“Cemburu?” ulang Alea terkekeh manja, “jangan bicara omong kosong, tidak akan ada yang cemburu,” tegas Alea lagi, merasa jika tidak ada orang yang benar-benar dekat dengannya.
Alea tersenyum canggung saat sekali lagi Reygan tidak menatap padanya, pria itu seperti biasa hanya melihatnya sekilas, lalu fokus pada yang lain. Reygan kembali di kursinya, membuka laptop dan melanjutkan kembali pekerjaannya. “Pergilah jika tidak ada yang ingin kau bicarakan.” Menggeleng cepat, Alea memegang tangan Reygan dengan wajah memelas. “Rey, aku minta maaf. Malam itu, aku tidak tahu jika anak-anak mencampurkan obat dalam minumanmu.” Tangan Reygan mengepal kuat, ia mencoba untuk menahan diri malam itu, tetapi pengaruh obat yang Alea berikan menghancurkan Helena. Mengingat nama itu, bibir Reygan kembali tersenyum. Ia berdiri, membenarkan jasnya dan melenggang pergi. “Reygan!” hentak Alea kesal ditinggal sendiri. Ia meraih ponselnya dan menelepon seseorang. Setelah itu, ia pun melenggang pergi. “Nona–” Fandy mendesah kembali, ia bahkan belum berbicara, tetapi Alea sudah melangkah menjauh. “Wanita satu ini memang berbeda dari yang lain,” ujar Fandy, “pemarah dan tidak sabar,” lanjutnya kembali. “[Halo Pak, maaf tapi nona Alea sudah pergi sebelum saya mengutarakan pesan tadi,]” lapor Fandy. ________________ Fandy segera turun dan membuka pintu mobil. Memberikan jalan pada Reygan dengan bunga di tangan kanannya. “Tuan Anda terlihat romantis dengan bunga itu.” Namun ucapan Reygan selanjutnya membuatnya tidak bisa berkata-kata, “Bawa ini dan berikan pada nenek.” “Saya?” tunjuk Fandy pada dirinya sendiri. Bunga mawar merah sudah berada di tangan, tetapi ia masih tidak tahu rencana Reygan dengan bunga tersebut. Di dalam rumah, seorang wanita paruh baya menyambut dengan tidak ramah. “Akhirnya kamu pulang juga.” Sebuah tongkat kayu mendarat di punggung, membuat sebagian pelayan mengaduh seolah merasakan kerasnya benda itu. “Dasar anak nakal, kau ingin melihatku mati dulu baru kembali, hah!” teriak nyonya besar Sari—nenek Reygan. “Nek, apa yang kau lakukan. Pak Reygan bisa masuk rumah sakit jika dipukul.” Fandy menengahi, mencegah keributan yang terjadi antara nenek dan cucu. Akan tetapi, ia tidak mempertimbangkan apa yang akan terjadi setelahnya, hingga tongkat kayu itu akhirnya mengenainya. “Nenek!” teriak Fandy kesakitan. Setelah itu, barulah Sari menjatuhkan tongkatnya, menjauh dan duduk di kursi single sambil membuang muka. “Pak, saya membelamu, tolong pertimbangkan gajiku,” tukas Fandy mengaduh, ia yakin punggungnya memar. Namun, bukannya mendapatkan simpati, Reygan justru melewatinya dan berlutut di depan neneknya. Tangannya menyentuh lembut tangan yang mulai renta, lalu menggenggamnya perlahan. “Nenek, tidak bisakah kau tahan emosimu?” ucap Reygan sambil mendongak, “bagaimana jika kau tidak bisa bertemu dengan calon cucumu karena berpulang lebih dulu?” Satu pukulan di kepala kembali Reygan dapatkan, tetapi kali ini diiringi dengan senyuman mekar neneknya. “Katakan sekali lagi, apa maksudmu?” Sari berdiri, meminta Fandy mendekat dan menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. “Katakan, apa yang terjadi? Atau jangan-jangan dia sengaja mengatakan itu karena tidak ingin dijodohkan?” Sari melirik cucu lelakinya dengan tatapan curiga. “Aku tidak ingin menikah dengan orang yang Nenek jodohkan.” Reygan