Amira masih berada di atas ranjang pasien. Wanita itu baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan mirip dengan dirinya secara normal. Dia baru sadarkan diri dan langsung mencari bayinya.
“Suster di mana bayiku?” tanya Amira.
“Ah, Anda sudah bangun, Nyonya.” Perawat mendekati Amira yang ditinggalkan sendiri di rumah sakit. Semua anggota keluarga suaminya sudah pulang dan tidak menunggu dirinya hingga siuman.
“Ya. Di mana suamiku juga?” Amira mulai merasakan dirinya tidak nyaman. Tidak biasanya Andika meninggalkan dia begitu saja.
“Kami benar-benar minta maaf, Nyonya.” Perawat memegang tangan Amira dengan lembut. Dia ingin memberikan kekuatan kepada wanita yang masih lemah karena baru saja melahirkan itu.
“Minta maaf untuk apa?” Amira memaksakan dirinya untuk tersenyum. Dia benar-benar sudah ketakutan.
“Anda kehilangan putra yang baru saja dilahirkan,” ucap perawat merapikan rambut Amira yang berantakan.
“Apa? Tidak!” Amira segera duduk.“Aku susah payah untuk bisa hamil untuk mendapatkan anak. Aku rela resign dari pekerjaaku. Tidak!” Amira menggelengkan kepalanya. Dia menangis histeris. Di saat sedang terpuruk tidak satu pun anggota keluarga yang memberikan kekuatan kepadanya. Dia benar-benar sendirian.
“Sus, di mana putraku?” tanya Amira sesegukan.“Bayi Anda sudah dibawa pulang oleh pihak keluarga,” jawab perawat.
“Apa? Kenapa mereka tidak menungguku bangun? Berapa lama aku tidak sadarkan diri?” Amira memegang kuat tangan perawat.
“Sejak mengetahui bayi Anda meninggal. Semua anggota keluarga langsung pulang dengan membawa jenazah bayi,” jelas perawat merasa iba pada Amira.
“Apa mereka membawa pergi bayiku?” Amira histeris. Dia ingin segera turun dari tempat tidur dan pulang ke rumah.
“Tenangkan diri Anda.” Perawat menahan tubuh lemah Amira yang hampir saja jatuh ke lantai.
“Tidak. Aku mau bertemu dengan anakku. Aku belum melihatnya. Aku belum mencium dan memeluk putraku.” Amira menangis tersedu-sedu. Dia memeluk perawat yang masih setia menemaninya.
“Bayi Anda pasti sudah dimakamkan,” ucap perawat pelan. Dia mengusap punggung Amira.
“Anakku. Kenapa kamu meninggalkan Mama.” Amira terus menangis hingga tidak sadarkan diri. Dia kembali pingsan.
Tubuhnya benar-benar tidak berdaya. Hatinya terluka begitu dalam. Sedih yang menyayat jiwa. Kehilangan putra pertama yang baru saja dilahirkannya. Dia belum sempat bertemu dengan bayinya setelah dilahirkan.
“Bagaimana kondisi pasien?” Dokter yang membantu Amira melahirkan masuk ke dalam ruangan.
“Pasien sempat bangun dan pingsan kembali setelah mengetahui bayinya meninggal,” jawab perawat merapikan selimut untuk menutupi tubuh Amira.
“Dia harus segera keluar dari rumah sakit karena tidak ada lagi pihak keluarga yang mau menanggung biaya pengobatan dan penginapan. Mereka hanya melunasi hingga kelahiran bayi saja,” jelas Dokter Ibra memeriksa air infus Amira.
“Apa? Kasian sekali. Padahal masih muda dan cantik.” Perawat memperhatikan wajah cantik Amira yang masih terlelap.“Dia masih bisa bertahan di sini jika tidak ada pasien baru, tetapi tetap harus melunasi biaya yang tersisa,” ucap dokter Ibra Amira. Wanita itu benar-benar cantik dan seksi dengan usia yang memang masih muda.
“Jika pasien sudah bangun akan saya jelaskan, Dok.” Perawat benar-benar kasian pada Amira.
“Ya. Terima kasih. Kamu sangat baik dan peduli. Saya keluar dulu.” Dokter Ibra menyentuh dahi Amira.
“Terima kasih, Dok.” Perawat mengantarkan dokter Ibra ke depan pintu kamar. Wanita itu kembali mendekati Amira yang masih belum sadarkan diri.
“Kasian sekali. Apa dia tidak punya keluarga selain dari pihak suami?” tanya perawat pada dirinya sendiri.
“Bu, saya harus pergi ke ruangan lain. Semoga Anda segera pulih.” Perawat meninggalkan Amira sendirian di kamar.
