Di sudut lain rumah tahanan itu, ada tempat berolahraga khusus untuk para penjaga. Namun tempat itu sangat jarang digunakan karena para penjaga rumah tahanan lebih memilih untuk bersantai daripada berolahraga.Dhani menyuruh Sylvi datang ke tempat itu setiap sore. Meskipun hanya ada samsak yang sudah kumuh dan beberapa barbel yang sudah lama terbengkalai, namun semua itu masih bisa digunakan."Hari ini, keluarkan semua perasaanmu pada samsak tinju itu. Tanpa menggunakan alat apapun dan sarung tinju, kamu harus bisa mengandalkan kekuatan tangan dan kakimu sendiri," perintah Dhani tanpa menatap Sylvi.Dhani tak berani sedikitpun menatap wajah gadis malang itu lagi karena dia akan merasa sangat sedih. Tapi dia bertekad akan mengajari beberapa gerakan tinju untuk bekal Sylvi membela diri.Melihat Sylvi hanya diam terpaku di depan samsak yang tergantung, Dhani mulai mempermainkan emosi gadis itu."Orang yang sudah merebut perusahaanmu, siapa namanya?" Tanya Dhani santai."James Singgih," s
Keesokan harinya, Dhani sudah berada di tempat olahraga itu menunggu kedatangan Sylvi. Sudah jam 5 sore tapi Sylvi tak kunjung datang.Saat Dhani hendak meninggalkan tempat itu karena dia harus bekerja, sosok gadis yang ditunggunya tampak berjalan terseok-seok ke arahnya."Maaf, aku datang terlambat," ucap Sylvi saat langkahnya terhenti tepat di depan Dhani.Dhani tampak gusar saat mengetahui kondisi gadis malang itu semakin memprihatinkan. Ingin rasanya dia membalas perbuatan orang-orang yang sudah menyiksa Sylvi tanpa ampun. Tapi dia tahu posisinya saat ini, dia tidak berhak untuk ikut campur."Kalau tidak bisa latihan, sebaiknya kamu istirahat saja," ujar Dhani sambil memalingkan wajahnya. Hatinya tercabik-cabik melihat pemandangan di depan matanya namun tidak bisa berbuat apa-apa. "Aku....bisa..." sahut Sylvi sambil berjalan ke arah samsak yang masih berada di tempat yang sama seperti sebelumnya."Ada barbel di sudut sana. Kau bisa belajar mengangkat beban berat untuk menguatkan
Sagi tiba di rumah kontrakan nya tepat jam 7 malam. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di rumah tahanan pada jam 6 sore, dia akan berjalan kaki untuk menghemat pengeluaran. Waktu yang dia butuhkan untuk berjalan menuju rumah kontrakan nya adalah 1 jam, tapi dia tidak pernah mengeluh.Siapa tahu dengan berhemat, aku bisa menabung dan membelikan rumah sederhana untuk gadis kecilku, Ziana.Tepat saat dia membuka pintu rumahnya, Sagi dikejutkan dengan kedatangan Dhani yang sudah berdiri di belakangnya."Selamat malam, Pak Sagi," sapa Dhani dengan sopan."Pak Dhani," seru Sagi gembira. Dhani duduk di lantai rumah kontrakan Sagi yang hanya berukuran 3x5 meter itu setelah dipersilahkan oleh tuan rumah. Tidak ada sofa atau kursi, tidak ada hiasan dinding dan ornamen apapun di tembok polos dengan cat yang sudah mengelupas. Diruangan itu hanya ada sebuah kasur tipis yang sudah lusuh di sudut ruangan dan sebuah kipas angin kecil yang sering rusak."Saya bawa dua bungkus nasi goreng. Kita makan
"Tidaaakkkkkk...." teriak Sylvi sekuat tenaga. Dia tidak mau mati di penjara. Dia tidak mau semua usahanya gagal hari ini. Dia tidak mau mati di tangan dua dari tujuh wanita begundal sialan itu.Namun injakan kaki Markijem benar-benar membuatnya sesak dan tak bisa bergerak."Berhenti!!!"Suara Pak Sagi terdengar cukup lantang di telinga Sutiwe dan Markijem. Kaki Sutiwe yang melayang di udara dan hendak mendarat di dada Sylvi pun langsung terhenti dan membuat tubuhnya oleng. Sutiwe terjatuh di samping Sylvi yang masih memegang kaki Markijem yang berat."Kalian mau bunuh orang?" Tanya Sagi berang sambil mendorong tubuh Markijem agar Sylvi bisa terlepas dari injakan kaki wanita kejam itu.Sagi membantu Sylvi bangun dari lantai kamar mandi. Berkali-kali gadis malang itu terbatuk dengan nafas sesak. "Mba Sylvi gak apa-apa?" Tanya Sagi khawatir. Untung saja dia datang tepat waktu. Kalau tidak, bisa-bisa gadis itu sudah tinggal nama malam ini."Heh tukang sapu kerempeng, lu pikir lu siapa?