duduk dengan salah satu kaki menumpu pada kaki yang lain. Mendengarkan ucapan cucunya yang keterlaluan. Sari memegang dada, wajahnya yang sempat sumringah kini kembali murung. “Mungkin memang nasibku yang tidak baik. Cucuku bahkan tidak memperhatikan kebahagiaanku di detik kepergian.” “Tolong hentikan Nenek,” jengah Reygan, “aku masih muda, minta saja Fandy menemui calon wanita yang nenek ingin jodohkan padaku,” tukas Reygan melirik asistennya. “Saya?” Fandy mendekat, ia berjongkok di depan Sari, lalu memijat tangan tangannya dengan lembut. “Bagaimana bisa digantikan. Wanita ini bahkan keluarganya sudah tahu siapa dirimu,” ketus Sari menjadi, “Nenek tidak mau tahu, malam nanti, kau temui di di kafe tepat waktu.” “Fandy, ayo!” Reygan berdiri, memeluk neneknya lalu meninggalkan kediaman Sari dengan langkah lebar. Mengikuti keinginan neneknya bukan hal yang bagus, bahkan sangat memalukan jika ada yang mengetahui. “Pak, Anda ingin bertemu dengannya?” tanya Fandy ingin memastikan. “Kau pikir aku tidak sibuk?” dengusnya kesal, ia memalingkan wajah, seketika kecantikan Helena terlintas di benaknya. “Bukankah kau bilang Helena memiliki toko baju?” Reygan memiliki ide lain, “bawa aku ke tempatnya!” “Tapi Pak–” ___________________ Di depan toko baju terbesar di kota. Reygan bersandar di samping mobil mewahnya dengan kacamata yang menambah ketampanannya. Ia melihat sekeliling, satu-satunya toko yang paling terlihat berbeda adalah toko Helena. Di saat itu, sebuah mobil lain datang dari arah berlawanan. Seorang pria muncul dari dalam mobil dengan langkah tergesa. Reygan melepas kacamatanya, memastikan apa yang dilihatnya bukan kesalahan. Topan tiba dengan wajah merah dan tangan mengepal. Di dalam ruangan, Helena tengah memeriksa pemasukan dibuat terkejut dengan kedatangan Topan yang mendorong pintu terlalu keras. “Apa kau tidak bisa masuk dengan sopan?” Helena melanjutkan pekerjaannya tanpa menatap wajah Topan seperti sebelumnya. Ia bahkan menyesal karena pernah terlalu cinta pada pria di depannya. “Aku tidak percaya kau memakai trik kotor agar tetap bersamaku, Helena,” cibirnya, “kau sengaja mendatangi ibuku, memaksanya untuk membujukku memiliki anak dari, kan?” bentaknya, tetapi Helena tidak bergeming. Topan melangkah ke arah Helena, menarik tangan istrinya kasar dan melemparnya hingga perutnya membentur sudut meja. “Aku ingatkan sekali lagi padamu, Helena. Jangan bermimpi agar aku memberimu anak.” Setelah melampiaskan emosinya, Topan membalik diri dan hendak melenggang pergi. Akan tetapi, kakinya seketika terhenti ketika mendengar tawa rendah Helena–tawa yang terdengar mengejek dan merendahkan harga dirinya. “Kau pikir aku gila?” ucap Helena terdengar samar, “aku memang pernah bodoh karena mencintaimu, Topan, tapi jangan berbangga diri, karena aku sudah tidak mencintaimu!” jerit Helena menumpahkan kekesalannya. Topan berbalik, melangkah cepat dan mencengkram leher Helena hingga wanita itu kesulitan bernapas. Helena menepuk-nepuk tangan Topan, tetapi pria itu seolah tidak memedulikan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Jika bukan karena kau pernah menyelamatkan ibuku. Aku bersumpah tidak akan menikah denganmu. Kau pikir dengan kekayaanmu, aku lupa dengan Hani? Kau juga salah besar,” pekik Topan emosi. Namun Helena tetap diam, memukul tangan Topan agar terlepas dari lehernya. Air