Home / Romansa / Terpaksa menikahi Tuan muda / Bab2:malam pertama tanpa sentuhan

Share

Bab2:malam pertama tanpa sentuhan

Author: itzjane
last update Last Updated: 2025-07-28 20:00:10

Nayla terbangun di tengah malam. Matanya yang bengkak masih terasa berat selepas menangis terlalu lama. Ia baru menyadari bahwa ia tertidur di atas tempat tidur tanpa mengganti gaun pengantinnya. Dingin. Sunyi. Dan... menyakitkan.

Tangannya menyentuh bantal di sebelahnya—kosong. Tidak ada Arsen.

Tentu saja.

Pria itu sudah bilang sejak awal, dia tidak akan tidur sekamar dengan Nayla. Bahkan untuk menyentuh pun dia enggan. Bagi Arsen, Nayla hanyalah istri kontrak. Tidak lebih.

Dengan tubuh yang lelah, Nayla bangkit perlahan dan berjalan ke kamar mandi. Ia melepas gaun pengantinnya dengan susah payah, lalu mengenakan baju tidur yang telah disiapkan pelayan. Saat ia menatap bayangan dirinya di cermin, Nayla hampir tak mengenali siapa perempuan yang kembali menatapnya.

Wajahnya pucat. Matanya sembab. Dan hatinya... hancur.

Saat kembali ke kamar, ia memaksakan diri untuk memakan sedikit makanan yang tersisa tadi. Perutnya memang kosong, tapi rasanya semua yang masuk akan terasa pahit.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari luar kamar.

Tok... tok...

Nayla menoleh cepat, dadanya berdebar. Pintu terbuka, dan Arsen masuk tanpa ekspresi.

Dia memakai kemeja putih santai dan celana panjang, rambutnya sedikit basah, seperti baru selesai mandi. Aroma sabun maskulin samar tercium di udara.

“Kenapa kau datang?” tanya Nayla pelan, berdiri kaku di samping tempat tidur.

“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melarikan diri,” jawabnya datar. “Dan memastikan kau mengerti posisi kita.”

Arsen melangkah mendekat, mata hitamnya menatap tajam seperti menembus jiwa Nayla. Gadis itu menahan napas, tubuhnya tegang.

“Aku tidak akan lari,” jawab Nayla. “Aku bukan pengecut.”

Arsen tersenyum miring, seolah mengejek.

“Bagus. Karena rumah ini bukan tempat untuk bermain drama. Kau tinggal di sini sebagai istriku di atas kertas. Di depan publik, kita akan terlihat seperti pasangan sempurna. Tapi di balik pintu, kau tidak lebih dari tamu tak diundang.”

Kata-katanya seperti pisau tajam yang menusuk hati Nayla berkali-kali.

“Lalu kenapa menikahiku, kalau kau membenciku sedalam itu?”

Arsen tidak langsung menjawab. Dia menatap Nayla lama, dalam, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan… tapi ditahannya.

Akhirnya dia berbalik dan berjalan menuju pintu.

“Karena aku butuh istri untuk memenuhi syarat warisan. Dan kau... terlalu mudah dimiliki.”

Klik.

Pintu tertutup.

Dan sekali lagi, Nayla ditinggalkan sendirian dalam gelap.

Nayla terduduk di ujung tempat tidur, menggenggam erat selimut putih yang membalut tubuhnya. Kata-kata Arsen terus terngiang-ngiang di telinganya.

> “Kau... terlalu mudah dimiliki.”

Perih. Seolah harga dirinya diinjak-injak tanpa belas kasihan.

Dia memang tidak punya pilihan. Keluarganya terlilit hutang, dan Arsen adalah satu-satunya jalan keluar. Tapi Nayla bukan perempuan murahan. Dia tetap punya hati. Dia tetap punya rasa.

Air mata mulai mengalir lagi, namun Nayla cepat-cepat menyekanya. Dia tidak ingin terlihat lemah, walaupun hanya di hadapan dirinya sendiri.

“Aku tidak akan kalah...” bisiknya lirih. “Kalau aku harus bertahan satu tahun di neraka ini, aku akan pastikan aku tidak hancur.”

Tiba-tiba ponselnya bergetar lagi. Kali ini nomor yang sama muncul.

> “Jangan jatuh cinta padanya. Sekali kau terjebak, kau tidak akan bisa keluar.”

Pesan itu membuat tubuh Nayla membeku. Tengkuknya terasa dingin, dan dadanya sesak.