Sylvi tak dapat menggambarkan perasaannya kali ini. Terkejut sekaligus senang mendengar penjelasan Dhani, tapi dia juga bingung kenapa dia bisa dipindahkan ke sel tahanan baru itu. "Ngomong-ngomong, kamu kerja disini sekarang?" Tanya Sylvi pada Dhani yang kembali melangkah."Ya, baru hari ini. Dan seharian ini aku sibuk mengurus administrasi kepindahanku kesini. Untungnya tadi sore sempat ketemu sama Pak Sagi. Kalau tidak..." sahut Dhani terputus."Kalau tidak apa?" Tanya Sylvi penasaran. "Kalau tidak, kamu udah jadi bakwan jagung hari ini, hihihi..." sahut Dhani terkikik.Sylvi menghentikan langkahnya menyadari keberuntungannya hari ini. Benar, mukjizat itu ada. Dan malaikat penolongku datang tepat waktu. Terima kasih Pak Sagi, terima kasih Dhani. Semoga aku bisa membalas kebaikan kalian suatu saat nanti, gumamnya dalam hati.Melihat Dhani berbelok di ujung koridor, Sylvi berlari mengejar Dhani yang terus berjalan. Dhani berhe
Tepat jam 7 malam Sylvi mengajak Mery untuk makan malam di aula rumah tahanan. Mery yang belum terbiasa merasa enggan bertemu dengan narapidana lainnya di tempat itu."Tidak apa-apa. Kan ada saya, Bu Mery," bujuk Sylvi. Mery akhirnya mengikuti Sylvi yang melangkah lebih dulu. Sebenarnya dia enggan pergi ke aula, tapi karena perutnya lapar karena dia sering lupa makan belakangan ini, mau tidak mau dia mengikuti Sylvi untuk sekedar mengisi perutnya.Untung ada Sylvi, kalau tidak, aku bisa puasa lagi setahun disini, pikirnya.Saat hampir tiba di aula, Sylvi menghentikan langkahnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan."Kamu cari siapa?" Tanya Mery bingung. "Mmm...ahh... enggak," sahut Sylvi gugup dan kembali melangkah menuju aula.Tangan Sylvi gemetar saat mengambil nasi, tahu, tempe dan sayur kangkung. Dalam hatinya dia berharap tidak bertemu lagi dengan tujuh wanita begundal itu.Mery mengikuti semua gerakan Syl
Mery seketika bangkit dari kasurnya dan memeluk tubuh kurus Sylvi yang tinggal tulang itu. Semakin erat dia memeluk, semakin dia merasakan penderitaan gadis malang yang kini satu sel dengannya.Dalam hatinya dia berjanji akan mengadukan kemalangan gadis itu pada Kyle, anak majikannya. Mery tahu Kyle mewarisi sifat Ibunya yang telah meninggal dunia. Meskipun perawakannya tampak dingin dan kejam seperti Ayahnya, tapi dia memiliki hati yang lembut. Mery dan Sylvi tidur berpelukan. Seakan memperlakukan Sylvi seperti anaknya sendiri, Mery terus menerus mengelus kepala gadis itu dengan lembut.Sylvi hening dalam pelukan wanita setengah baya yang seusai dengan Mamanya itu. Dia hanyut dalam belaian kasih sayang layaknya seorang Ibu pada Anaknya. Matanya terpejam dalam dekapan cinta yang telah lama hilang dalam sanubari nya.Mereka terbangun di pagi hari yang cerah. Semua narapidana bersiap untuk sarapan.Setelah sarapan keesokan harinya, Mery dipanggil oleh petugas karena ada tamu yang berku
Sutiwe, Markijem dan Gimbal terduduk lemas di samping tembok sel. Sementara Jamilap dan Konipah menangis terisak-isak sambil menahan lapar. Maimuncrat dan Saritem berjalan mondar mandir di dalam sel sempit yang hanya berukuran tiga kali tiga meter itu."Lu bedua mau mati? Pusing tau!!!" bentak si Gimbal sambil menatap tajam ke arah Maimuncrat dan Saritem. Mereka berdua terkesiap dan langsung duduk di samping Jamilap dan Konipah, lalu ikut menangis."Kayaknya kita sengaja dikerjain, deh," ujar Sutiwe kesal.Markijem juga merasakan hal yang sama. Dia diam sejak tadi memikirkan siapa Dhani sebenarnya. "Orang baru itu sengaja mengerjai kita? Jangan-jangan dia orang suruhan si kerempeng," ujar si gimbal dan membuat enam orang bawahannya menatapnya terkesima."Apa iya?" Tanya Sutiwe."Kayaknya sih gitu," sahut Markijem saat menyadari hal itu terjadi setelah Sylvi di pindahkan ke sel lain."Wah, cari mati dia," samba