matanya sudah mengalir, memohon agar diberi kehidupan lagi jika dia mati. Tertawa rendah, Topan melepaskan cengkramannya, “Ingat baik-baik. Kau itu ditakdirkan menderita di tanganku, jadi jangan pernah berharap mendapatkan kasih sayang meski itu seujung kuku.” Helena terbatuk, meraup udara sebanyak-banyaknya untuk kelangsungan hidup. Ia menatap marah pada Topan yang masih tertawa, “Kalau begitu kita bercerai!” Seketika tubuh Topan menegang, ia tidak pernah mengira jika efek dari ucapan Helena bisa membuatnya seperti orang bodoh. Helena mengambil berkas yang tidak jauh dari tempat berdirinya, membukanya dan menyerahkan itu pada Topan. “Tanda tangi. Setelah itu, aku pastikan tidak akan membuatmu muak lagi!” “Apa maksudmu, Helena?”Gugup karena ditatap seperti itu Helena berdehem, ia mengeratkan pakaiannya ketika Reygan tidak sengaja menurunkan pandangannya.Reygan yang tahu dengan pikiran Helena justru tertawa rendah, ia pindah posisi dan duduk di sebelah Helena dengan nyaman, meraih tangan wanita yang diincarnya seraya mengecupnya pelan.“Kenapa menatapku seperti itu,” ujar Helena malu.“Kau malu? Aku bahkan sudah melihat semuanya.” Reygan membawa wajah Helena menghadap padanya.“Apa yang kau katakan?” Malu dengan ucapan Reygan yang terlalu terus terang, Helena kembali memalingkan wajah.Tersenyum lembut, Reygan merebahkan kepala pada sandaran sofa seraya memeluk pinggang Helena dengan posesif. “Apa selama kita tidak bertemu kau pernah memikirkan aku?”Bukan mengatakan langsung, Reygan hanya berani mengatakan itu di dalam hati seraya menatap cinta pada wanita yang terdiam seperti patung dala sentuhannya.Ia mendesah, lalu memejamkan mata di sebelah Helena, tetapi belum lama melakukan itu, suara ponsel Helena b
Saat mobil Reygan meninggalkan kediaman Dewi dengan kecepatan penuh, barulah Topan keluar dengan berlari mengejar Helena yang dipikir masih berdiri di halaman rumah menunggunya.“Helena!” teriaknya karena tidak menemukan lagi mobil siapa pun di sana.Ia meninju udara karena lagi-lagi terlambat, tidak lama Hani pun turut keluar, ia melihat sekeliling dan tidak menemukan Helena selain Topan. Ia melangkah pelan seraya tersenyum kecil.“Kau di sini?” katanya seolah tidak tahu siapa yang Topan cari.Topan menoleh, melihat Hani yang tersenyum ke arahnya. “Kenapa keluar, masuklah dan temani ibuku.”Mendesah pelan, Hani merangkul tangan Topan dengan erat. “Kita masuk bersama, kau sendiri tahu bagaimana ibumu padaku, dia tidak akan melihatku sebagai manusia yang baik.”Mengangguk mengerti, Topan akhirnya membawa kembali Hani masuk ke dalam rumah. Ia tahan diri menemui Helena untuk sementara waktu agar ibunya dan Hani saling menerima satu sama lain.“Ayolah!” mereka berjalan masuk menjadi pusat
Helena membalas tatapan wanita di hadapannya, “Nyonya, saya tidak tahu kenapa Anda terus menyudutkan saya sejak tadi.”Menelan ludah kasar, wanita muda tadi segera membawa putrinya menjauh. Ia tidak akan mengambil resiko menyinggung Helena yang memiliki kesempatan untuk menjatuhkan mereka.“Ibu, ada apa denganmu?” kata putrinya yang bingung karena tiba-tiba saja ditarik, “ini kesempatan kita untuk dekat dengan nona Helena, aku sangat ingin menjadi salah satu modelnya, Bu.”Dia hanya bisa menatap Helena dari jauh dengan kecewa, sedikit lagi jika dipaksa, mungkin saja Helena bisa mempertimbangkan dirinya, tidak masalah jika hanya menjadi model singkat asalkan bisa memakai rancangan itu degan gratis.“Kau bodoh? Jelas tadi dia menolakmu,” katanya mengingatkan putrinya bagaimana Helena yang terang-terangan menolak mereka.“Bu, tapi kita bisa membujuknya, kan. Aku sangat ingin menjadi bagian dari rancangannya.” Linda masih tetap berharap mendapatkan kesempatan itu.Wanita tadi pun menyesal