Siapa orang ini? Kenapa dia tahu tentang Arsen? Kenapa... dia tahu apa yang dirasakan Nayla, bahkan sebelum dia sendiri menyadarinya?

Dengan tangan gemetar, Nayla mengetik balasan.

> “Siapa kamu?”

Namun pesan itu tidak pernah terkirim. Nomor tersebut tiba-tiba tidak aktif.

Nayla memeluk lututnya sendiri, menatap kosong ke arah jendela besar yang tertutup rapat. Di luar, malam masih panjang dan sunyi. Tapi di dalam dadanya, badai mulai bergelora.

Dan ia tahu... pernikahan ini baru saja dimulai.

Malam terus berjalan, dan waktu seakan berjalan lambat di dalam kamar pengantin itu.

Nayla akhirnya berbaring, memejamkan mata meskipun hatinya terus gelisah. Pikiran tentang Arsen, pesan misterius, dan rasa terjebak dalam ikatan tanpa cinta terus mengganggu.

Tidur datang dengan berat. Bahkan dalam mimpinya, Nayla melihat wajah Arsen—dingin, tanpa emosi, dan penuh rahasia.

Dalam hati kecilnya, dia bertanya, “Apa sebenarnya yang aku masuki ini?”

Satu hal yang dia tahu pasti: ini bukan kisah cinta. Ini awal dari perang perasaan yang bisa menghancurkan segalanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa menikahi Tuan muda   Bab 13: kebenaran yang membunuh

    Langit sore itu kelabu, tapi suasana di apartemen jauh lebih suram. Nayla berdiri membelakangi Arsen, menatap keluar jendela yang dipenuhi butiran hujan. Suara langkah pria itu terdengar mendekat, berat dan penuh tekanan.“Aku akan ceritakan semuanya,” ucap Arsen akhirnya, suaranya dalam. “Tapi setelah ini, kau tidak bisa berpura-pura tidak tahu.”Nayla tetap diam, jemarinya meremas pinggiran sweater.“Ayahku… tidak mati karena sakit, seperti yang semua orang pikirkan,” lanjut Arsen. “Dia dibunuh. Dan yang membunuhnya adalah orang-orang yang sekarang berada di belakang Clara. Waktu itu, aku hanya anak bodoh yang tidak tahu apa-apa. Sampai suatu malam, aku melihat mereka… memukuli ayahku sampai dia berhenti bernapas.”Nayla menutup mata, menahan mual.“Aku ingin balas dendam. Tapi aku tahu aku tidak bisa melawan mereka sendirian. Jadi aku masuk ke lingkaran mereka, pura-pura ikut permainan kotor mereka. Aku harus kotor, Nayla… karena hanya

  • Terpaksa menikahi Tuan muda   Bab 12: kedatangan yang tak terduga

    Hujan belum berhenti sejak malam sebelumnya. Udara dingin merayap ke dalam apartemen, membuat Nayla menarik selimut tipis di pundaknya saat duduk di ruang tamu. Arsen berangkat pagi-pagi sekali, tanpa banyak bicara. Ia hanya meninggalkan satu kalimat sebelum pergi: “Jangan buka pintu untuk siapa pun.”Nayla mengira itu hanya bentuk proteksi berlebihan. Sampai bel pintu berbunyi.Awalnya ia mengabaikan. Namun bunyi itu terdengar lagi, kali ini disertai ketukan pelan. Rasa penasaran mengalahkan kehati-hatian. Nayla mendekat, melihat melalui lubang intip.Seorang wanita berdiri di luar. Rambut hitam panjangnya basah oleh hujan, wajahnya cantik sempurna meski tanpa riasan. Matanya tajam, namun senyum tipisnya menusuk seperti pisau.Clara.Nayla membuka pintu sedikit, hanya sebatas rantai pengaman. “Apa yang kau inginkan?” suaranya dingin.“Aku pikir sudah saatnya kita bicara… sebagai dua wanita yang mencintai pria yang sama,” jawab C