Amira tidak akan mendapatkan pengobatan dan perawatan lagi karena pihak suami tidak mau menanggung biayanya. Dia hanya menumpang tidur di kamar pasien yang masih kosong. Wanita itu benar-benar sudah dibuang oleh suaminya.
“Anak Mama.” Amira membuka mata. Butiran bening mengalir membasahi bantal. Jari-jarinya meremas seprai.
“Kenapa kamu tinggalkan Mama, Nak.” Amira terus menangis. Air mata tidak ingin berhenti mengalir.“Ya Tuhan. Apa aku tidak pantas menjadi seorang ibu?” Amira menggigit bibirnya.
“Ah.” Amira melihat air infus yang hampir kering. Dia juga tidak mendapatkan makanan lagi dari pihak rumah sakit karena tidak terdaftar sebagai pasien.
“Aku lapar.” Amira duduk di tepi kasur. Dia meneguk air yang ada di dalam gelas tertutup.“Apa sudah malam lagi? Aku harus pulang.” Amira mencabut jarum infus dan turun dari tempat tidur. Dia kesulitan untuk berdiri karena tubuh dan kaki yang terasa lemas.
“Ya Tuhan.” Amira menyusuri dinding dan duduk di sofa. Dia melihat ada roti dan buah. Wanita itu benar-benar lapar hingga memakan habis buah dan roti.
“Di mana ponselku?” Amira mencari tas miliknya.
“Ah itu.” Amira tersenyum. Dia segera mengambil tas hitam yang ada di bawah meja sofa.
“Aku harus menghubungi Andika agar bisa menjemputku pulang.” Amira menghubungi nomor Andika, tetapi tidak ada jawaban sama sekali.
“Kemana Andika? Baru pukul sepuluh malam. Apa dia sudah tidur?” Amira melihat jam yang menempel di dinding.
“Bu.” Perawat yang sangat baik dan peduli pada Amira memastikan pasiennya baik-baik saja. Dia masih sempat mengunjungi Amira ketika akan pulang.
“Siapa nama kamu?” tanya Amira tersenyum pada perawat.
“Sinta, Bu,” jawab Sinta duduk di samping Amira.
“Apa kamu mau pulang?” Amira menatap Sinta dengan tatapannya yang kosong.
“Iya, Bu. Apa Ibu juga mau pulang?” tanya Sinta.
“Iya. Bagaimana dengan biaya rumah sakit?” Amira tampak bingung.
“Sebenarnya, Anda sudah harus keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu. Pihak keluarga sudah menghentikan pembayaran,” jelas Sinta dengan lembut.
“Apa?” Amira sangat terkejut. Dia tidak menyangka suami dan keluarga akan membuangnya dengan cara yang kejam.
“Itu artinya aku ada tunggakan biaya rumah sakit,” ucap Amira.
“Iya, Bu. Tetapi Dokter Ibra sudah membantu menjadi penjamin. Jadi, Anda bisa keluar rumah sakit dan melunasi di kemudian hari,” jelas Sinta.
“Hm.” Amira tertunduk. Wanita itu kembali menangis. Matanya sudah bengkak dengan wajah sembab.“Apa aku boleh pulang sekarang?” tanya Amira menatap pada Sinta.
“Apa Ibu sudah kuat?” Sinta memegang tangan Amira.
“Ya. Apa kita bisa keluar sama-sama?” Amira tersenyum. Wanita itu benar-benar berusaha untuk tegar.“Iya. Mari saya bantu, Bu.” Sinta memegang tangan Amira dengan tidak lupa membawa tas wanita itu. Mereka keluar bersama menuju pintu gerbang utama rumah sakit.
“Ibu pulang kemana?” tanya Sinta.
“Jalan Cedrawasih Elit,” jawab Amira.
“Syukurlah. Kita searah. Saya temani Ibu sampai rumah.” Sinta tersenyum.
“Terima kasih.” Amira pun senang karena masih ada orang baik yang mau membantunya.
Sinta memesan taksi online agar bisa membawa mereka berdua. Mobil hitam melaju dengan kecepatan standar mengantarkan penumpang pada tujuan.
“Kita sampai,” ucap sopir.
“Bang, tunggu sebentar boleh?” tanya Sinta yang sudah menjadi langganan sopir.
“Tentu saja, Neng.” Pak sopir tersenyum.
“Terima kasih, Bang. Aku antar Bu Amira sampai dalam dulu.” Sinta turun dari mobil bersama dengan Amira. Mereka menekan bel pintu pagar rumah Andika.
“Siapa malam-malam begini?” Pak satpam mengintip dari lubang kecil.
“Ibu Amira.” Pak Satpam terkejut. Dia segera membuka pintu.
