LOGINPernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang kekuasaan, hutang, dan tubuhku yang dijadikan alat tukar. Nayla tak pernah bermimpi menjadi istri seorang pria kejam dan dingin seperti Arsen Hartawan—pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarganya. Tapi saat ayahnya terlilit hutang, Nayla dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Arsen setuju menikah... dengan satu syarat: Nayla harus tunduk padanya, di ranjang dan di luar. Tanpa hak sebagai istri. Tanpa cinta. Hanya sebagai miliknya. "Aku tidak butuh cintamu. Aku hanya butuh tubuhmu tetap di tempat tidurku," bisiknya dingin di malam pertama. Hari-hari Nayla dipenuhi luka, nafsu, dan permainan emosi yang menguras segalanya. Tapi di balik mata dingin Arsen, tersembunyi rahasia kelam yang bisa menghancurkan mereka berdua. Saat gairah berubah jadi rasa, dan benci berubah jadi cinta... segalanya menjadi lebih rumit. Apakah Nayla akan bertahan dalam pernikahan tanpa hati? Atau dia akan hancur... sebelum sempat mencintai?
View More“Mulai sekarang, kamu adalah istriku. Tapi jangan pernah berharap mendapatkan hatiku.”
Kalimat itu meluncur dingin dari bibir Arsen Hartawan, pria yang kini secara sah telah menjadi suami Nayla Azzahra. Suara itu cukup tenang, namun penuh dengan ancaman tersembunyi yang membuat jantung Nayla berdetak lebih cepat dari biasanya. Di dalam ruangan mewah bernuansa emas dan putih itu, Nayla berdiri kaku dengan gaun pengantin yang bukan pilihannya. Gaun itu mahal, elegan, namun sama sekali tidak mencerminkan kebahagiaan. Ia seperti boneka yang dipakaikan cantik hanya untuk dipajang di etalase kehidupan Arsen. Nayla menunduk, menahan air mata yang sudah menggenang sejak pagi. Dia tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi dia tidak punya pilihan. Ayahnya terlilit hutang miliaran kepada keluarga Hartawan, dan satu-satunya jalan keluar yang ditawarkan adalah... dia. Nayla. Tubuh dan hidupnya dijadikan alat tukar. “Aku mengerti,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Arsen mendengus pelan, lalu membuka kancing jasnya dan duduk di sofa, menyilangkan kaki seolah baru saja menyelesaikan transaksi bisnis, bukan akad nikah. "Kontrak kita hanya satu tahun. Setelah itu, kau bebas pergi. Tapi selama itu, kau harus patuh. Tak ada drama. Tak ada air mata. Dan terutama—" Arsen menatap tajam ke arah Nayla. “—tak ada campur tangan perasaan.” Nayla menggigit bibirnya, berusaha tetap tegar meskipun hatinya terasa remuk. “Kenapa kau begitu membenciku?” tanyanya akhirnya, memberanikan diri menatap wajah pria itu. Arsen mengangkat alis. “Aku tidak membencimu, Nayla. Aku hanya tidak percaya pada pernikahan. Dan aku tidak pernah percaya pada perempuan seperti kamu.” “Perempuan seperti aku?” Nayla mengulang dengan suara tercekat. Arsen berdiri perlahan, lalu melangkah mendekat. Tubuhnya tinggi, bayangannya menelan tubuh Nayla yang mungil. Tangannya terangkat, bukan untuk menyentuh, tapi untuk menyelipkan rambut Nayla ke belakang telinga dengan gerakan yang mengejutkan. “Kau terlalu polos. Terlalu lemah. Mudah dikendalikan,” bisiknya. “Dan aku tidak punya waktu untuk main perasaan.” Nayla menahan napas. Ingin rasanya berteriak bahwa dia juga tidak ingin ini semua. Bahwa dia tidak ingin menjadi milik seorang pria yang hatinya beku seperti salju. Tapi apa gunanya? Hidupnya bukan miliknya lagi. Tak lama kemudian, seorang pelayan mengetuk pintu dan membawa nampan berisi makanan. "Untuk nyonya," katanya sopan sambil meletakkannya di atas meja kecil di dekat tempat tidur. Nayla hanya mengangguk pelan, sedangkan Arsen sudah mengambil jasnya kembali. "Aku akan menginap di kamar sebelah. Jangan coba-coba kabur. Rumah