  • Terpaksa menikahi Tuan muda   Bab 11: rahsia yang terkubur

    Pagi itu, udara terasa berat. Langit mendung, seakan ikut menyimpan sesuatu yang tak ingin diungkapkan. Nayla duduk di meja makan sendirian, menggulir sendok di dalam cangkir kopi yang sudah dingin.Arsen belum keluar dari kamarnya sejak subuh. Biasanya ia sudah rapi dengan jas dan dasi, siap berangkat ke kantor. Namun kali ini, ada keheningan yang aneh.Pintu kamar terbuka perlahan. Arsen keluar, masih mengenakan kaos hitam dan celana santai. Rambutnya sedikit berantakan, tatapannya sayu. “Kita harus bicara,” ucapnya tanpa basa-basi.Nayla mengangkat alis. “Tentang apa?”“Clara.”Nama itu membuat perut Nayla mengencang. Ia mempersiapkan diri, meski hatinya berdebar.Arsen duduk di depannya, menautkan jari-jari tangan. “Aku dan Clara… tidak seperti yang kau pikirkan.”Nayla tersenyum miring. “Oh? Jadi selama ini aku salah menilai? Kau tidak tidur dengannya? Tidak berjanji menikahinya?”Arsen menghela napas, mena

  • Terpaksa menikahi Tuan muda   Bab 10: Retakan di antara kita

    Malam telah larut ketika Arsen pulang. Suara pintu yang terbuka pelan memecah kesunyian apartemen. Nayla duduk di sofa, menunggu, meski matanya berat dan tubuhnya letih.Ia tidak bertanya dari mana Arsen datang. Hanya menatapnya diam-diam, mencari tanda-tanda kebohongan di wajah lelaki itu. Tapi Arsen, seperti biasa, tahu bagaimana menyembunyikan rahasianya.“Kau belum tidur?” tanyanya, sambil melepas jas dan meletakkannya di kursi.“Aku menunggu,” jawab Nayla singkat.Arsen menatapnya sebentar, lalu berjalan menuju dapur, menuangkan segelas air. “Menunggu apa?”“Menunggu jawaban. Tentang Clara. Tentang kita.”Suara Nayla terdengar datar, tapi di baliknya ada badai yang siap meledak. Arsen meletakkan gelas, lalu menatapnya dengan mata yang dalam. “Aku lelah, Nayla. Kita bicarakan ini besok.”“Besok? Berapa lama lagi aku harus menunggu?!” Nayla berdiri, nadanya meninggi. “Aku bukan boneka yang kau simpan dan ambil kapan k

  • Terpaksa menikahi Tuan muda   Bab 9: gairah yang terlarang

    Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik saat Nayla membuka matanya. Suasana kamar masih remang, hanya cahaya tipis dari jendela yang menyelinap masuk. Ia merasakan hangatnya tubuh Arsen yang memeluknya dari belakang, napasnya tenang dan stabil di leher Nayla.Degup jantung Nayla mulai tak beraturan. Ia tak bergerak, hanya berbaring dengan dada yang sesak oleh perasaan yang bercampur aduk. Semalam mereka tidak berbicara banyak, tapi malam itu tubuh mereka yang saling mendekat telah berbicara sendiri.“Sudah bangun?” suara Arsen serak, berat, dan masih lelap.Nayla hanya mengangguk kecil. Tapi pelukan Arsen semakin erat. Ia menarik tubuh Nayla lebih dekat hingga punggungnya menempel sempurna di dada bidang lelaki itu.“Maaf,” bisik Arsen, mengecup lembut tengkuk Nayla. “Aku hanya... ingin kamu tetap di sini.”Kucupan itu membuat tubuh Nayla bergetar. Ia seharusnya menjauh, mengingat Clara, mengingat semua yang telah terjadi. Tapi saat tangan Arsen mulai mengusap lengan dan pinggangnya

  • Terpaksa menikahi Tuan muda   Bab 8: batas kesabaran

    Langit malam menurunkan gerimis lembut, seakan memahami apa yang sedang dirasakan Nayla. Ia berdiri di depan jendela, menatap tetesan air hujan yang mengalir perlahan di balik kaca. Dadanya sesak. Hatinya sakit.Sudah beberapa hari sejak pertengkaran terakhirnya dengan Arsen. Kata-kata lelaki itu masih terngiang-ngiang di telinganya—tajam, dingin, seakan semua kesalahan ditumpahkan padanya."Jadi menurutmu aku yang salah? Setelah semua yang aku korbankan untuk hubungan ini?" bentak Nayla saat itu.Namun Arsen hanya diam. Tatapannya kosong, bahkan tak sedikitpun menyesal telah menyakitinya.Kini Nayla duduk di tepi ranjang, menatap bingkai foto yang dulu mereka ambil bersama saat awal pacaran. Senyuman Arsen di foto itu terasa begitu asing sekarang. Seakan lelaki itu bukan lagi orang yang sama."Kenapa kamu berubah, Arsen?" bisiknya lirih. "Atau... aku yang terlalu buta sejak awal?"Ponselnya berdering. Sebuah notifikasi pesan mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status