“Ibu dari mana saja malam-malam begini?” tanya satpam memperhatikan Amira yang masih mengenakan baju pasien rumah sakit.“Bu Amira baru keluar dari rumah sakit. Dia ditinggalkan sendiri,” jawab Sinta.
“Apa?” Satpam saling pandang. Mereka baru ingat bahwa Amira melahirkan di rumah sakit dan bayinya meninggal. Mereka tidak tahu bahwa wanita itu masih tinggal di rumah sakit.
“Pak, ini bisa tolong bantu Ibu Amira masuk ke rumah dulu. Kasian dia masih lemah,” ucap Sinta.“Ah Iya. Ayo, Bu.” Satpam mengantarkan Amira ditemani Sinta hingga ke depan pintu utama.
“Pak Andika.” Pak satpam mengetuk pintu dan tidak ada jawaban.
“Permisi.” Pak satpam menghubungi bibi yang ada di dapur agar wanita itu membuka pintu yang sudah terkunci.“Ada apa?” tanya bibi membuka pintu.
“Ibu.” Bibi terkejut melihat Amira. Dia yang terus berada di rumah tahu benar bahwa Pak Andika sedang mempersiapkan berkas perceraian.
“Masuk, Bu.” Bibi tanpa sadar membawa Amira masuk ke dalam rumah.
“Terima kasih.” Amira benar-benar lemah. Dia segera duduk di sofa.
“Bu, saya pamit pulang dulu,” ucap Sinta.“Terima kasih, Sin. Tolong berikan nomor ponsel kamu.” Amira menyerahkan ponselnya.
“Baik, Bu.” Sinta menuliskan nomor ponselnya.
“Terima kasih,” ucap Amira lembut.
“Sama-sama. Saya pamit. Semoga ibu cepat sembuh dan pulih.” Sinta tersenyum. Wanita itu segera berlari cepat menuju taksi yang dengan setia menunggunya. Meninggalkan Amira di rumah mewah yang tidak lagi menerimanya menjadi menantu karena telah gagal melahirkan seorang bayi.
Amira menatap pada Wijaya yang hanya diam saja. Kedua anaknya terlihat tidak baik-baik saja. Keano yang cemberut dan Devano yang serius. “Ada apa ini, Sayang? Kenapa anak-anak kita terlihat tegang?” tanya Amira bingung.“Apa yang ingin dijelaskan? Mama bingung dan khawatir.” Amira menatap pada Wijaya. “Keano, kamu mau bicara duluan atau Devano dengan buktinya?” tanya Wijaya.“Aku tidak ingin melanjutkan ini semua,” tegas Keano.“Tidak boleh lari dari kenyataan. Kebenaran yang menyakitkan lebih baik dari pada kebohongan yang membuat kamu tidak tenang menjalani kehidupan. Rahasia ini dijaga agar kalian berdua tidak seperti ini, tetapi kamu sendiri yang menemukannya,” tegas Wijaya yang mulai kesal dengan sikap Keano. Pria itu tidak akan sesabar Amira, tetapi dia sadar Keano adalah dirinya sendiri hanya beda dalam pengasuhan saja. Putranya lebih memiliki kasih sayang dan cinta yang cukup dari dirinya sert Amira.“Kamu adalah pria.” Wijaya memegang lengan Keano. “Sayang, ada apa ini?” Am
Wijaya membeku. Dia mendapatkan tatapan teduh dari mata Devano yang sangat mirip dengan Amira. Begitu lembut dan lebih tenang.“Pa.” Devano memegang tangan Wijaya. Dia tahu bahwa papanya sedang gelisah untuk menjawab pertanyaannya. “Devano.” Wijaya memeluk Devano. Pria itu merasa rapuh di depan putranya.“Kamu benar-benar mirip Amira. Begitu lembut dan sabar.” Wijaya menatap Devano.“Apa bisa menunggu jawaban ini ketika ada mama?” tanya Wijaya.“Ya. Sekarang kita tidur saja, Pa.” Devano naik ke tempat tidur.“Apa Papa boleh tidur dengan kamu?” tanya Wijaya.“Ya, Pa.” Devano tersenyum.“Terima kasih.” Wijaya naik ke tempat tidur. Dia memeluk Devano. Pelukan yang sudah jarang diberikan kepada anaknya.Mereka benar-benar bertukar anak. Amira bersama Keano dan Devao dengan Wijaya. Melewati malam dengan hati yang gelisah.Amira membuka mata dan melihat Keano masih terlelap. Wanita itu mencium dahi putrinya dan turun dari kasur. Dia pergi ke kamar Devano dan melihat sang anak tidur bersama
Keano menyusupkan virus robot ke dalam ponsel Luna. Remaja yang hampir lulus SMP itu benar-benar berani. Dia terlalu penasaran kepada Luna yang terus mengikuti dirinya dari jauh. Putra Wijaya itu tidak sadar bahwa dirinya akan terluka.“Apa?” Keano yang mencoba penemuan barunya benar-benar terkejut dengan isi ponsel Luna. Semua tentang dirinya ada di sana. Foto dari kecil hingga besar. “Kenapa wanita ini mengikuti ku dari kecil? Siapa dia sebenarnya?” Rasa penasaran Keano semakin kuat hingga dia tidak tidur. Mencari dan menggali informasi tentang Laura.“Tidak! Tidak!” Keano menggelengkan kepalanya. Semakin jauh dia masuk semakin membuat dirinya tidak mengerti. Laura masih menyimpan foto-foto kebersamaan dengan Wijaya, tetapi wajah yang berbeda.“Dia operasi wajah,” ucap Keano.“Luna Margaret. Seorang model dan pernah menjadi istri Wijaya Kusuma. Hamil dan melahirkan seorang putra bernama Keano.” Jari-jari Keano gemetar. Tubuhnya lemah. Dia bahkan hampir jatuh dari kursinya. “Tidak!”
Keluarga Wijaya pergi ke lokasi perlombaan dengan mobil. Wiliam dan Wilona ikut serta. Dua anak itu tidak sulit untuk diurus. Bibi pun selalu bersama. Leon dan tim mengawas dari jarak aman.Kursi untuk keluarga peserta dan penonton telah disiapkan. Mereka harus membayar mahal untuk bisa menyaksikan langsung kompetisi Tingkat dunia itu. Devano dan Keano telah berada di tempat mereka. Bersiap untuk bertanding dengan tema penemuan terbaru di dunia teknologi canggih dan bermanfaat bagi dunia.“Hadirin. Ini adalah sepuluh peserta terpilih dari seluruh dunia. Mereka akan memamerkan hasil kerja keras kepada kita semua,” ucap pembawa acara.“Tahun ini pertama kalinya negara Indonesia mengirim peserta dan langsung dua anak. Luar biasanya mereka berdua ini adalah saudara kembar. Kami perkenalkan Keano dan Devano yang datang dari Indonesia.” Tepuk tangan meriah menyambut Keano dan Devano.Tirai terbuka memperlihatkan dua anak remaja yang tampan. Mereka duduk tenang di kursi masing-masing. “Wah
Pesawat pribadi milik Wijaya Kusuma telah berada di langit menuju belahan bumi lain yaitu Amerika. Mengantarkan putra kesayangan untuk bertanding dalam dunia teknologi. Mereka benar-benar sudah terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan pesawat terbang. Tidur nyenyak dengan tenang.Keluarga Wijaya Kusuma telah tiba di sebuah vila mewah. Bibi selalu ikut untuk membantu Amira mengurus bayi kembar.“Selamat datang, Tuan.” Para pelayan villa menyambut kedatangan Wijaya dan keluarga.“Terima kasih.” Amira masuk bersama anak-anaknya. Mereka memilih kamar masing-masing.Villa yang luas dan mewah telah disiapkan oleh Wijaya untuk kenyamanan keluarganya. Datang ke Amerika untuk menemani Keano dan Devano mengikuti perlombaan sekaligus liburan.Keano dan Devano berada di dalam kamar mereka masing-masing. Dua remaja itu mempersiapkan diri untuk kompetisi. Tidak ada yang mengganggu.“Hm.” Keano menemukan Luna yang juga datang ke Amerika. Dia selalu mencurigai wanita itu karena sering terlihat diseki
Amira merapikan pakaian kedua anaknya ke dalam koper. Wanita itu tidak ingin dibantu pelayan.“Ma, kenapa harus repot?” tanya Devano.“Mama mau memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal.” Amira tersenyum. Dia dengan senang hati mempersiapkan segala kebutuhan kedua putranya yang akan pergi ke Amerika.“Apa Mama ikut?” tanya Keano menatap Amira.“Keano maunya Mama ikut atau tidak?” Amira mendekati Keano yang duduk di tepi kasur.“Aku mau Mama ikut, tetapi pasti tidak dibolehkan papa,” ucap Keano merebahkan kepalanya di pangkuan Amira.“Kita akan pergi semua.” Wijaya berdiri di depan pintu. Dia melihat Devano merapikan koper sedangkan Keano berbaring di pangkuan Amira.“Anak ini.” Wijaya menggelengkan kepalanya. Keano benar-benar lebih manja kepada Amira dari pada Devano. Sang kakak beda beberapa hari itu memang terlihat lebih mandiri dan dewasa. Dia juga pengertian.“Semua sudah beres,” ucap Devano menarik dua koper ke samping lemari.“Benarkah?” Keano segera duduk. Dia melihat Wijaya.