ini penuh penjaga, dan... kita sudah sah secara hukum. Kau milikku, Nayla." Setelah itu, pintu ditutup. Dan Nayla pun berdiri sendirian dalam kamar yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu dingin untuk disebut kamar pengantin. Air matanya akhirnya jatuh, pelan tapi terus-menerus, seolah tahu bahwa ini baru awal dari mimpi buruk yang belum tahu kapan akan berakhir. “Ayah… kenapa harus aku?” Nayla terduduk di sisi tempat tidur, menatap hidangan di meja yang tak disentuh sedikit pun. Perutnya kosong, tapi hatinya jauh lebih hampa. Suasana kamar itu terlalu mewah, terlalu asing. Semua tampak sempurna—tempat tidur berkanopi putih, lampu gantung kristal, bunga mawar segar di vas kaca. Tapi tak ada satu pun yang membuatnya merasa dimiliki. Ia tidak merasa menjadi istri. Dia hanya tawanan dalam sangkar emas. Tangan Nayla mengusap gaun pengantinnya yang masih membalut tubuh. Rasanya sempit. Bukan karena ukurannya, tapi karena beban yang dipaksakan bersamanya. Gaun itu menjadi simbol sebuah kehidupan yang bukan miliknya—sebuah dunia yang tidak pernah dia impikan. Seketika itu, ponselnya yang ia sembunyikan di balik tas kecil bergetar. Satu pesan dari nomor tak dikenal muncul di layar: > “Hati-hati dengan Arsen. Jangan percaya wajah tampannya. Dia lebih berbahaya dari yang kau kira.” Jantung Nayla berdegup kencang. Siapa yang mengirim pesan ini? Dan apa maksudnya? Tangannya gemetar, dan tanpa sadar, air matanya jatuh sekali lagi. Apa sebenarnya yang menantinya di balik nama “istri Tuan Muda”? Dan siapa sebenarnya Arsen Hartawan, pria yang kini resmi menjadi suaminya?Langit sore itu kelabu, tapi suasana di apartemen jauh lebih suram. Nayla berdiri membelakangi Arsen, menatap keluar jendela yang dipenuhi butiran hujan. Suara langkah pria itu terdengar mendekat, berat dan penuh tekanan.“Aku akan ceritakan semuanya,” ucap Arsen akhirnya, suaranya dalam. “Tapi setelah ini, kau tidak bisa berpura-pura tidak tahu.”Nayla tetap diam, jemarinya meremas pinggiran sweater.“Ayahku… tidak mati karena sakit, seperti yang semua orang pikirkan,” lanjut Arsen. “Dia dibunuh. Dan yang membunuhnya adalah orang-orang yang sekarang berada di belakang Clara. Waktu itu, aku hanya anak bodoh yang tidak tahu apa-apa. Sampai suatu malam, aku melihat mereka… memukuli ayahku sampai dia berhenti bernapas.”Nayla menutup mata, menahan mual.“Aku ingin balas dendam. Tapi aku tahu aku tidak bisa melawan mereka sendirian. Jadi aku masuk ke lingkaran mereka, pura-pura ikut permainan kotor mereka. Aku harus kotor, Nayla… karena hanya
Hujan belum berhenti sejak malam sebelumnya. Udara dingin merayap ke dalam apartemen, membuat Nayla menarik selimut tipis di pundaknya saat duduk di ruang tamu. Arsen berangkat pagi-pagi sekali, tanpa banyak bicara. Ia hanya meninggalkan satu kalimat sebelum pergi: “Jangan buka pintu untuk siapa pun.”Nayla mengira itu hanya bentuk proteksi berlebihan. Sampai bel pintu berbunyi.Awalnya ia mengabaikan. Namun bunyi itu terdengar lagi, kali ini disertai ketukan pelan. Rasa penasaran mengalahkan kehati-hatian. Nayla mendekat, melihat melalui lubang intip.Seorang wanita berdiri di luar. Rambut hitam panjangnya basah oleh hujan, wajahnya cantik sempurna meski tanpa riasan. Matanya tajam, namun senyum tipisnya menusuk seperti pisau.Clara.Nayla membuka pintu sedikit, hanya sebatas rantai pengaman. “Apa yang kau inginkan?” suaranya dingin.“Aku pikir sudah saatnya kita bicara… sebagai dua wanita yang mencintai pria yang sama,” jawab C
