada Angel. Jeda sesaat itu membuat Angel menahan napas."Iya, cocok-cocok aja sih," jawab Angga santai, melanjutkan aktivitasnya."Kenapa sih kamu kelihatan tegang banget, Sayang? Aku nggak akan menolak calon yang sudah kamu pilihkan ko" Ucap Angga.