Melihat kondisi Hani yang semakin yang tengah hamil, Topan mencoba menahan diri untuk tidak kelepasan. Ia mendengar semua ocehan Hani yang tetap meminta agar dia menemui mantan mertuanya. Wanita ambisius di depannya tidak selalu mengerti bahwa posisi mereka saat ini tidak menguntungkan.“Kau mendengarku?” Hani mengibaskan tangan.“Aku tidak bisa melakukan ini,” tolak Topan tegas, “ayah mertuaku sudah pasti mendengar bahwa kami sudah berpisah,” kata Topan selanjutnya.Mengangguk mengerti, Hani tetap meminta Topan untuk memikirkan cara agar dia kembali bekerja di perusahaan itu untuk kelangsungan hidupnya dan anak dalam kandungannya. “Aku mengerti, karena itu katakan padanya jika dalam hal ini aku–”“Sudah cukup, Hani.” Topan menggeleng segera. Ia tidak akan mengambil jalan salah kali ini, sudah cukup masalah ia mengikuti ucapan Hani lagi.“Mulai sekarang, lebih baik kita tidak saling bertemu. Aku akan memberi uang untuk anak dalam kandunganmu setelah mendapatkan pekerjaan yang sesuai,”
Alea menoleh pada sosok cantik dengan penampilan anggun di sebelah Sinta–dia adalah Helena–-putri satu-satunya Vincent. Berdiri dengan tatapan tidak beralih pada Helena, Alea mencoba untuk tidak gentar dengan tatapan itu.Tersenyum lembut, Helena mempersilakan Alea ikut dengannya, “Silakan Nona.”Tanpa membalas senyuman itu, Alea pun berdiri mengikuti Helena ke tempat yang lebih sunyi. Ia tidak tahu, apakah yang dilakukan ini benar, tetapi sangat yakin bahwa Reygan menyukai wanita bersuami di hadapannya.“Aku tahu, kedatangan Nona bukan untuk mencari gaun, melihat dirimu jauh lebih berbakat dariku,” kata Helena mengingat setiap detail pakaian yang Alea pamerkan, “katakan saja, aku akan mendengarnya.”“Syukurlah jika Nona sudah tahu,” balas Alea ketus, ia melihat sekeliling lalu melihat ke segala arah seraya berkata pelan, “aku tahu, kau dan Reygan ada hubungan karena itu jauhi dia sebelum ada yang tahu dan namamu rusak.”Tubuh Helena menegang, ia tidak pernah mengira jika ada yang tah
Sudah hampir setengah jam mereka berdua saling diam. Kopi susu yang Sinta bawa untuk mereka berdua pun kini sudah hampir dingin karena didiamkan begitu lama.Helena menghela napas pelan, menatap paa Reygan yang masih setia menunggu dirinya di depan meja, “Tuan, kau tidak bekerja?” tanyanya mulai jengah.“Bekerja.” Reygan menjawab seraya menatap jam tangan mahal miliknya, ia terbelalak karena sudah lama duduk, tetapi rasanya baru saja menempelkan bokong di sofa.Reygan segera berdiri, mengeluarkan ponsel dan menelepon Fandy untuk memastikan sesuatu. “Halo bagaimana?” tanya Reygan sedikit cemas, ia benar menyesal karena tidak menyadari telah kehilangan banyak waktu.Diam-diam, Helena menguping mencoba menangkap obrolan yang terdengar serius. Namun, ketika ia tidak sadar tak sengaja menabrak dada bidang hingga tubuhnya hampir terhuyung.“Hati-hati.” Dengan langkah cepat, Reygan menangkap tubuh Helena masuk dalam pelukannya, membuat tubuh mereka saling menempel satu sama lain.Tatapan me