Pagi itu, udara terasa berat. Langit mendung, seakan ikut menyimpan sesuatu yang tak ingin diungkapkan. Nayla duduk di meja makan sendirian, menggulir sendok di dalam cangkir kopi yang sudah dingin.Arsen belum keluar dari kamarnya sejak subuh. Biasanya ia sudah rapi dengan jas dan dasi, siap berangkat ke kantor. Namun kali ini, ada keheningan yang aneh.Pintu kamar terbuka perlahan. Arsen keluar, masih mengenakan kaos hitam dan celana santai. Rambutnya sedikit berantakan, tatapannya sayu. “Kita harus bicara,” ucapnya tanpa basa-basi.Nayla mengangkat alis. “Tentang apa?”“Clara.”Nama itu membuat perut Nayla mengencang. Ia mempersiapkan diri, meski hatinya berdebar.Arsen duduk di depannya, menautkan jari-jari tangan. “Aku dan Clara… tidak seperti yang kau pikirkan.”Nayla tersenyum miring. “Oh? Jadi selama ini aku salah menilai? Kau tidak tidur dengannya? Tidak berjanji menikahinya?”Arsen menghela napas, mena
Malam telah larut ketika Arsen pulang. Suara pintu yang terbuka pelan memecah kesunyian apartemen. Nayla duduk di sofa, menunggu, meski matanya berat dan tubuhnya letih.Ia tidak bertanya dari mana Arsen datang. Hanya menatapnya diam-diam, mencari tanda-tanda kebohongan di wajah lelaki itu. Tapi Arsen, seperti biasa, tahu bagaimana menyembunyikan rahasianya.“Kau belum tidur?” tanyanya, sambil melepas jas dan meletakkannya di kursi.“Aku menunggu,” jawab Nayla singkat.Arsen menatapnya sebentar, lalu berjalan menuju dapur, menuangkan segelas air. “Menunggu apa?”“Menunggu jawaban. Tentang Clara. Tentang kita.”Suara Nayla terdengar datar, tapi di baliknya ada badai yang siap meledak. Arsen meletakkan gelas, lalu menatapnya dengan mata yang dalam. “Aku lelah, Nayla. Kita bicarakan ini besok.”“Besok? Berapa lama lagi aku harus menunggu?!” Nayla berdiri, nadanya meninggi. “Aku bukan boneka yang kau simpan dan ambil kapan k
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik saat Nayla membuka matanya. Suasana kamar masih remang, hanya cahaya tipis dari jendela yang menyelinap masuk. Ia merasakan hangatnya tubuh Arsen yang memeluknya dari belakang, napasnya tenang dan stabil di leher Nayla.Degup jantung Nayla mulai tak beraturan. Ia tak bergerak, hanya berbaring dengan dada yang sesak oleh perasaan yang bercampur aduk. Semalam mereka tidak berbicara banyak, tapi malam itu tubuh mereka yang saling mendekat telah berbicara sendiri.“Sudah bangun?” suara Arsen serak, berat, dan masih lelap.Nayla hanya mengangguk kecil. Tapi pelukan Arsen semakin erat. Ia menarik tubuh Nayla lebih dekat hingga punggungnya menempel sempurna di dada bidang lelaki itu.“Maaf,” bisik Arsen, mengecup lembut tengkuk Nayla. “Aku hanya... ingin kamu tetap di sini.”Kucupan itu membuat tubuh Nayla bergetar. Ia seharusnya menjauh, mengingat Clara, mengingat semua yang telah terjadi. Tapi saat tangan Arsen mulai mengusap lengan dan pinggangnya
Langit malam menurunkan gerimis lembut, seakan memahami apa yang sedang dirasakan Nayla. Ia berdiri di depan jendela, menatap tetesan air hujan yang mengalir perlahan di balik kaca. Dadanya sesak. Hatinya sakit.Sudah beberapa hari sejak pertengkaran terakhirnya dengan Arsen. Kata-kata lelaki itu masih terngiang-ngiang di telinganya—tajam, dingin, seakan semua kesalahan ditumpahkan padanya."Jadi menurutmu aku yang salah? Setelah semua yang aku korbankan untuk hubungan ini?" bentak Nayla saat itu.Namun Arsen hanya diam. Tatapannya kosong, bahkan tak sedikitpun menyesal telah menyakitinya.Kini Nayla duduk di tepi ranjang, menatap bingkai foto yang dulu mereka ambil bersama saat awal pacaran. Senyuman Arsen di foto itu terasa begitu asing sekarang. Seakan lelaki itu bukan lagi orang yang sama."Kenapa kamu berubah, Arsen?" bisiknya lirih. "Atau... aku yang terlalu buta sejak awal?"Ponselnya berdering. Sebuah notifikasi pesan mas












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments